Selasa, Oktober 8, 2024

Menjawab Radikalisme di Tubuh KPK

Lutfi Awaludin Basori
Lutfi Awaludin Basori
Freelance Journalist

Di tengah gegap gempita kesuksesan KPK melakukan operasi tangkap tangan atau OTT terhadap sejumlah koruptor, ada angin tak sedap berhembus ke tubuh KPK. Sebuah kekhawatiran mencuat di antara riuh operasi tangkap tangan itu. Kekhawatiran ini terkait adanya kelompok radikal yang bercokol di tubuh KPK.

Kekhawatiran ini dihembuskan pertama kali oleh seorang Penulis dan Blogger Denny Siregar. Bukan tanpa dasar, Denny memaparkan tiga dasar kekhawatirannya itu dalam tulisannya berjudul “Radikalisme Dalam Tubuh KPK”.

Dasar pertamanya adalah premis yang dia buat di awal tulisan “Radikalisme bisa ada di mana saja” artinya tak menutup kemungkinan jika radikalisme juga bercokol di dalam tubuh KPK. Alasan kedua, mengutip pernyataan Ketua Presidium Indonesian Police Watch, Neta S Pane yang menyebut ada Polisi India dan Polisi Taliban di tubuh KPK.

Polisi Taliban, bagi Blogger ini jelas-jelas merujuk kepada anggota KPK yang bersifat keras. Ditabah lagi, Dia mengatakan adanya isu kantor KPK menjadi sangat syari. Dengan itu dia memperkuat dugaan jika dalam tubuh KPK ada kelompok radikal.

Alasan ketiga, adalah keterlibatan BNPT dalam pemilihan calon pimpinan KPK kali ini. Bagi Denny ini sangat jelas karena ada kelompok radikal di dalam tubuh KPK. Denny menyebutnya tak ada asap jika tak ada api.

Kekhawatiran Denny ini tentu perlu kita apresiasi sebagai bentuk kecintaan terhadap KPK. Sebab tentu tak ada yang menginginkan lembaga yang memiliki otoritas memburu pejabat-pejabat korup itu dikuasai oleh kelompok radikal.

Sayangnya khekawatiran Denny ini bisa dibilang terlalu prematur. Dia lupa bahwa radikalisme itu tidak bisa ada di mana saja. Sebab tak mungkin radikalisme ada dalam tubuh BNPT yang tugasnya memerangi kelompok radikal itu sendiri. Akan sangat absurd jika itu terjadi. Artinya ada tempat-tempat yang radikalisme memang tak bisa masuk. Ini membuat premis pertamanya gugur.

Terkait penyataan Neta S Pane soal Polisi Taliban, Neta sama sekali tak menjelaskan soal radikalisme. Pada sebuah wawancara di stasiun tivi, Neta mengatakan tidak tahu persis apa motivasinya penyebutan dua kelompok itu. Kemudian Neta menduga Polisi India itu artinya seperti dalam film India ada inspektur Vijay yang sangat patuh kepada tuan Takur. Lalu Polisi Taliban adalah identitas, rombongan Novel Baswedan, dia bilang.

Neta memaparkan jika dua kelompok ini sedang berseteru. IPW berharap agar komisioner KPK dapat mendamaikan dua kelompok itu. Tapi sayang, menurut IPW komisioner belum melakukan langkah-langkah kongkret untuk mendamaikan dua kubu. Dalam keterangannya itu, tak sekali pun Neta membahas soal kelompok radikal dalam tubuh KPK. Artinya kesimpulan adanya kelompok radikal adalah kesimpulan Denny sendiri dari pernyataan Neta S Pane ada “Polisi Taliban”. Bukan pernyataan Neta yang menyebut ada kelompok radikal.

Soal Pansel KPK yang menggandeng BNPT agar tak ada calon yang terpapar radikalisme dalam calon pimpinan KPK, Denny menyebut tak ada asap jika tak ada api. artinya pasti ada sebab Pansel KPK kali ini menggandeng BNPT. Artinya bagi Denny ada radikalisme dalam tubuh KPK.

Nah, Ketua Pansel Capim KPK, Yanti Garnasih dalam sebuah wawancara di stasiun tivi menjelaskan alasan menggandeng BNPT. Menurutnya karena kondisinya saat ini menuntut hal itu. Bahkan ia menjelaskan tak hanya di KPK yang menggandeng BNPT tapi juga beberapa kementerian melakukan itu. Artinya hal itu adalah hal biasa yang juga dilakukan oleh instansi Pemerintah yang lain dalam hal rekrutmen. Alias bukan hal yang istimewa di KPK saja.

Kemudian terkait situasi di KPK yang menjadi syari, apa yang menjadi masalah di sana? Bukankah syari itu bukan pertanda sebagai paham radikal? Bukankah itu hanya ekspresi keagamaan? Atau jika  memang Denny memasukan syari sebagai bagian dari ciri paham radikal.

Jika parameter Denny terkait adanya radikalisme dalam tubuh KPK dilandaskan tiga alasan di atas, maka perlu kiranya kita membandingkan parameternya dengan milik BNPT. Sebab BNPT sudah memberikan ciri yang bisa dikenali dari paham radikal. Dalam sebuah makalah yang berjudul “Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme – ISIS” ditulis BNPT, menyebutkan 4 ciri paham radikal itu.

Pertama, intoleran. Mereka tak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain. Kedua, fanatik.  Mereka selalu merasa menang sendiri; menganggap orang lain salah. Ketiga, eksklusif. Mereka membedakan diri dari umat Islam pada umumnya. Terakhir, revolusioner. Mereka cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan.

Lebih lanjut, BNPT menjelaskan memiliki pemahaman radikal saja tak cukup untuk membuat seseorang menjadi pelaku teror. Motivasi menjadi pelaku teror itu didorong oleh beberapa faktor, antara lain faktor domestik. Yaitu kemiskinan, ketidakadilan atau kekecewaan kepada Pemerintah. Kedua, faktor internasional. Pengaruh luar negeri karena ketidak adilan global dan arogansi politik negara adidaya. Ketiga, faktor kultural. Ini terkait dengan pemahaman keagamaan yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit.

Nah, untuk menjawab ada atau tidaknya radikalisme dalam tubuh KPK, pilihan ada pada diri kita masing-masing. Apakah akan menggunakan parameter milik BNPT atau parameter milik Denny Siregar.

Lutfi Awaludin Basori
Lutfi Awaludin Basori
Freelance Journalist
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.