Sabtu, Desember 21, 2024

Metaverse, Game perspektif Filosofi dan Teologi

Kholidun Holi
Kholidun Holi
Mahasiswa Pasca Aqidah dan Filsafat Islam UINSA Surabaya. Kepala Sekolah SMP ISKANDAR SAID SURABAYA
- Advertisement -

Metaverse adalah iterasi dari bagian Internet dari realitas virtual bersama, seringkali sebagai bentuk media sosial. Meta semesta dalam arti yang lebih luas mungkin tidak hanya merujuk pada dunia virtual yang dioperasikan oleh perusahaan media sosial tetapi seluruh spektrum augmented reality.

Istilah ini muncul pada awal 1990-an, dan dikritik sebagai metode membangun hubungan masyarakat dengan menggunakan konsep spekulatif, “berlebihan” murni berdasarkan teknologi yang ada. Sementara dianut oleh beberapa perusahaan teknologi seperti Facebook, Microsoft dan lain-lain, kekhawatiran tentang dampak pada masyarakat modern ketika semua interaksi orang ke orang secara efektif otonom.

Metaverse merupakan ruang virtual yang mereplikasi kegiatan dan aktivitas manusia di dunia nyata untuk dilakukan di dunia virtual. Seolah kita memiliki dua “tubuh” dalam dua dunia di mana dunia virtual memiliki kesempatan-kesempatan baru untuk avatar kita. Nantinya, apa yang ada di dunia nyata pun bisa terjadi di sana. Termasuk tren-tren baru yang mungkin hanya akan ada di Metaverse saja. Jadi, tidak heran di masa depan dunia marketing juga akan menuju ke dalam Metaverse.

Istilah metaverse pertama kali digunakan dalam Snow Crash, novel ber-genre cyberpunk yang diterbitkan pada 1992. Dalam novel tersebut, metaverse digambarkan sebagai dunia virtual yang bisa dikunjungi oleh orang-orang melalui perangkat VR. Namun, Snow Crash tidak menggambarkan metaverse sebagai utopia sempurna yang membuat semua orang yang masuk ke dalamnya menjadi bahagia.

Sebaliknya, metaverse menciptakan masalah tersendiri, mulai dari kecanduan teknologi, diskriminasi, dan juga kekerasan. Sebagian dari masalah itu bahkan sampai terbawa ke dunia nyata. Saat ini, ada banyak perusahaan yang tertarik untuk mengembangkan metaverse, mulai dari perusahaan game seperti Epic Games dan Tencent, sampai perusahaan teknologi raksasa seperti Microsoft dan Facebook. Begitu banyaknya perusahaan yang tertarik dengan metaverse sehingga definisi dari metaverse itu sendiri pun masih belum seragam. Masing-masing perusahaan seolah-olah punya konsep akan metaverse yang ideal.

Di dalam Metaverse, pengguna individu muncul sebagai avatar dalam bentuk apa pun, dengan satu-satunya batasan ketinggian, “untuk mencegah orang berjalan sejauh satu mil”. Transportasi di dalam Metaverse terbatas pada analogi realitas dengan berjalan kaki atau kendaraan, seperti monorel yang melintasi jalan, berhenti di 256 Pelabuhan Ekspres, terletak merata di 256 interval km, dan Pelabuhan Lokal, terpisah satu kilometer.

The Matrix adalah serangkaian film yang menggambarkan masa depan distopia di mana umat manusia tanpa sadar terperangkap di dalam dunia virtual yang disebut Matrix, yang diciptakan oleh mesin intelejen untuk mengalihkan perhatian manusia saat menggunakan tubuh mereka sebagai sumber energi.

Ready Player One, novel fiksi ilmiah 2011 karya Ernest Cline, menggambarkan dunia tahun 2045 yang dicengkeram oleh krisis energi dan pemanasan global, yang menyebabkan masalah sosial dan kestabilan ekonomi yang meluas. Pelarian utama bagi kebanyakan orang adalah metaverse yang disebut OASIS, yang diakses dengan headset VR dan sarung tangan kabel.

Elemen sosial juga punya peran penting dalam metaverse. Karena itu, perusahaan-perusahaan media sosial seperti Facebook, LINE, Discord, TikTok, dan lain-lain, merupakan bagian dari ekosistem metaverse. Perusahaan-perusahaan yang membuat game play-to-earn atau play-to-collect, seperti DeltaTime, dan Exceedme juga punya peran tersendiri dalam pengembangan metaverse.

Agar metaverse berjalan dengan baik, diperlukan infrastruktur yang mumpuni. Infrastruktur dari metaverse juga disokong oleh banyak perusahaan dari berbagai segmen, mulai dari segmen cloud dan hosting, visualization & digital twin, decentralized infra, artificial intelligence, sampai adtech & marketing.

- Advertisement -

Ada pemikiran seorang filsuf yaitu David Chalmers yang distinguished dalam ranah consciousness tersebut yang berani melawan arus besar pemikiran terkait dunia virtual dengan menyatakan bahwa dia akan mempertahankan pandangan yang berlawanan dengan pemahaman umum bahwa: realitas virtual adalah semacam realitas asli, objek virtual adalah benda nyata, dan apa yang terjadi di dunia maya adalah benar-benar nyata.

Pandangan para filsuf tentang permainan 

Plato (Filsuf, 327 – 437 SM) 

“Hidup harus dijalani sebagai permainan

Anda dapat menemukan lebih banyak tentang seseorang dalam satu jam bermain daripada dalam satu tahun percakapan”

Imam Al-Gazali (Filsuf Muslim, 1058 M – 1111 M) 

“Seyogyanya si guru mempersilahkan murid untuk bermain setelah usai dari pelajarannya, bermain dengan permainan indah yang mengistirahatkan dari lelahnya bangku pelajaran sekiranya tidak lelah dalam bermain. Apabila si guru melarang si anak bermain dan memforsir untuk selalu belajar maka akan mematikan hatinya, membatalkan kecerdasannya, mengajarkan untuk berlaku curang, sehingga perlu mencari cara untuk keluar dari semua itu.”

William Shakespeare (Budayawan dan filsuf, 23 April 1564 – 1616) 

Seluruh dunia adalah panggung, Dan semua pria dan wanita hanyalah pemain; Mereka memiliki jalan keluar dan pintu masuk mereka, Dan satu orang di zamannya memainkan banyak bagian, tindakan-Nya adalah tujuh zaman.

Friedrick Netzsche (Filsuf, 15 Oktober 1844 – 25 Agustus 1900)

“Di setiap pria sejati tersembunyi seorang anak yang ingin bermain”

George Bernard Shaw (Novelis, 26 Juli 1856 – 2 November 1950)

“Kita tidak berhenti bermain karena kita menjadi tua, kita menjadi tua karena kita berhenti bermain”

Johan Huizinga (Filsuf, 7 Desember 1872 – 1 Februari 1945)

“Bermain adalah unsur yang permanen disegala jenjang hidup manusia, bahkan meresapi dan menyemarakkan bidang kebudayaan lainya, ada ‘Ludic elements’ turut berperan dalam berbagai ranah hidup manusia, seperti agama, politik, bisnis, hukum, seni dan sastra.”

Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara SJ (Filfus, 13 Juni 1913 – 11 Februari 1967)

“Bermainlah dalam permainan tetapi janganlah main-main. Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh. Kesungguhan permainan terletak dalam ketidaksungguhannya, sehingga permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi. Baransiapa mempermainkan permainan, akan menjadi permainan permainan. Bermainlah untuk bahagia tetapi janganlah mempermainkan bahagia.”

Allah  berfirman Al An’am: 32 :

Artinya :

“Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?” (QS Al An’am: 32)

Syaikh Nashir as-Sa’dy berkata dalam tafsirnya:

“Inilah hakikat kehidupan dunia dan hakikat kehidupan akhirat. Adapun Hakikat kehidupan dunia maka ia hanyalah permainan dan senda gurau belaka; permainan bagi badan dan sendau gurau bagi hati. Maka hati-hati terpikat kepadanya, jiwa-jiwa cinta kepadanya dan harapan-harapan terikat kepadanya. Dan kesibukannya kepada dunia seperti permainan anak kecil.

Kholidun Holi
Kholidun Holi
Mahasiswa Pasca Aqidah dan Filsafat Islam UINSA Surabaya. Kepala Sekolah SMP ISKANDAR SAID SURABAYA
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.