Pernikahan beda agama masih menjadi polemik hangat di kalangan masyarakat. Lalu bagaimana pandangan Islam dan aturannya di Indonesia mengenai pernikahan beda agama? Bagaimana Islam memandang pernikahan beda agama? Mengenai dilarangnya pernikahan beda agama sudah termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 221 dan surat Al-Mumtahanah ayat 10
Hadis Rasul Allah SAW antara lain :
Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal: (1) karena hartanya (2) karena (asal-usul) keturunan-Nya (3) karena kecantikannya (4) karena agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam; (jika tidak), akan binasalah kedua tangan-Mu. (hadis riwayat muttafaq alaihi dari Abi Hurairah R.A.)
Pernikahan beda agama bukan hanya dilarang dalam agama Islam saja, melainkan agama lain pun melarang umatnya untuk menikahi seseorang yang berlainan keyakinan. Salah satunya agama Kristen larangan untuk pernikahan beda agama sudah tercantum dalam perjanjian baru maupun lama. Selain Allah tidak berkenan, pernikahan beda agama juga akan menimbulkan berbagai masalah dan dampak terhadap psikologi dan yuridis, bukan hanya bagi pasangan, tetapi juga bagi anggota keluarga.
Selain itu, MUI, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa mengenai pernikahan beda agama. MUI menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. NU juga menetapkan fatwa yang terkait dengan nikah beda agama dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989.
Ulama NU dan fatwanya menegaskan bahwa pernikahan antara dua orang yang berbeda agama di Indonesia hukumnya adalah tidak sah. Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa mengenai pernikahan beda agama. Dengan tegas, Ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa wanita Muslim dilarang menikah dengan pria non Muslim. Itu sesuai dengan surat Al-Baqarah ayat 221 seperti yang telah disebutkan.
Lalu, bagaimana pandangan negara terhadap pernikahan beda agama?
Jika merujuk pada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila di lakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Artinya perkawinan yang dilakukan oleh orang yang berlainan Agama di Indonesia tidak sah, karena negara tidak memberikan wadah untuk melangsungkan pernikahan tersebut, walaupun pengantin Laki-lakinya beragama Islam.
Di dalam hukum negara kita ada 2 lembaga yang bisa mencatat pernikahan yaitu, Kantor Urusan Agama (KUA) dan catatan sipil. Jika seorang Muslim maka pencatatan pernikahan di lakukan di KUA dan jika Non-Muslim maka pencatatan di lakukan di catatan sipil. Untuk orang yang menikah beda agama maka pencatatan pernikahan di lakukan di catatan sipil, sehingga akan keluar akta pernikahan, yang ini sudah cukup sebagai legalitas perkawinan di Indonesia.
Di satu sisi dalam undang-undang pernikahan mensyaratkan sah menurut hukum agama masing-masing, dan di lain sisi ada juga pencatatan sipil yang bisa mengeluarkan Akta pernikahan beda agama. Jadi pada intinya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai pernikahan beda agama.
Dalam HAM, perkawinan beda agama diakui di dalam Pasal 16 ayat (1) Deklarasi Universal: “Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Semua memiliki hak yang sama dalam soal perkawinan di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian”. Dengan kata lain, ketentuan ini menjamin hak setiap orang untuk menikah dan membentuk keluarga walaupun pasangan calon suami dan istri berbeda agama.
Hak untuk melangsungkan perkawinan dijamin dalam Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan tujuan untuk melindungi hak setiap orang dan perlindungan keluarga. Hak untuk berkeluarga, beragama dan berkeyakinan adalah termasuk dalam hak-hak sipil. Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR – International Covenant on Civil and Political Rights) pada tahun 2006 dengan itu Indonesia telah menerima kewajiban untuk melindungi kebebasan hak-hak sipil dan politik.
Ketentuan-ketentuan Konvenan hak sipil dan politik telah diadopsi ke dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Kemudian dikuatkan oleh Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin hak setiap orang untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan menjamin hak kebebasan untuk memilih calon suami dan calon istri, termasuk perempuan memiliki hak untuk menikah dengan warga negara asing dan bebas untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.
Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang dijamin di dalam Konvenan International yang sudah diratifikasi dan Konstitusi dibatasi oleh ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP di atas yang mensyaratkan sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUP memaparkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Menyikapi persoalan perkawinan beda agama, Majelis-majelis Agama Tingkat Pusat (MATP) dalam rapat yang diselenggarakan pada tanggal 12 September 2014 yang dihadiri oleh MUI, PGI KWI, Matakin, Walubi dan PHDI menghasilkan tiga kesepakatan yaitu: perkawinan adalah peristiwa yang sakral oleh sebab itu pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Kedua, negara wajib mencatat perkawinan yang sudah disahkan oleh agama sesuai dengan UU No: 1 Tahun 1974. Ketiga, kewajiban negara untuk mencatat perkawinan yang di tetapkan oleh pengadilan dan dicatatakan oleh Catatan Sipil sesuai dengan UU No: 23 Tahun 2006 jo UU No: 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.