Jumat, Oktober 11, 2024

NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Manusiawi ?

rizal restiana
rizal restiana
Mahasiswa Yang Sedang Belajar Menulis dan Membaca

NKRI Bersyariah dielukan beberapa kali oleh Imam Besar FPI, Habib Rizeq. Gagasan NKRI Bersyariah itu hanya seperti slogan tanpa makna. Ketika dikupas isinya hanya kata-kata cantik nan puitik. Dilahirkan mungkin hanya untuk memikat. Dan setelah semuanya terpikat, gagasan itu tercabik-cabik. Diciptakan mungkin hanya untuk meraup suara politis dan setelah semuanya memihak, gagasan itu mungkin hilang entah kemana.

NKRI Bersyariah yang dilemparkan ke publik itu, langsung menuai polemik. Denny JA, berpendapat bahwa gagasan tersebut harus terlebih dahulu memiliki definisi operasional yang bisa diturunkan menjadi index yang terukur, setelahnya index tersebut harus diuji berdasarkan dunia yang berlandaskan data. Pendapat dari seorang konsultan politik tersebut seakan menegaskan bahwa NKRI Bersyariah ini belum memiliki konsep yang jelas.

Tercabiknya Gagasan NKRI Bersyariah

Telah disebutkan di awal bahwa NKRI Bersyariah hadir tanpa konsep yang jelas.  Alih-alih sebagai sebuah alat untuk mewujudkan cita-cita Bangsa, NKRI Bersyariah ini mungkin akan luluh lantah dalam perjalananya. Penulis akan memaparkan beberapa hal yang mungkin mengisi ruang publik ketika NKRI Bersyariah ini benar-benar diterapkan;

Pertama, jika NKRI Bersyariah mengadopsi konsep negara menurut Islam, Gus Dur dari jauh-jauh hari sudah menyimpulkan bahwa Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan. Tanpa ada kejelasan konseptual tersebut, menurut Gus Dur malah membuat gagasan Negara Islam tercabik-cabik karena perbedaan pandangan para pemimpin Islam sendiri.

Kita tidak ingin bukan pemimpin-pemimpin Agama kita bertikai. Saling mempertahankan argumenya, dan saling menyerang argumen yang lainya. Saling menjatuhkan, dan saling menyalahkan. Dan pada akhirnya, kita akan binggung sendiri melihat pemimpin-pemimpin Agama yang seperti itu.

Kedua, NKRI Bersyariah bisa merangsang maraknya gerakan yang berbentuk revival religius yang keras, eksklusif , fundamentalis. Romo Magnis Suseno, menuliskan bentuk tersebut sebagai sebuah tantangan dalam usaha memancarkan rahmat Tuhan ke dalam masyarakat. Romo Magnis menuliskan ciri religiositas bentuk tersebut dengan sebuah arogansi.

Arogansi yang membuat mereka meremehkan, menghina, dan menindas siapapun yang tidak mengikuti mereka. Lebih jauh lagi menurut Romo, Ekstremisme itu atraktif karena seakan-akan memberi kepastian bahwa saya, kami adalah benar dan yang lain-lain salah, sekaligus memberi legitimasi untuk mengikuti napsu-napsu paling gelap di hari manusia seperti kebencian, balas dendam, nikmat menghancurkan menyiksa dan membunuh.

Ketiga, NKRI Bersyariah mungkin akan menghadirkan sikap masyarakat terhadap Islam yang terlalu mementingkan hukum syariah bukan roh dari Islam itu sendiri. Islam yang hanya luarnya saja tapi dalamnya jauh dari nilai-nilai Islam. Seperti, seorang Pemimpin Daerah, yang luarnya Islami tapi pada akhirnya terjerat korupsi. Seperti, seorang yang mengaku Ulama, tapi sering memaki. Seperti, seorang yang tiap saban naik haji, tapi setelahnya sombong sana-sini.

Hal tersebut jikalau menurut Soekarno adalah jiwa Islam yang terlalu mementinkan kulitnya tapi melupakan isinya. Menurut Goenawan Mohamad pandangan Bung Karno tersebut adalah gugatan terhadap sikap yang hanya melihat bentuk lahir, dan tidak menelaah nilai yang ada dalam perbuatan itu.

Ruang Publik Manusiawi Sebagai Kebutuhan

Yang dibutuhkan saat ini bukan sistem Agama yang formal dan kaku, yang mewajibkan masyarakat harus ini dan itu. Yang dibutuhkan saat ini adalah menghidupkan nilai, roh, jiwa dari Agama itu ke tiap-tiap individu. Nilai-nilai yang tertanam dalam Agama benar-benar diikuti dengan hati nurani tanpa dibarengi nafsu birahi. Untuk menggelola nafsu birahi atas dasar Agama itu, diperlukan negara, agar masyarakat tidak arogan dan berbuat semaunya sampai melanggar kemanusiaan atas dasar Agamanya.

Negara seperti menurut Allisa Wahid mungkin harus menempatkan nilai penghargaan atas hak konstitusional dan nilai keadilan diatas segalanya. Negara kini acap kali lebih memilih nilai stabilitas umum yang didasarkan pada nilai keharmonisan sosial.

Maka dari itu, beberapa kali dan bahkan sudah menjadi agenda tahunan selalu ada mereka yang arogan membubarkan ibadah Agama yang berbeda dengannya, merusak tempat ibadah, dan yang teranyar membongkar nisan. Dan negara terkesan tidak bersikap tegas. Karena mungkin hal itu dilakukan untuk menjaga nilai stabilitas umum yang didasarkan pada nilai keharmonisan agar tidak terjadi konflik.

Negara pada saat ini perlu mewujudkan ruang publik manusiawi. Ruang publik yang memenuhi kebutuhan rasa aman beragama seperti, ketenangan, kenyamanan, dan kedamaian dalam melaksanakan akidah-akidah Agama bagi seluruh umat. Setelah kebutuhan rasa aman terpenuhi, Menurut Maslow manusia akan memenuhi kebutuhan lainnya seperti, kebutuhan kasih sayang, kebutuhan mendapatkan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri.

Setelahnya, Tugas kita adalah menjadikan Agama sebagai alat untuk melawan penindasan, kemiskinan, kebodohan, dan melawan ketidakadilan yang menjadi realita di Ibu Pertiwi. Bahkan Mery Kolomimon menyatakan bahwa Agama-Agama memiliki tugas melindungi hak-hak kaum lemah dan pemberdayaan masyarakat marjinal untuk perjuangan bagi hak-hak asasi dan martabat kemanusiaan.

Hal tersebut sebenarnya yang perlu dilakukan Negara dan kita sebagai masyarakat. Menjamin keamanan untuk beragama bagi semua masyarakat. Dan setelahnya, biarkan Agama menjalankan tugas dan perannya sebagai rahmatan lil alamin, Atau seperti Seperti menurut Romo Magnis “Agama itu harus dirasakan sebagai rahmat oleh semua yang bersentuhan dengannya”.

Daftar Pustaka

Mellisa, Ayu, dan Husin Mubarok (Penyunting). 2015. Agama, Keterbukaan dan Demokrasi Harapan dan Tantangan. Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina

Mohamad, Goenawan. Percikan Kumpulan Twitter @gm_gm. Gramedia

Sindunata.2006. Manusia dan Kebatinan: Petruk Jadi Guru. Kompas Gramedia

Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006)

rizal restiana
rizal restiana
Mahasiswa Yang Sedang Belajar Menulis dan Membaca
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.