Rabu, November 20, 2024

Menyikapi Secara Adil Pemudik Era Pandemi

Hadi Prawira
Hadi Prawira
Seorang Mahasiswa Ilmu Politik yang hobi membaca dan menulis.
- Advertisement -

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Tradisi mudik tidak hanya sebagai momentum liburan semata. Mudik Ramadhan punya kesan tersendiri bagi para perantau yang jauh dari kampung halaman. Berharap bisa bersilahturahmi dengan keluarga yang masih ada, atau sekedar makan “ketupat” buatan orangtua.

Disetiap momentum mudik itu tiba, banyak versi cerita atau keunikan dari para pemudik. Mulai dari Kemacetan, ketawa-ketiwi, kisah menegangkan dijalanan, dan bahkan makhluk dunia lain dikemas dalam cerita mereka masing-masing.

Tahun lalu, mudik jadi perdebatan panjang di media sosial. Saat itu, para pendukung Jokowi melarang oknum yang katanya “Anti Insfrastruktur “ melewati jalan tol. Tak khayal, karena tahun lalu masih dalam suasana pilpres yang memang ranahnya saling salah menyalahkan, dan tidak sedikit yang menimbulkan perdebatan sengit.

Namun belakangan ini tradisi mudik akan sangat berbeda, televisi dan media massa tidak lagi menyiarkan berita kaum urban ini. Hal-nya Covid-19 tidak kunjung meredah, dan pasien positif terus menerus bertambah dari waktu ke waktu, bahkan perlahan jadi bom waktu. Dalam perhari saja, kasus positif Covid-19 naik signifikan, dan semakin membuat pemerintah cari cara untuk pencegahan, yang akhirnya melirik momentum mudik (yang katanya) sangat potensial menularkan virus.

Usut punya usut. Saat pemerintah menetapkan bekerja dan belajar di rumah, gelombang pemudik dari penjuru daerah sudah naik kepermukaan, bahkan sangat membludak. Hanya saja para pemudik mulanya luput dari pandangan media dan penguasa, karena saat itu semua terkonsentrasi pada kasus positif Covid-19 saja.

Ketika kasus positif menyentuh angka ribuan, pemerintah kembali mempertegas sikapnya. Untuk  ASN, larangan mudik tertuang didalam Surat Edaran (SE) Menteri PANRB No. 41 Tahun 2020 tentang perubahan atas Surat Edaran Menteri PANRB Nomor 36 Tahun 2020, tentang Pembatasan Kegiatan Bepergian ke Luar Daerah dan/atau Kegiatan Mudik Bagi Aparatur Sipil Negara dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19.

Disaat situasi semakin genting, tidak sedikit umpatan dan sinisme yang mengarah kepada para calon pemudik. Di media sosial juga sangat ramai campaign larangan mudik tahun ini, kita bahkan melihat bermacam argumentasi dan tulisan bertebaran di lini-lini masa.

“Jangan Mudik ya.. Kalau kamu sayang keluarga. “

Nah, Mungkin itu salah satu tulisan yang berselewaran dibanyaknya media sosial. Saya rasa tulisan itu cukup baik, hanya saja sinisme hadir dari masyarakat menengah keatas, padahal peristiwa ini tidak semata adegan seremonial pulang kampung saja.

Saya rasa semua juga setuju jika mudik berpotensi besar menjadi ajang penyebaran virus Covid-19, termasuk sayapun beranggapan demikian. Penyebaran nya dicurigai yang tak kasat mata, dan terkesan terstruktur, sistematis dan masif. Tapi, seharusnya kita tidak terlalu naif mengkaitkan ataupun memberi pemudik dengan lebel “Tak Sayang Keluarga” ataupun semacamnya.

- Advertisement -

Dalam situasi pandemi ini, memilih mudik atau tidak mudik tidaklah salah. Justru bagi masyarakat miskin kota, ini menjadi sangat serba salah dan dihadapkan dengan situasi yang berbeda. Pun mereka harus memilih, bertahan hidup di kota dengan perekonomian yang semakin sulit, virus covid-19 yang turut/tetap menghantui, atau tetap pulang kekampung untuk menumpang hidup (Bersama keluarga), meski mereka akan diberi lebel OTG (Orang Tanpa Gejala) atau ODP (Orang Dalam Pengawasan).

Parahnya, mereka diumpamakan sebagai Kurir Virus. Wow?

Disatu sisi, pejabat pemerintahan masih membuat kebijakan yang justru membingungkan, dan tidak jelas, atau mengambang dalam mengeksekusi setiap keputusan. Padahal sebagai pemangku kekuasaan, Pemerintah seharusnya menawarkan win-win solutions kepada mereka, karena mekanisme permudikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

Mari kita lihat saat pertama kali kasus positif virus Covid-19 diumumkan pemerintah.

Saat itu pemerintah masih acuh tak acuh, dan disaat bersamaan masyarakat khawatir tidak akan bisa makan atau minum ditengah pandemi. Panic Buyying pun terjadi di setiap supermarket dan menyasar kepasar tradisional, para pemungut ‘cuan’ menyediakan jasa keberangkatan murah dan tidak ada tindakan tepat dari pemerintah.

Masih di awal, kebijakan memulihkan kembali sektor pariwisata dengan harga banting setir untuk tiket pesawat murah terjadi. Pemerintah gagap dan tidak benar-benar serius dalam memikirkan konsekuensi kedepan, bagaimana atau apa yang bakal terjadi.

Kembali ke  akhir Maret atau awal April, Pemerintah mengadakan rapat terbatas di Istana, Untuk 2 sampai 3 hari kedepan Jokowi meminta Kepala Daerah agar mewanti-wanti warganya agar jangan mudik dulu. Kemudian pernyataan itu ditarik, dan katanya pemerintah tidak akan mengeluarkan larangan resmi untuk mudik tahun ini.

Disaat pemerintah semakin menggalakkan campaign “Social Distancing”, disaat itu pula para pekerja harian justru semakin terbebani dan sulit mendapatkan rupiah demi rupiah. Jangankan bertahan untuk sebulan di rumah, satu hari saja; mereka harus berhadapan dengan kelaparan yang berujung pertengkaran dalam rumah tangga bahkan kematian.

Lagi dan lagi, pemerintah justru memperdebatkan Mudik boleh atau tidak. Padahal, substansial nya bukan itu. Mereka Lapar, dan kampung halaman adalah tujuan terakhir mereka berlindung atas ketidak mampuan pemerintah dalam mengambil kebijakan, makanya mereka pulang.

Di Jakarta, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah di terapkan Pemerintah Provinsi. PSBB dinilai lebih efektif diterapkan di tengah-tengah masyarakat, karena masyarakat tetap bisa menjalankan kegiatan sehari-hari namun ada pembatasan. Semoga dengan PSBB, masyarakat akan tetap terbantu walau dalam keadaan sulit.

Jadi jangan disalahkan muncul narasi kalau “mudik adalah tradisi, dan tradisi tidak bisa di ganggu gugat.” Karena itu benar saja, dan pemerintah pun tidak bisa mengambil keputusan tepat. Dengan problem yang belibet ini, nyinyir kepada para pemudik sebenarnya kurang tepat, sebelum sila kelima benar-benar diterapkan dan dijalankan dengan baik ditengah pandemi virus Corona Baru atau Covid-19 ini.

Hadi Prawira
Hadi Prawira
Seorang Mahasiswa Ilmu Politik yang hobi membaca dan menulis.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.