Pandemi Covid 19 telah mendorong pemerintah untuk juga serius menangani pasokan pangan, tidak hanya persoalan kesehatan. Penanganan pasokan pangan menjadi penting karena faktanya tidak semua daerah mandiri dalam hal pangan. Dikhawatirkan jika daerah lain menyetop pasokan pangannya, maka daerah-daerah yang selama ini berharap suplay pangan dari daerah lain akan mengalami kelangkaan pangan.
Masih banyak ditemui daerah-daerah yang menggantungkan pasokan pangannya dari Pulau Jawa dan Sulawesi, Kalimantan Timur salah satunya. Propinsi kaya ini walaupun memiliki sumberdaya alam mineral dan batubara yang berlimpah, tapi pasokan pangan sangat bergantung kepada distribusi pangan dari pulau-pulau lain di Indonesia.
Kondisi ini bukan tidak menjadi perhatian bagi pemerintah daerah di Kalimantan Timur, jauh sebelum Covid 19 mewabah, ada beberapa perguruan tinggi berbasis pertanian yang dibentuk untuk menjawab ketersediaan SDM pertanian di daerah. Faktanya, sector pertanian terus saja mengalami kemunduran dalam hal luasan, padahal SDM keluaran perguruan tinggi terus bertambah setiap tahunnya.
Apa yang salah sebenarnya dari kondisi ini?
Untuk mengurai persoalan tersebut, saya hendak memulai dari sebuah cerita, Adik Ipar laki-laki saya adalah seorang mahasiswa Jurusan Peternakan, mengambil jurusan tersebut bukan tanpa alasan, harapannya bisa membantu orang tua mengembangkan usaha sapi miliknya, mengingat orang tuanya yang juga orang tua istri saya tentunya, selama ini hidup bergantung dari peternakan sapi umbar.
Saban pagi, bapak selalu mengembalakan sapi di padang rumput milik sebuah perusahaan minyak BUMN untuk diberi makan, sorenya dibawa pulang ke kandang. Begitu seterusnya, tanpa ada ikhtiar merubah pola ternak yang dilakukan, hasilnya ada, tapi tentu saja tidak maksimal.
Dengan kuliahnya Adik Ipar di Jurusan Peternakan, seolah membangun harapan bahwa kedepan usaha peternakan keluarga akan berkembang lebih maju. Alih-alih fokus untuk menyelesaikan kuliahnya, Si Adik Ipar malah menghilang dari rumah selama beberapa bulan diikuti dengan berhenti dari kuliah yang selama ini menjadi rutinitasnya.
Setelah dicari ternyata anaknya pergi ke kota untuk mencari penghidupan sendiri, agar bisa mandiri ujarnya. Ketimbang berternak sapi, Adik Ipar saya malah berkeinginan untuk membuka usaha sendiri, dan itu semua dia mulai dari bekerja di pencucian mobil, menjadi pramu saji di sebuah restoran franchise hingga menjual sempol dengan gerobak dorong.
Ihwal itu dilakukan cukup lama. Hingga Covid 19 mewabah menghentikan usahanya dan mengharuskannya pulang kerumah, kini ia lebih banyak berdiam diri dan sama sekali tidak tertarik untuk menggeluti usaha ternak yang selama ini menjadi penghidupan orang tua dan dirinya.
Kali lain, saya pernah menghadiri sebuah seminar yang mengangkat tema tentang optimalisasi sektor pertanian dan perikanan dengan narasumber seorang Guru Besar Pertanian dan beberapa narasumber lain yang berasal dari OPD leading sektor di bidang pertanian dan perikanan.
Seminar itu sendiri banyak dihadiri oleh mahasiswa yang berlatar belakang pertanian, pada session tanya jawab yang harusnya pertanyaan ditujukan kepada narasumber, saya malah iseng bertanya kepada seluruh mahasiswa yang hadir di ruangan itu dan meminta kepada mereka untuk mengacungkan tangan.
Lalu saya bertanya, berapa orang dari mahasiswa pertanian tersebut yang berkeinginan berusaha atau bekerja di bidang pertanian sesuai dengan latar belakang pendidikannya, setelah purna sebagai mahasiswa. Dari sekitar 40-an mahasiswa yang hadir hanya 6 orang yang mengacungkan tangan, selebihnya tidak.
Ke 6 mahasiswa tersebut ketika di tanya lebih jauh, apakah mereka tertarik pada sector produksi, dijawab tidak, mereka hanya tertarik untuk masuk pada sektor pengolahan pasca panen dan distribusi.
Masih di forum yang sama dengan mengutip data BPS saya melanjutkan bahwa saat ini 60,8 % Petani kita berusia 45 tahun ke atas, sementara hanya 4 % anak muda yang ingin menjadi petani, jika kondisi ini tidak di antisipasi maka besar keyakinan saya Indonesia bahkan dunia akan mengalami krisis pangan, mengingat regenerasi petani semakin berkurang.
Indonesia pun tidak akan merasakan manfaat bonus demografi di masa yang akan datang, dimana puncaknya diperkirakan akan terjadi pada tahun 2030. Sekarang saja kita selalu bergantung dengan impor pangan.
Dari 2 cerita tersebut, saya seolah melihat ada yang salah dari pola yang terbangun selama ini, apakah pertanian bukan merupakan sector yang menggiurkan untuk dijadikan sandaran hidup atau juga terkait gengsi, padahal diketahui perguruan tinggi jurusan pertanian setiap tahunnya menggelontorkan SDM.
Belum lagi jika ditinjau dari alih fungsi lahan pertanian yang kerap terjadi di daerah-daerah yang selama ini dianggap sebagai lumbung pangan daerah maupun nasional, dan masih banyak lagi faktor-faktor lain yang menjadi sebab krisis pangan di masa yg akan datang. Kita perlu serius mendorong peningkatan perekonomian alternatif yang berdaya pulih.
Perkembangan dunia yang sudah masuk pada era revolusi industri 4.0, seharusnya menjadi pintu masuk bagi anak muda memanfaatkan teknologi untuk optimalisasi pertanian dan pangan.
Dengan mendorong teknologi tepat guna yang terus dikembangkan, harusnya kita bisa berharap agar banyak anak muda yang ikut terjun disektor pangan atau pertanian tanpa harus berkotor-kotor bahkan justru dengan alih teknologi akan meningkatkan produksi yang berbanding lurus dengan kenaikan penghasilan.
Pemerintah juga perlu untuk memberikan stimulus dan insentif bagi anak-anak muda yang mengembangkan teknologi tepat guna dibidang pertanian. Dengan penghargaan tersebut, akhirnya kita bisa berharap bonus demografi yang dimiliki Indonesia akan berdampak baik untuk keberlangsungan Negara di masa yang akan datang, bukan membawa petaka.
Finally. Bercermin pada fenomena Covid 19 yang telah mengocok ulang sistem kehidupan manusia, dan merenggut banyak kematian, namun tidak menyurutkan masyarakat Indonesia untuk beraktifitas diluar rumah demi memenuhi kebutuhan pangan, kekhawatiran kita pada akhirnya terfokus pada abainya pemerintah pada sektor ini dapat menjadi asbab runtuhnya Negara.