Jumat, Oktober 4, 2024

Menyoal Nalar Privat dan Nalar Publik Keberagamaan Kita

Abid Rohmanu
Abid Rohmanu
Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo dan Ketua PC ISNU Ponorogo

Seakan menjadi menu harian, masyarakat kita disuguhi kegaduhan diberbagai media sosial. Kegaduhan tidak bisa dipungkiri sarat dengan nuansa dan bahasa agama. Bisa disebut misalnya, kontroversi dan demonstrasi pembakaran “bendera tauhid”, kasus ini kemudian diikuti serentetan demonstrasi “bela tauhid”.

Kegaduhan bernuansa agama dinilai tidak lagi sehat karena mengarah pada disintegrasi bangsa. Fenomena ini semakin memanas dengan semakin dekatnya pemilihan capres 2019 yang disinyalir ada pihak-pihak tertentu yang “memancing di air keruh” dalam bentuk politisasi isu keagamaan. Masyarakat awam yang sesungguhnya banyak yang tidak kenal politik, diseret masuk dengan mempermainkan emosi dan sentimen ideologi keagamaan.

Dalam konteks sistem demokrasi, ruang publik yang dipenuhi dengan isu sara (baca: agama) adalah suatu yang ironis. Dipastikan ada kerancuan dengan nalar privat dan nalar publik keberagamaan kita, sehingga agama sering menjadi titik sumbu perselisihan dan kegaduhan. Kerancuan nalar privat dan nalar publik juga dipicu tren islamisme yang menguat dengan berlindung di balik sistem demokrasi.

Ada dilema yang  tidak ringan memang ketika membincang peran privat dan publik agama. Pemisahan kedua sektor ini dalam kaitannya dengan agama sering kali dituduh sebagai “sekuler” yang menghinakan agama. Ketika agama diperankan hanya pada sektor privat, agama dinilai akan kehilangan peran dan fungsinya.

Pada sisi lain, ketika agama diperankan juga pada sektor publik dengan karakterya yang plural,  maka peran tersebut memancing perselisihan dan perpecahan. John Rawls dalam hal ini telah menawarkan solusi dengan konsepnya tentang “public reason“. Menurutnya, agama yang dihadirkan di ruang publik harus diterima oleh siapapun.

Berdasar hal di atas,  nalar keberagamaan harus dihadirkan secara publik dalam bentuk formulasi yang rasional. Contoh sederhana dalam hal ini adalah miras. Pelarangan miras di ruang publik tentu tidak didasarkan pada dalil wahyu, tetapi didasarkan pada berbagai dampak negatif atau argumentasi yang bersifat rasional.

Dalil adalah keyakinan yang berdasar wahyu yang bernilai kewajiban, sementara tidak semua warga masyarakat mempercayai dalil/wahyu tertentu. Karena itu, rasionalitas dan subtansi agama mestinya yang hadir dalam ruang-ruang publik kita, bukan keyakinan yang bersifat partikular, atribut, simbol, bentuk dan forma agama.

Keyakinan yang bersifat privat terbatas pada skala individual atau komunitas agama/kelompok keagamaan tertentu.  Ketika nalar privat dipaksakan hadir di ruang publik tentu akan menimbulkan resistensi bagi agama lain, atau kelompok lain yang berbeda tafsir keagamaan.  Ruang publik adalah ruang bersama kita yang berisi irisan-irisan nilai bersama (kalimat al-sawa’), ruang publik tidak boleh dimonopoli oleh agama atau kelompok tertentu.

Medan politik adalah salah satu contoh ruang publik kita. Ruang publik ini harus diakui masih dipenuhi dengan moralitas publik yang dekaden. Realitas politik mempertontonkan ambisi kekuasaan yang bersifat vulgar. Agama sering diperalat untuk kekuasaan politis. Bahasa-bahasa agama berseliweran dalam ruang publik, bukan dalam bentuk yang subtantif, tetapi retoris dan simbolik.

Ketika dunia politik sarat dengan perilaku koruptif, di mana bahasa agama yang sering didengungkan oleh pelakunya? Ketika dunia politik kita penuh dengan caci maki, di mana sesungguhnya klaim keagamaan dimuarakan? Maka, Medan politik seharusnya diisi dengan nilai universal agama (amanah, kejujuran, kesejajaran, toleransi,  persaudaraa, dan yang semisal), bukan diisi dengan simbolisme keberagamaan, apalagi politisasi isu keagamaan.

Menghadirkan nilai universal agama dalam ruang publik mestinya dimaknai sebagai fungsionalisasi dan sakralisasi agama. Sementara menghadirkannya dalam bentuk simbolik semata bisa berpotensi sebaliknya, menghinakan agama.

Dalam konteks demokrasi, kampanye secara masif sistem pemerintahan yang dinilai “islami”  sesunggunya sdh berseberangan dengan nalar publik keberagaman. Ia mengundang kegaduhan karena bertentangan  dengan realitas kemajemukan dan karenya bertentangan dengan rasionalitas publik itu sendiri.

Tidak saja berseberangan dengan penganut agama lain, secara internal pun banyak tafsir tentang sistem pemerintahan yang islami. Karena itu, sistem demokrasi Pancasila harus dinilai sebagai ijtihad kolektif dan public reasoning para founding fathers tentang penghadiran nilai agama yang bisa diterima oleh semua komponen bangsa.

Sebagai catatan akhir, di tengah menguatnya polarisasi paham keagamaan masyarakat kita (antara yang puritan dan moderat),  terasa penting utk membangun dan meneguhkan kembali etika nasional kita dalam bentuk secara bijak memilah mana nalar privat dan mana nalar publik keberagamaan kita.

Etika nasional adalah konsensus minimal tentang prinsip-prinsip etis yang bersifat binding (mengikat) kita sebagai bangsa. Survivalitas kemanusiaan dan kebangsaan kita rasanya akan terancam tanpa peneguhan konsensus  kita sebagai bangsa. Dalam konteks etika nasional, perbedaan nilai dan keyakinan adalah absah, tetapi harus ada nilai yg disepakati bersama sebagai bangsa.

Nilai ini menjadi pondasi bersama dalam membangun tata relasi kemanusiaan dalam semua lini kehidupan, ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Nilai-nilai ini disarikan dari agama untuk tata politik dan budaya nasional yang elegan dan mengayomi. Wallahu a’lam.

Abid Rohmanu
Abid Rohmanu
Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo dan Ketua PC ISNU Ponorogo
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.