Jumat, Maret 29, 2024

Minke, Iqbaal, dan Bumi Manusia

Ardhi Setiawan
Ardhi Setiawan
Praktisi dunia hiburan. Pengamat kuliner dan dunia perbukuan. Sedang belajar apa saja, dari siapa saja, dan di mana saja.

Dalam Bumi Manusia dan Tetralogi Buru, tokoh Minke lahir dari golongan priyayi. Dia punya segalanya untuk menjaga harmoni kehidupannya: lahir dan hidup kaya, lalu mati sebagai masyarakat kelas atas. Lewat berbagai peristiwa, ia merasakan kegelisahan bahwa banyak sekali manusia yang hidup serba kekurangan di bumi kaya raya nusantara. Ternyata, feodalisme yang ia nikmati, justru menjadi benalu bagi rakyatnya.

Nun jauh di Amerika, Mark Felt adalah Whistle Blower dalam skandal Watergate. Felt, anggota FBI yang kala itu tidak puas pada sistem peradilan, secara diam-diam memberikan informasi pada duo Washington Post yang pada akhirnya mendepak Potus saat itu dari jabatannya. Serupa dengan hal itu, Minke yang tidak puas dengan sistem feodalisme yang ada, melawan lewat hal yang paling mungkin ia lakukan. Melalui tulisan. Dia dan kawannya mendirikan lembaga pers untuk menyuarakan apa yang sebenarnya terjadi pada penduduk pribumi.

Tentu saja para penjajah tidak suka. Baik dari Belanda maupun kaum pribumi. Ya, kaum pribumi. Mereka terganggu karena kenyamanan menjadi kaum borjuis bisa terusik jika orang-orang yang mereka jajah timbul kesadaran untuk melawan. Dari waktu ke waktu, bahkan saat ini, sepanjang sejarah peradaban manusia, perang abadi itu selalu peperangan antar kelas sosial.

Bumi Manusia menjadi penting untuk dibaca karena ia membawa narasi yang tidak diajarkan di buku sejarah sejak kecil. Bahwa penjajahan tidak hanya dilakukan oleh Belanda, namun juga bangsa Indonesia sendiri, terutama kaum priyayi. Hal yang masih saja relevan dengan kondisi sosial masyarakat saat ini.

Banyak sekali aktivis yang dipenjara karena membaca dan menggelar diskusi tentang buku ini. Bagian Bumi Manusia, atau bagian yang paling santai, masih berkutat dengan roman dan kegelisahan Minke. Memasuki buku kedua yang berjudul Anak Semua Bangsa, mulailah alasan buku ini dicekal dapat dimaklumi.

Beberapa tahun terakhir, Tetralogi Buru sudah diterima di toko-toko buku besar. Sejak tahun 2010, Mahkamah Konstitusi sudah mencabut kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan pelarangan buku pada UU Nomor 4/PNPS/1963.

Buku Tetralogi Buru mulai mudah ditemukan, baik di toko maupun perpustakaan. Saya pun senang, buku yang membawa cerita dari jamannya itu memang lebih bagus jika bisa diakses banyak orang, terutama kaum muda. Meskipun tetap saja, karya yang membuat penulisnya masuk nominasi nobel sastra tersebut sepertinya belum mampu menyaingi karya Tere Liye dalam hal kepopuleran.

Hingga momentumnya sekarang. Beredar informasi bahwa Bumi Manusia, bagian pertama Tetralogi Buru, sedang dalam proses pembuatan filmya. Minke, tokoh sentralnya diperankan Iqbaal Ramadhan. Aktor yang tenar setelah memerankan Dilan. Tentu saja warganet heboh, seperti biasa.

Tetralogi Buru seringkali dianggap sebagai salah satu karya sastra terbaik dari Indonesia. Jika saja tokoh Minke diperankan Reza Rahadian/Nicholas Saputra/Abimana Aryasatya, tentu reakai warganet bakalan lebih banyak yang bisa menerima. Saya sendiri tentu saja masuk barisan yang kecewa, namun Iqbal pun sudah terbukti bukanlah aktor yang buruk. Kekecewaan ini melankoli semata karena pemeran Minke tidak seperti yang selama ini saya bayangkan, tidak kurang tidak lebih. Untuk jalan cerita dalam filmnya, saya cukup optimis karena sutradaranya Hanung Bramantyo. Pun, bukankah kita harus adil sejak dalam pikiran?

Jika dengan cara ini Tetralogi Buru menjadi bahan diskusi anak muda di berbagai kanal media daring maupun luring, Tentu hal ini menjadi kemajuan bagi dunia literasi Indonesia. Berbagai acara bedah buku dan diskusi untuk mempromosikan Bumi Manusia terbukti kalah efektif dengan peran Iqbaal Ramadhan dalam mempromosikan buku ini. Tentunya, besar harapan akan lebih banyak percakapan tentang Bumi Manusia beserta karya kanon sastra lainnya.  Apalagi tahun depan ada pilpres. Percakapan tentang Tetralogi Buru akan jauh jauh lebih menyenangkan daripada debat soal pilpres. Biar saja para grumpy-annoying-people di sosial media berdebat soal pilpres dan agama ala-ala, sedangkan yang malas berdebat kusir bisa memilih berdiskusi mengenai isi Tetralogi Pulau Buru.

Saya sendiri menganggap kualitas penulisan dalam Tetarologi Buru ini lumayan, bukan sok hipster atau apa, tapi dari bentuk menurut saya memang lumayan saja. Tapi dari isi, seperti halnya karya bagus lainnya, ia sangatlah bagus karena membawa narasi besar tentang perlawanan kelas yang coba dibungkam pihak yang berkuasa. Salah satu karya terbaik yang pernah saya baca.

Ada mitos yang mengatakan bahwa buku ini adalah gerbang awal untuk membaca karya-karya bermutu tinggi lainnya, semacam karya pertama untuk melatih kepekaan artistik. Tentu saja bisa jadi ini bual-bualan semata, tapi tidak juga salah-salah amat. Kalaupun filmnya tidak sesuai ekspetasi, ya sudah. Mengharapkan film tersebut serupa dengan buku justru dapat mengurangi kenikmatan menonton film itu sendiri. Paling tidak, Bumi Manusia kini lebih dikenal banyak orang sehingga referensi bacaan di negara dengan peringkat literasi bawah seperti Indonesia dapat (diharapkan) berkembang sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Ardhi Setiawan
Ardhi Setiawan
Praktisi dunia hiburan. Pengamat kuliner dan dunia perbukuan. Sedang belajar apa saja, dari siapa saja, dan di mana saja.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.