Jumat, Maret 29, 2024

Menyikapi Perbedaan, Kenapa Harus dengan Nafsu?

Muhammad Najib Murobbi
Muhammad Najib Murobbi
Alumni Universitas Islam Indonesia, Mahasiswa Ma'had Aly Krapyak Yogyakarta & Pascasarjana Universitas Indonesia

Tiap tahun selalu saja ada hal-hal yang terus terulang-ulang pada 25 Desember atau yang sudah resmi di kalender nasional dengan tanggal merahnya, Hari Raya Natal. Hari raya bagi umat Nasrani.

Saya tidak akan membahas histori dinamakannya hari raya Natal bagi umat Nasrani, toh itu juga sudah berlaku sangat lama di belahan dunia. Hal yang sangat menggelitik bagi saya saat banyaknya dari masyarakat kita kurang mampu menyikapi hukum boleh tidaknya mengucapkan “Selamat Natal” bagi umat Nasrani.

Seakan-akan adanya perbedaan pendapat dalam mengucapkan selamat natal menjadi hal yang sensitif di telinga. Tidak sedikit dari kita mengomentari pendapat seseorang yang bahkan sangat mumpuni dalam kapasitas keilmuan dengan memperbolehkan mengucapkan ”Selamat Natal” dicap bodoh, kafir, bahkan murtad. Jelas hal ini sudah melewati batas, dengan mudahnya mengecap seseorang hanya dengan perkataan.

Ibnu al-Qayyum dalm kitab Shawa’iq al-Mursalah mengatakan

وقوع الاختلاف بين الناس امر ضروري لابد منه لتفاوت اغراضهم وافهامهم وقوي ادراكهم ولكن المذموم بغي بعضهم على بعض وعدوانه

“Terjadinya perbedaan-perbedaan di tengah umat manusia merupakan suatu keniscayaan. Hal itu disebabkan beragamnya motif, tingkat keilmuan, dan kemampuan berpikir masing-masing manusia. Namun demikian, hal yang tercela dari perbedaan tersebut adalah timbulnya kezaliman dan permusuhan.”

Meski perbedaan pendapat merupakan sebuah keniscayaan dari kehidupan lantas tidak bisa dikatan sebuah perbedaan itu baik. Perbedaan pendapat bisa dikatakan terpuji dan tercela. Perbedaan dikatakan tercela bila berakibat perpecaahan dan kezaliman. Maka dari itu terdapat klasifikasi antara bagaimana perbedaan dikatakan terpuji dan menjadi tercela.

Menurut Dr. Umar Abdullah Kamil dalam risalahnya berjudul Adab al-Hiwar wa Qawa’id al-Ikhtilaf. Pertama, mengungkapkan bahwa perbedaan dikatakan tercela jika bukan dilandasi oleh sebuah hasil pemikiran ilmiah, melainkan dilandasi oleh sifat dan sikap yang tidak terpuji.

Sikap merasa paling benar fanatisme dalam golongan atau mazhab dan sebagaiannya. Sehingga atas fanatisme itu menafikan yang lain. Maka, jika perbedaan berawal dan dilandasi berdasarkan nafsu, sikap gegabah hingga terjadi perpecahan maka perbedaan akan menjadi tercela.

Berbeda halnya jika perbedaan perndapat berlandaskan perbedaan ijtihad, hal ini tentu akan terpuji. Bahkan, perbedaan seperti inilah yang menjadikan khazanah agama lebih luas. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata dalam kitab al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’ yang ditulis Abu Abdillah Muhammad

ما يسرني ان اصحاب محمد لم يختلفوا لانهم لو لم يختلفوا لم تكن رخصة

“Saya tidak merasa senang seandainya tidak ada perbedaan pendapat di antara Sahabat Nabi. Sebab jika mereka tidak berbeda pendapat, maka tidak akan ada keringanan bagi kita dalam menjalankan ajaran agama.”

Kedua,dilihat dari akibat terjadinya perbedaan. Perbedaan dikatakan tercela jika sampai menimbulkan perpecahan. Sahabat Ibnu Mas’ud pernah berbeda pendapat dengan Sahabat Ustman bin Affan dalam permasalahan qasr shalat dalam perjalanan haji. Sahabat Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa meng-qasr sholat lebih baik dari pada menyempurnakannya. Tetapi ketika tiba waktu sholat Sahabat Ibnu Mas’ud mengikuti Sahabat Ustaman bin Affan. Saat ditanya tentang hal itu beliau menjawab:

Memang benar (aku tidak sependapat) dan aku katakan kepada kalian sekarang (tentang hal tersebut). Akan tetapi Ustaman adalah seorang pemimpin, mana boleh aku berselisish dengannya? Perbedaan itu buruk.”

Sahabat Ibnu Mas’ud memilih untuk ikut pendapat Sahabat Ustaman bin Affan untuk mencegah terjadinya perpecahan. Inilah yang dimaksud beliau Perbedaan itu buruk. Perbedaan buruk yang dimaksud Ibnu Mas’ud ialah yang dapat menimbulkan perpecahan.

Ketiga, melihat bagaimana cara menyikapi perbedaan. Perbedaan yang terpuji akan menjadi tercela jika tidak disertai dengan etika serta adab-adab yang baik. Akhlakul karimah harus tetap dijaga dalam menyikapi sebuah perbedaan. Diantara akhlak yang harus dijaga ialah tidak mudah menghujat pihak yang berbeda apalagi sampai memfasikan, kafirkan yang sama-sama sesama muslim. Bila hal ini terjadi, jelas sebuah perbedaan akan menjadi tercela.

Imam Ghazali pernah berkata:

لو سكت من لايعرف قل الاختفال

Sendainya orang-orang yang tidak mengerti diam, maka perkhilafiahan bisa diminimalisir 

Maka sewajarnya bagi orang-orang yang kurang dalam pengetahuan agama, tidak mudah untuk ikut campur dalam permasalahan agama. Dengan tujuan tidak menjadi sebab semakin keruhnya keadaan. Dan tentu perbedaan-perbedaan ini berlaku bukan hanya dalam edisi Hari Natal, tentu saja berlaku untuk perbedan dalam pendapat lainnya.

Muhammad Najib Murobbi
Muhammad Najib Murobbi
Alumni Universitas Islam Indonesia, Mahasiswa Ma'had Aly Krapyak Yogyakarta & Pascasarjana Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.