Rabu, April 24, 2024

Mindfulness di Tengah Generasi Penuh Distraksi

Ita Fajria Tamim
Ita Fajria Tamim
Ita Fajria Tamim, dokter dengan hobi menulis

Beberapa waktu yang lalu, saya menemani kedua anak saya bermain di kamar. Waktu itu mereka mengajak saya bermain kapal-kapalan. Kapal versi mereka dalam hal ini berarti membentangkan semua bed cover dan sprei bersih yang baru dicuci ke semua sudut kamar. Saya pun ikut bermain dengan sukarela meskipun sambil meringis membayangkan nasib sprei saya sesudah permainan berakhir.

Ternyata, permainan kapal ini sungguh mengasyikkan untuk mereka. Waktu seakan berhenti untuk kedua anak saya. Semakin lama semakin asyik mereka terbenam dalam permainan ini. Sebaliknya dengan saya, 10 menit pertama saya masih menikmati. 10 menit kedua saya mulai duduk dengan gelisah. 10 menit ketiga dan seterusnya saya serasa duduk di kursi panas. Apalagi melihat gadget di sebelah saya. Tangan gatal ingin main hp sekedar untuk buka instagram atau youtube.

Satu-satunya hal yang membuat saya bertahan tidak membuka hp sampai permainan anak-anak selesai adalah karena kemarin saya baru saja membaca postingan instagram dari mas Aar Sumardiono, seorang pakar dan praktisi homeschooling tentang mindfulness. Mindfulness diartikan sebagai kesadaran untuk hadir sepenuh hati pada saat ini, di momen ini. Dalam kasus saya, berarti saya musti mampu hadir fisik dan mental menemani anak. Bukan badan ada namun pikiran pergi kemana-mana.

***

Sudah menjadi keluhan yang jamak di jaman digital ini, bahwa generasi baby boomers menuding generasi milenial dan seterusnya sebagai generasi distraksi. Tidak fokus dan mudah sekali berpaling ke hal-hal lain. Nilai ketekunan dan istiqomah yang dijunjung tinggi oleh generasi tua menjadi tidak berlaku lagi. Contoh dalam pekerjaan. Beberapa mentor saya pemilik usaha banyak yang curhat di medsos. Mengeluhkan pegawai milenialnya banyak  yang bekerja bak kutu loncat. Kerja 2-3 bulan, minta resign. Kerja 6 bulan, minta fasilitas dan fleksibiltas jam kerja. Nanti tidak dikabulkan, resign. Bosan atau merasa tidak berkembang, resign.

Namun, habit milenial dan generasi sesudahnya ini tidaklah sepenuhnya salah mereka. Bagaimanapun, mereka lahir dan tumbuh besar berbarengan dengan teknologi. Digitalisasi sudah ada sejak fase awal kehidupan mereka. Gen Z bahkan dianggap sebagai digital natives. Artinya, dari mereka masih di perut ibunya mereka sudah hidup dengan teknologi digital. Sehingga bisa jadi, distraksi adalah default mereka. Bisa jadi, mereka bahkan tidak bisa memahami benda apa fokus itu, apalagi ketekunan atau istiqomah.

***

Nah, jika memang distraksi adalah default bagi milenial atau gen z, mungkin konsep mindfulness dari pakar homeschooling di atas bisa menjadi alternatif mindset yang perlu diperkenalkan dan ditumbuhkan pada generasi ini. Tentu sulit berharap generasi muda ini bisa memahami dan mempraktekkan mindfulness secara otomatis. Karena kemampuan ini bukan default asli mereka. Sehingga untuk memasukkan mindfulness menjadi bagian penting dalam keseharian mereka, dibutuhkan sistem yang mengatur secara sadar dan sengaja.

Semisal saya, yang juga seorang milenial dan ibu muda, maka mempraktekkan mindfulness saat mendampingi anak adalah dengan secara sadar mempraktekkan mindset ini saat bersama dengan mereka. Bicara dengan menatap mata. Berinteraksi tanpa memandang layar hp. Mendengarkan tanpa disambi mengerjakan hal lain. Harapannya, anak-anak saya bisa menyimpan tindakan mindful saya sebagai memori dalam alam bawah sadarnya.

Begitu juga di tempat kerja misalnya. Jika dijadikan budaya perusahaan, mindfulness pun bisa menjadi alternatif mengantisipasi mudahnya kaum muda terdistraksi. Budaya bicara tanpa pegang hp. Budaya mendengarkan rekan kerja atau klien yang sedang berbicara sepenuh hati. Budaya menyelesaikan satu demi satu pekerjaan tanpa multitasking, apalagi loncat ke pekerjaan satu ke pekerjaan lain tanpa target menyelesaikan yang mana dulu.

***

Pengalaman menarik saya dapatkan saat saya baru saja landing dari Jerman dan sampai di bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, tiga tahun lalu. Saat memasuki antrian pemeriksaan imigrasi, saya berbaris rapi di belakang. Hingga kemudian tiba giliran saya untuk menjalani pemeriksaan paspor. Petugas imigrasi meminta paspor saya dan melakukan pengecekan. Karena pengecekan yang memakan waktu, saya iseng mengeluarkan handphone dan membuka layarnya. Tak lama kemudian terdengar suara petugas menegur saya dengan suara tegas, “Ibu, mohon menunggu tanpa bermain handphone. Handphone silahkan dimasukkan!”

Teguran keras petugas imigrasi tadi cukup mencengangkan bagi saya. Meski saat itu saya bersungut-sungut saat memasukkan handphone kembali ke tas, namun pengalaman tadi sungguh tak terlupakan. Selang beberapa waktu, tentu setelah rasa kesal saya hilang, saya akhirnya bisa memberi makna pada pengalaman saya ditegur petugas imigrasi tersebut.

Secara tidak langsung, saat menegur saya, petugas imigrasi seakan ingin mengatakan kepada saya: ‘Ibu, tolong be mindful. Hargai saya, perhatikan saya, jangan duakan saya dengan handphone Ibu. Tolong jangan multitasking. Saat sedang antri pengecekan imigrasi, ya fokus. Jangan disambi yang lain-lain. Ibu tolong tetap jaga kontak mata sama saya, jangan melirik yang lain’. Kira-kira begitu terjemahan teguran petugas tadi.

Sekarang saya jadi membayangkan jika semua ruang publik di-setting seperti counter imigrasi tadi. Mindfulness menjadi aspek prioritas by design dalam SOP dimana petugas wajib menegur siapapun yang sedang bertransaksi, berbicara dengan customer service atau sedang berkomunikasi dengan petugas tapi sambil nyambi main handphone. Wah, mungkin jika ini terjadi, kita bisa ikut andil dalam memperkenalkan tools berupa mindfulness yang nantinya akan membantu kaum muda untuk mengontrol default distraksi yang menjadi bagian dari DNA mereka sejak lahir.

Ita Fajria Tamim
Ita Fajria Tamim
Ita Fajria Tamim, dokter dengan hobi menulis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.