Belakangan ini sering diberitakan tentang adanya program Tax Amnesty (TA) jilid 2. Kabarnya program ini ada untuk mengampuni dosa-dosa wajib pajak (WP). Padahal kata Pak Presiden Jokowi saat program TA 2016-2017 meyatakan bahwa TA hanya sekali aja.
Memang santer diberitakan bahwa ada TA Jilid 2, tapi hal ini dibantah oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang bertugas untuk menghimpun pajak di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Bukan TA jilid 2 program yang sedang berjalan, tapi Program Pengungkapan Sukarela (PPS). PPS ini berlaku sejak Januari 2022 sampai Juni 2022, hanya 6 bulan saja.
Dulu saat TA 2016-2017 banyak sekali fasilitas pengampunan pajak yang diberikan kepada WP. Sesuai dengan Undang-Undang No 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU TA), salah satu keuntungan yang didapat WP adalah penangguhan pemeriksaan dan pembayaran tunggakan pajak tanpa bunga. Selain itu ada juga perlindungan data mengenai harta yang sudah diungkapkan saat TA. Jadi harta yg diungakap saat TA nggak bisa dijadikan bahan penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP.
Kebijakan di PPS ini berbeda, berdasarkan penjelasan Undang-Undang No 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), WP yang sedang diperiksa tidak bisa mengikuti PPS. Selain itu juga tidak diatur juga mengenai pelunasan tunggakan pajak. Dari segi tarif PPS ini juga lebih tinggi, kalo dulu saat TA tarifnya 0,5%-10%. Saat PPS ini dibedakan jadi 2 kebijakan, pada kebijakan I tarifnya itu dari 6%-11% dan kebijakan 2 dari 12%-18%.
Dalam UU HPP ini ada 2 kebijakan yang berlaku, pada kebijakan 1 sasaran subjek pajak untuk para peserta TA dan kebijakan 2 untuk WP orang pribadi. Diatur pada kebijakan 1, objek pajak yang menjadi sasaran PPS adalah harta yang belum atau kurang diungkap saat TA dan tahun perolehannya di bawah 2015 . Sedangkan pada kebijakan 2 adalah harta yang diperoleh pada rentang tahun 2016-2020 dan belum atau kurang diungkap dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2020.
Apa Untungnya Ikuti PPS?
Jadi ada beberapa keuntungan jika ikut PPS ini, sebagaimana diatur dalam Bab V UU HPP, WP peserta TA dapat terhindar dari sanksi administrasi sebesar 200% jika hartanya yang tidak diikut sertakan dalam pelaporan TA ditemukan oleh DJP. Lumayan banget kan kalo kena sanksinya? Kalo ikut PPS ini tarifnya bisa lebih rendah 6-11% saja karena peserta TA bisa ikut kebijakan 1.
Fasilitas di kebijakan 2 hampir sama, terhindar sanksi juga dari Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). WP bisa dikenai sanksi per bulan sampai 24 bulan ditambah uplift factor 15%. Jadi kalo harta-harta yg belum atau kurang diungkap oleh WP ketahuan sama DJP, maka ancamannya adalah sanksi administrasi.
Tapi tentu sanksi itu tidak akan dikenakan jika hartanya di ungkapkan dalam PPS ini dengan sejujur-jujurnya. Jujur dan bayar Pajak Penghasilan Final sebesar 6%-11% pada kebijakan 1 dan 12%-18% pada kebijakan 2 dari total harta yang diungkap.
Ada juga perlindungan data pada harta yang diungkapkan pada PPS. Data dan informasi yang dimuat dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) dan lampirannya diadministrasikan oleh Kemenkeu atau pihak lain yang terkait dalam pelaksanaan UU HPP. Data tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP.
Sebenernya memang ini menguntungkan bagi WP yang “bandel-bandel” dan menyembunyikan hartanya selama ini, utamanya untuk orang pribadi ya. Tujuan PPS memang untuk meningkatkan kepatuhan sukarela dari WP. Kalo memang kamu saat ini merasa bahwa penghasilan dan harta yang kamu laporkan dalam SPT Tahunan itu sudah jujur, ya ga perlu ikut PPS. Kan dah jujur, ngapain harus bayar lagi?
Data Lengkap, Core Tax DJP Makin Canggih
Pasti dalam benakmu ada pertanyaan seperti ini, kenapa ko dulu ada TA dan sekarang ada PPS? Apakah akan selalu ada nih program-program yang kaya gini? Enak dong bagi WP yg “bandel-bandel”, selalu ada program pengampunan baru yang menanti.
Sedikit cerita nih tentang Reformasi Perpajakan. Sekarang ini DJP sedang melakukan reformasi sistem administrasi yang bakalan bikin WP yang “bandel-bandel” makin was-was. Salah satu reformasi besar yang dilakukan oleh DJP adalah reformasi di bidang teknologi dan informasi (IT). Big data yang diperoleh DJP dari pertukaran data internasional (AeOI), data internal Kemenkeu dan data Instansi, Lembaga, Asosiasi dan Pihak Lain (ILAP) akan dioptimalisasi oleh DJP.
Data yang dimiliki DJP saat ini memang jauh lebih lengkap dibanding saat TA dulu. Di tahun 2018 saja, DJP telah menerima data saldo rekening dari luar negeri senilai Rp 2.742 triliun dan dari dalam negeri Rp 3.547 triliun. Terdapat juga data lainnya dari luar negeri berupa dividen, bunga, penjualan, dan penghasilan lainnya senilai Rp 683 triliun.
Dari hasil penyandingan data dengan SPT Tahunan dan klarifikasi kepada WP, ternyata masih terdapat data saldo rekening yang belum terklarifikasi senilai Rp 670 triliun dari 131.438 WP dan data penghasilan senilai 676 triliun milik 50.095 WP.
DJP akan menggabungkan puluhan aplikasi yang dimiliki sekarang menjadi satu aplikasi saja yang disebut Core Tax Administration System atau Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP). Aplikasi ini diharapkan akan menunjang para pegawai pajak dalam mengoptimalkan penerimaan negara dengan memanfaatkan big data yang dimiliki dan diolah oleh artificial intelegence (AI) dan machine learning (ML).
Lalu apa resikonya ke WP? Kalian tahu nggak kalo sekarang Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) bakalan jadi Nomor Pokok WP (NPWP)? Tapi ga semua yg berNIK akan bayar pajak ya, tentu harus punya penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak baru bayar pajak. Berarti penghasilannya harus di atas Rp 4,5 juta/bulan.
Dari NIK ini nanti data-data yang diperoleh DJP akan diolah oleh AI dan ML lalu memberikan rekomendasi kepada para pegawai pajak. Tentunya makin banyak surat himbauan dari DJP kepada WP untuk mengkonfirmasi data-data tadi. Hal tersebut akan efektif berjalan pada Oktober 2023, seperti yang dikatakan oleh Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi Ditjen Pajak (DJP) Hantriono Joko Susilo.
Sebelum semua itu siap, berjalan duluan lah Program Pengungkapan Sukarela bagi WP. Tujuannya memang untuk meningkatkan kepatuhan sukarela WP. Karena DJP ini sudah punya data-data dan sistem DJP ini semakin canggih untuk mengolahnya.
Pada akhirnya memang harta yang dimiliki oleh WP memang harus dilaporkan atau ditemukan oleh DJP sendiri. Jadi sebelum ditemukan dan diperiksa oleh DJP, ikutilah PPS ini karena waktunya singkat cuma 6 bulan saja. Jangan lewatkan kesempatan ini, karena PPS ini tidak akan datang dua kali. Bayar sekarang atau nanti, silahkan dipertimbangkan kembali.