Para founding fathers telah berhasil menyusun satu konsep bernegara, yang kemudian dikenal dengan istilah pancasila. Proses perumusan pancasila sebagai ideologi negara menuai pro dan kontra. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya upaya yang dilakukan untuk mengubah dasar ideologi negara melalui gerakan-gerakan separatis, seperti yang dilakukan oleh; PKI, DI-TII, dsb.
Pengkhianatan atas dasar negara yang telah menjadi konsensus tersebut merupakan catatan hitam dalam sejarah yang mewarnai proses berdirinya Indonesia sebagai satu negara. Di samping hal itu, eksistensi Indonesia sebagai suatu negara berhasil dijaga dari gerakan-gerakan makar yang terus merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Meskipun setiap organisasi atau partai politik yang memiliki ideologi berbeda dengan pancasila, serta terus-menerus berusaha mengganti ideologi negara telah dibubarkan, namun mereka telah berhasil menelurkan embrio-embrio ideologi tersebut. Hal itu ditandai dengan banyaknya gerakan separatis yang sampai sekarang terus berupaya mengganti ideologi negara, seperti yang dilakukan oleh organisasi Khilafah al-Muslimin belakangan ini.
Padahal, pemerintah dengan tegas menyatakan dan memberikan hukuman kepada setiap pelaku makar melalui pasal 104 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang berbunyi “makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden dan wakil presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau dipenjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun.”, namun, ultimatum yang diberikan pemerintah tersebut seolah tak berdampak apa-apa, sebab hingga sekarang upaya-upaya makar terhadap negara masih terus disuarakan oleh kelompok-kelompok separatis.
Menghidupkan Kembali Ajaran Nurcholis Madjid
Nasitotul dalam jurnalnya yang berjudul “Nurcholis Madjid dan Pemikirannya (Diantara Kontribusi dan Kontroversi)” menuliskan bahwa Nurcholis tak dapat dipisahkan dan bahkan menjadi bagian dari perubahan politik atau pun pemikiran Islam sejak tahun 1970-an. Bahkan Fachry Ali melihatnya sebagai sebuah fenomena untuk konteks masyarakat Indonesia. Kefenomenalannya dapat dilihat bahwa ia memengaruhi dan melahirkan perubahan-perubahan tertentu di dalam masyarakat Indonesia.
Moeslim Abdurrahman menjulukinya “Pendekar Islam dari Jombang”, Tempo menjulukinya “Penarik gerbong pembaharuan Islam”. Pemikiran beliau dianggap sangat menarik, mendalam, tinggi, dan bervisi jauh hingga mampu mempengaruhi basis sosial kelas menengah dan atas. Karena itulah tidak mengherankan kalau kemudian ia dijuluki sebagai “Guru Bangsa”. Atau bahkan untuk sebagian kalangan, Nurcholis adalah mitos yang diam-diam menyebarkan virus Nurcholisisme sebuah cara pandang dan gaya fikir yang menjadikan Nurcholis Madjid sebagai model.
Kontribusi Nurcholis Madjid sangat terasa bagi seluruh lapisan masyarakat terutama terkait masalah yang menyangkut masalah keislaman dan keindonesiaan. Dalam pandangan beberapa pengamat Islam, gebrakan-gebrakan Nurcholis dipandang sebenarnya memiliki nuansa politis yang cukup besar. Bahwa satu sisi dengan pemikirannya Nurcholis berhasil melunakkan ataupu mengeliminir sebagai upaya menghindarkan tabrakan antara pergerakan Islam dengan pemerintah. Pada sisi lain juga dimaksudkan sebagai upaya pribadi beliau untuk mendapatkan “legalisasi” atau semacam pengakuan bagi diri dan kelompoknya.
Pluralism adalah salah satu gagasan Nurcholis Madjid yang paling sering diperbincangkan. Cak Nur berupaya menjawab setiap keresahan dan kegelisahan yang dialami masyarakat terkait persoalan kebangsaan yang seringkali dibenturkan dengan urusan teologi.
Menurutnya, ketika Islam dimaknai secara formal apalagi sampai pada ranah politik maka benturan sulit dihindarkan dan pasti akan menimbulkan ketegangan-ketegangan sektarian dan polarisasi berdasarkan sentimen keagamaan.
Apa yang dikatakan Cak Nur terbukti pada kontestasi pilkada DKI 2017, di mana sentimen dan isu-isu SARA mewabah secara besar-besaran. Agama seringkali dijadikan dan dimanfaatkan sebagai kuda untuk mencapai garis finish (jabatan). Politisasi agama yang digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu sulit dihindari sehingga mengakibatkan keretakan di kalangan masyarakat dan berdampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Para politisi telah berhasil mewariskan kebencian, kedengkian, dan kehancuran kepada seluruh lapisan masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Mereka hanya mementingkan kepentingan kelompoknya tanpa peduli sedikitpun dengan nasib masyarakat akar rumput, hal itu terlihat dari banyaknya janji-janji kampanye yang hanya sebatas janji tanpa ada upaya untuk merealisasikan janji kampanye tersebut.
Pemilu, Pilkada, atau apapun namanya telah merusak tenun kebangsaan yang telah dirajut oleh para founding father kita, yang kemudian diteruskan oleh tokoh-tokoh nasionalis serta seluruh elemen masyarakat yang punya kesadaran pentingnya berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, formalisasi agama dalam ranah bangsa akan menimbulkan apa yang disebut politik identitas yang sangat menghambat laju pluralisme yang sedang dibutuhkan bangsa Indonesia dalam menghadapi banyak keanekaragamanbudaya dan agama masyarakatnya guna membangun komitmen bersama sebagai satu bangsa.
Oleh karena itu, kita perlu melanjutkan dan menyebarkan ajaran-ajaran Nurcholis Madjid dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari berbagai gerakan makar yang dilakukan oleh kelompok-kelompok separatis. Kita juga harus merawat tenun kebangsaan yang telah dirajut puluhan tahun lamanya agar terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah swt.
Deradikalisasi, dan Pentingnya Dialog
Dalam kurun waktu 1 dasawarsa terakhir, isu tentang radikalisme agama menjadi momok yang menakutkan. Begitupula tindakan-tindakan teror, diskriminasi, dan intervensi mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Hal itu tentu berbahaya dan akan memberikan dampak negatif bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Pemerintah telah berupaya membendung dan membasmi segala bentuk radikalisme melalui BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), juga dengan membubarkan organisasi dan memberikan sanksi terhadap pelaku kejahatan transnasional tersebut. Selain itu, pemerintah juga dibantu oleh masyarakat melalui narasi moderasi beragama yang kian marak didakwahkan.
Segala upaya deradikalisasi tersebut ternyata tidak benar-benar berhasil membersihkan radikalisme dalam konteks berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, dialog menjadi salah satu alternatif yang perlu dilakukan oleh pemerintah, sebab dengan dialog tersebut diharapkan akan menyentuh psikologi mereka yang menjunjung tinggi radikalisme agama dan membenarkan segala bentuk politisasi agama bahkan menormalisasi segala bentuk kejahatan yang berlindung di balik jubah agama.
Dengan dialog tersebut, kita akan menyadarkan mereka dan mengembalikan mereka ke dalam pangkuan ajaran agama yang moderat yaitu tidak condong ke kanan ataupun ke kiri. Selama dialog belum dilakukan, selama itu pula mereka akan tetap menjadi martir kebenaran yang mereka yakini.