Jumat, Maret 29, 2024

Milineal dan Konflik Kepentingan

Ari Wirya Dinata
Ari Wirya Dinata
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas 2012-2018 dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (2019- sekarang)

Hakim Konstitusi, Saldi Isra,  pernah bercerita betapa sulitnya menjaga independensi sebagai seorang hakim, apalagi sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi yang dilabelkan sebagai seorang negarawan. Bahkan Ia sempat berceletuk kalaulah dibaca keseluruhan isi kode etik dan perilaku hakim maka kemungkinan hakim tersebut tidak dapat bersahabat lagi dengan manusia melainkan sahabatnya tinggallah baruak (kera dalam bahasa minang).

Tentu pendapat tersebut bukanlah ungkapan hiperbola tanpa makna sebab sebagai pejabat negara dibidang kekuasaan yudikatif, Ia harus mampu bersifat imparsial, mandiri, dan tidak memihak. Itu sebabnya hakim disebut profesi yang sunyi dan hanya bicara melalui putusannya saja.

Etika publik sebagai seorang hakim ini pernah pula dinukilkan dalam sebuah kisah hakim di Amerika Serikat yang enggan dipayungi tatkala hujan oleh seseorang yang tidak dikenal sekalipun dikarenakan takut dikemudian hari Ia akan memiliki konflik kepentingan (conflict of interest) ketika tidak sengaja harus menangani kasus yang melibatkan orang tersebut.

Atau kisah tentang Hakim yang kemudian mengundurkan diri hanya lantaran kedapatan sedang berbisik dengan seseorang yang berpotensi menjadi pihak berpekara dipersidangan. Meskipun belum tentu yang dibisikan tersebut tentang perkara bisa jadi hanya sebatas obrolan ringan semata.

Deskripsi kejadian itu memberi pesan kepada siapapun yang menjadi pejabat negara ataupun pejabat publik betapa pentingnya menjaga diri dari konflik kepentingan (conflict of interest) ataupun perdagangan pengaruh (trading influence). Meski tentunya sebagai pejabat publik sekelas staf khusus tidak se-ekstrem profesi sebagai seorang hakim.

Dalam Kacamata Hukum Tata Negara Sebenarnya prinsip pencegahan conflict of interest  dapat pula dilihat dari gagasan lahirnya negara hukum (rule of law) yang menghendaki adanya pemisahan kekuasaan (separation of power).

Sebelum adanya konsep pemisahan kekuasaan dipegang secara mutlak oleh raja sehingga sangat rentan untuk disalah gunakan. Seperti kisah Raja Louis ke XIV dengan sabdanya  L’etat c’est moi (negara adalah saya). Sehingga penyelenggaraan negara menjadi absolutisme.

Gagasan pemisahan kekuasaan yang digagas baik oleh John Locke maupun Montesqqiue menghendaki adanya pemisahan kekuasaan yang jelas agar tidak terjadi suatu yang disebut dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Itu sebabnya kekuasaan harus dipisah dan dibagi-bagi ke beberapa lembaga untuk menghindari kemungkinan  penyalagunaannya. Untuk menjaga keselarasan dan keharmonisan lembaga tersebut maka dilaksanakan dengan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi (check and balance principle).

Seperti Kredo Lord Acton, yang menyebut bahwa “power tends to corrupt absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan memiliki sifat bawaan untuk disalahgunakan dan kekuasan yang tidak diimbangin dengan pengawasan sebagai penangkalnya sudah barang tentu akan disalahgunakan.

Postulat ini seakan menjadi pesan bagi semua orang yang memiliki kekuasaan untuk mawas diri dan menghindari segala kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk apapun.

Terkait dengan asumsi yang menerpa staf khusus Presiden yaitu Andi  Taufan Garuda Putra dan Adamas Belva Syah Devara adalah fenomena betapa rentannya suatu kekuasaan dengan kemungkinan terjadinya konflik kepentingan.

Duncan Williamson mendefinisikan konflik kepentingan sebagai situasi dalam mana seseorang seperti petugas publik, seorang pegawai atau seorang profesional memiliki kepentingan privat atau pribadi dengan mempengaruhi tujuan dan pelaksanaan dari tugas-tugas kantornya atau organisasinya.

Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahannya juga mendefinisikan hal yang mirip tentang konflik kepentingan. Dimana konflik kepentingan bisa dilakukan oleh orang memiliki kekuasan dengan keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan.

Makna kata “menguntungkan” tentu tidak semata dikalkulasikan dengan keuntungan materil namun juga dapat keuntungan immateril. Seperti mempromosikan program pemerintah, branding dan pemasaran perusahaan secara gratis, atau bentuk lainnya. Mungkin saja kedua tokoh muda ini tidak memiliki maksud demikian namun kecurigaan publik merupakan suatu hal yang tidak pula bisa dikesampingkan.

Terkadang maksud baik saja tidak cukup, niatan baik  tersebut harus diikuti dengan kesesuaian dengan aturan hukum terlebih lagi etika sebagai pejabat publik.  Mengutip pendapat Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, mengatakan “law floats in sea of ethic” secara eksplisit bermakna hukum mengapung diatas samudera etika yang berarti bahwa etika lebih luas dibandingkan hukum.

Sesuatu yang melanggar etika bisa jadi tidak melanggar hukum namun dia berpotensi kearah pelanggaran hukum. Jamak diketahui batasan konflik kepentingan yang diakomodir dalam UU Tipikor saat ini masih dalam lingkup sempit yaitu hanya untuk pengadaan barang dan jasa sementara isu konflik kepentingan dapat berkelindan dalam wujud dan rupa yang ragam dan banyak. Terbatasnya instrumen hukum yang mengatur tentang konflik kepentingan masih menjadi salah satu hambatan dalam penanganannya.

Setidaknya terdapat beberapa instrumen yang digunakan sebagai rambu bagi pejabat publik untuk terhindari dari konflik kepentingan yaitu prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance), Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

Dalam poin etika  politik dan pemerintahan mengandung misi agar semua pejabat dan elit politik maupun  bertindak jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik  apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan di masyarakat.

Langkah yang diambil oleh stafsus yang diduga memiliki potensi konflik kepentingan untuk mundur adalah langkah yang arif lagi bijaksana. Meski awalnya langkah ini sedikit terlambat dilakukan oleh mereka karena pemberitaan dan desakan yang kala itu sudah mulai sedikit heboh.

Namun langkah tersebut adalah pilihan yang tepat dan dapat menjadi pembelajaran budaya yang baik bagi semua kita terlebih kaum milineal yang berada dilingkar kekuasaan atau yang akan berada dilingkar kekuasaan di masa depan.

Yaitu tatkala, diamanahkan jabatan publik namun kemudian tersandung permasalahan moral dan etika dapat segera mengambil tindakan untuk mundur dari jabatan tersebut. Kalau etika para pejabat publik Indonesia baik maka tentu bangsa ini akan jauh dari segala upaya penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Ari Wirya Dinata
Ari Wirya Dinata
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas 2012-2018 dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (2019- sekarang)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.