Sabtu, April 20, 2024

Menyoal Perayaan Hardiknas

Ode Rizki Prabtama
Ode Rizki Prabtama
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Malang Raya, Peneliti di Center of Research in Education for Liberation (CREATION). Alumni Young Leader Peace Camp 2018.

Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas merupakan perayaan tahunan bagi seluruh lembaga pendidikan di tanah air. Tanggal 2 Mei bertepatan dengan hari lahirnya tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara.

Jika kita merujuk pada sejarah, penetapan hardiknas ini bukan tanpa alasan. Pada tahun 1959 atas Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 tahun 1959 beliau dianugerahi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Pantas, karena dengan jasanya saat itu mampu membebaskan kaum pribumi dari kebodohan zaman kolonialisme.

Banyak kiprah yang ditorehkan Ki Hajar Dewantara terhadap dunia pendidikan. Salah satu diantaranya adalah dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa pada tanggal 3 juli 1922. Perguruan ini bertujuan untuk memberikan layanan pendidikan pada kaum pribumi yang pada saat itu telah dikebiri hak pendidikannya. Di mana, pendidikan saat itu hanya dapat dirasakan oleh orang-orang terpandang serta orang-orang asli Belanda saja.

Disamping itu, falsafah pendidikan yang ditawarkan Ki hajar Dewantara merupakan sesuatu yang sangat luar biasa dan masih dapat kita semboyankan hingga saat ini. Ing Ngarsa Sung Tulada, mengisyaratkan bahwa sebagai pendidik, ketika di depan harus memberi teladan yang baik.

Ing Madya Mangun Karsa menjelaskan makna sebagai pendidik, ketika berada di tengah harus memberi semangat/optimis menciptakan prakarsa atau ide. Tut Wuri Handayani, memberi pesan bahwa ketika di belakang seorang pendidik harus bisa memberi arahan dan dorongan atas kemajuan pendidikan.

Esensi Pendidikan Nasional

Dalam hal ini dapat kita lihat secara jelas esensi dari falsafah pendidika Indonesia yang sesungguhnya. Bahwa, pendidikan seharusnya mengarah pada penguatan karakter, akal budi, dan etika moral. Sebagaimana maksud dari “Ing ngarsa sung tulada” Dengan semangat pembebasan terhadap anak bangsa dari kebodohan dan keterbelakangan. Pendidikan bukan hanya dirasakan oleh kelas atas tetapi juga harus dinikmati kelas bawah.

Pun, merujuk pada Hasnan Bachtiar dalam bukunya Kontektualisasi filsafat Transformatif (2016), mejelaskan bahwa falsafah pendidikan kritis adalah identitas pendidikan nasional. Dengan menerapkan filsafat kritis, pendidikan akan cenderung humanis.

Dengan demikian, sekolah tidak membedakan kelas sosial apaun untuk meraih pendidikan. Semua manusia memiliki kesempatan yang sama di hadapan ilmu. Bahkan, tidak ada yang lebih tinggi diantara pendidik dan yang dididik. Juga, soal biaya pendidikan tidak menjadi maslah bagi golongan tak berpunya.

Baginya, seluruh kebaikan filsafat pendidikan kritis ini, sudah ada dalam Pancasila. Disamping itu, Kuntowijoyo (2006) menyebut, falsafah pendidikan yang terkandung dalam Sila Pertama Pancasila sebagai transendensi/religiusitas. Menurutnya agama sebagai sandaran berarti membebaskan individu dari belenggu nafsu kemanusiaan, termasuk orientasi pendidikan yang berpihak pada kepentingan akumulasi profit.

Disamping tahun 1922 Perguruan Taman Siswa menjadi tolak ukur awal konsep pendidikan nasional Indonesia. paska kemerdekaan (1945) pendidikan nasional berhasil mengantongi amanah konstitusionalnya.

Yakni dengan apa yang terkandung dalam Alenia Pertama Pembukaan UUD 1945 ayat 1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, ayat 2) setiap warganegara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, dan ayat 4) negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Tanggal 2 mei tiap tahunnya, seluruh lembaga pendidikan mengadakan perayaan hardiknas. Namun sayangnya, perayaan yang diadakan hanyalah simbolik semata. Dengan ritual upacara peringatan, pensi, hura-hura tampa melihat lebih jauh substansi pendidikan bangsa ini.

Bagaimana Seharusnya Hardiknas?

Pertama, Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi momentum bagi para stockholder (pemangku kepentingan) pendidikan untuk merefleksikan kondisi pendidikan saat ini. Artinya, tanggal 2 Mei tidak hanya diartikan dengan agenda uapacara semata, akan tetapi hari ini harus menjadi momentum efaluasi penyelenggaraan pendidikan nasional.

Kedua, hari ini merupakan titik balik dalam melihat esensi dari amanah pendidikan nasional bangsa ini. Apakah pendidikan kita sudah mengarah pada misi pembebasan. Pemebebasan yang dimaksud adalah bagaimna membebaskan anak bangsa dari pembodohan zaman moderen yang merenggut segala kearifan lokan kebudayaan bangsa. Bagaimana anak Indonesia bangga dengan budayanya yanpa mengagung-agungkan budaya asing?.

Ketiga, tanggal 2 Mei juga menjadi momentum evaluasi bagi stockholder (pemangku kebijakan) pendidikan, apakah pendidikan Indonesia sudah sesuai dengan amanah konstitusional? Sebab, kiranya masyaratakat tidak lupa bahwa, salah satu tanggung jawan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengiat amanat UUD secara eksplisit menegaskan, negara menjamin pendidikan setiap warga negara dengan mengalokasikan dua puluih persen dari APBN dan APBD.

keempat, momentum 2 Mei harus menjadi refleksi, apakah pendidikan kita sudah bebas dari prakterk kapitalisme? Karena praktek inilah yang menjadikan pendidikan kita serba transaksional. Pendidikan kita tidak lagi berpihak kepada orang tak berpunya. Karena saat ini meminjam bahasa Eko Prasetio “orang miskin dilarang sekolah” lumrah terjadi.

Hal inilah yang menjadi penyebab dari maraknya korupsi di dunia pendidikan kita. Mulai dari pengadaan buku-buku, pembangunan infrastrukrur pendidikan, hingga dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) menjadi ladang mencari kekayaan individu yang empuk.

Misalnya, seperti kasus penyelewengan dana BOS di Lamongan oleh salah satu pejabat pemerintah berinisial (SN) yang terjadi beberapa waktu lalu. Olehnya, dana sebesar Rp. 240 juta selama kurun waktu 2012 hingga 2016 lenyap.

Kesimpulan 

Pada akhirnya, momentum Hardiknas semestinya tidak hanya diartikan dengan perayaan ritual upacara semata. Namun, lebih jauh Hardiknas harus dimaknai sebagai momentum refleksi, evaluasi, dan upaya solutif terhadap pendidikan nasional bangsa ini.

Dengan melihat persoalan-persoalan ketimpangan pendidikan dan merumuskan langkah penanganan yang kongkrit. Tentu, hal ini tidak bisa diupayakan oleh satu pihak saja. Melainkan secara kolektif, seluruh elemen. Mencakup, pemerintah, lembaga pendidikan, dan juga masyarakat.

Ketiga unsur ini, harus memaknai nilai dari semboyan pendidikan Ki Hajar Dewantara secara menyeluruh. Bagaimana bertindak sebagai “Ing Ngarsa Sung tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”.

Karena spirit pendidikan beliau adalah perlawanan terhadapa ketertindasan pendidikan anak bangsa. Dengan upaya memberi pelayanan pendidikan dalam rangka penguatan karakter, akal budi, serta etika moral spiritual yang menjadi identitas pendidikan nasional Indonesia.

Ode Rizki Prabtama
Ode Rizki Prabtama
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Malang Raya, Peneliti di Center of Research in Education for Liberation (CREATION). Alumni Young Leader Peace Camp 2018.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.