Pajak dalam bahasa arab disebut dengan Ad-dharibah. Ad-dharibah sendiri mempunyai makna memaksa, mewajibkan, membebankan, (atau sebagainya ). Sehingga pengertian bahasa ini bisa disamakan dengan jizyah (pajak untuk menjamin keamanan bagi non muslim), ghanimah (harta yang didapat dari rampasan perang) dan sebagainya. Secara bahasa, pajak adalah pemungutan atas nama pemerintah kepada rakyatnya atas nama kepentingan negara.
Mengutip kitab Al-kharaj fi Ad-daulah Islamiyyah, model pemungutan ini aslinya sudah ada sebelum masa islam datang, khususnya di negara Persia dan Romawi. Namun jika untuk menelisik lebih dalam pajak dalam islam sulit diketahui secara pasti. Mungkin hal itu dikarenakan sebuah penaklukan ke negara-negara yang dipimpin oleh shahabat Umar.Sehingga belum ada keperluan mendesak untuk perbelanjaan negara.
Dinamika antara kewajiban atau tidaknya pajak berawal dengan adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
لَيْسَ فِيْ المَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
Namun kitab Majmu’; Syarhil Muahdzdzab juz 7 mengatakan, hadits tersebut masih dalam taraf dhaif.
إِنِّهُ حَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ جِدًّا لَا يُعْرَف
Pemahaman pajak sudah banyak dibahas dalam kitab fiqh. Dan hal yang perlu difahami adalah semua pendapatan negara keseluruhan bukan berasal dari syara’ melainkan ada campur tangan ijtihad. Seperti contoh yang telah dilakukan oleh sahabat Umar, yakni pemungutan kharraj (pajak tanah atas negara yang telah ditaklukkan) dan usyuur (pajak pedagang yang lewat di negara Islam) setelah hasil ijtihad dan di musayawarahakan dengan para sahabat yang lain. —kharaj dan usyuur masih dalam satu istilah; pajak.
Setelah kepemerintahan sahabat Umar, timbul adanya pemberontakan didalam negeri ataupun luar memaksa pemerintah untuk membuat motif baru dalam dunia perpajakan; dharaibul asmak (pajak perahu yang melintasi negara islam ). Ini tidak bisa dinobatkan terhadap Bani Umayyah keseluruhan, Umar Bin Abdul Aziz tergolong pemimpin yang meminimalisir pembelanjaan negara. Kitab Al-kharaj menyatakan:
وكان عمر بن عبد العزيز لا يَأْخُذُ مِنْ بَيْتِ المال شَيْئًا وَلا يَجْرِى عَلَى نَفْسِهِ مِنَ الْفَيْ دِرْهَما فَقِيلَ لَهُ لَوْ أَخَذْتُ مَا كَانَ يَأْخُدُ عُمر ابن الخطاب وَكَانَ عُمُرُ الأَوَّلُ يَجْرِى عَلَى نَفْسِهِ درهمين في كل يوم. فَقَالَ : إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخطابِ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ ، وَأَنَا مَالِي يُغْنِينِي
Dilanjut dengan masa keperintahan bani abbasiyah yang melakukan pengawasan ketat terhadap petugas pajak saat itu supaya tidak ada penyelewengan. Sehingga dimasa Harun Arrasyid seorang qadhi diperintahkan untuk menyusun segala aturan kharaj, usyuur dan zakat.
Dengan melihat sejarah secara global, pajak dalam Islam dapat disimpulkan, membayar pajak hukumnya wajib selagi negara membutuhkan. Hal ini senada dengan kaidah populer:
مَالَا يَتِمُّ الوَاجِب إِلَّابه فَهُوَ وَاجِب
Kaidah ini bisa difahami dengan sederhana dengan, jika negara tidak bisa melengkapi keperluannya maka pajak hukumnya wajib
Namun ada hal yang harus dipertimbangkan; menimbang sebuah rumus fiqh yang tidak asing:
تَصْرِيْفُ الإِمَام عَلَى رَعِيَّتِه مَنُوْطٌ بِالمَصلَحَة
Kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya harus berlandaskan mashlahat nyata bukan maslahat yang semu.