Ketika Revolusi Prancis abad ke-18 berakhir, salah satu kebaruan berpolitik di Prancis adalah lahirnya istilah kelompok; “sayap kiri”, “sayap tengah” dan “sayap kanan” sebagai gejolak politik di parlemen. Sayap kiri (leftist) merujuk pada kelompok progresif yang mendukung keinginan perubahan bentuk negara menjadi republik, lalu sayap kanan (rightis) merujuk pada kelompok konservatif yang ingin tetap mempertahankan monarki.
Sementara sayap tengah merujuk kepada kelompok moderat. Artinya, pemetaan kekuatan politik di Parlemen Prancis tidak terlalu sulit ditebak, karena cukup dilihat dari tempat duduk para anggota parlemen; kiri, tengah atau kanan.
Pun ketika kita membaca peta politik di Indonesia, juga tidak terlalu susah di analisis karena pemetaannya kerap kita lihat dengan istilah partai pendukung pemerintah dan partai oposisi pemerintah.
Meski harus diakui di parlemen Indonesia terkadang suasannya lebih cair. Misalnya; soal kebijakan dan kepentingan politis yang mengikutinya. Apalagi berhubungan dengan isu korupsi, semua terlihat berteman.
Ini era millenial, era digital yang hampir seluruh masyarakat di Indonesia sudah mengenal yang namanya internet. Di era digital, perdebatan politik juga kerap menghiasi linimasa dan kolom komentar para penggiat media sosial. Hal tersulit membaca “peperangan” politik di media sosial adalah soal bagaimana kita memetakan siapa lawan dan siapa pula kawan.
Sebab, debat politik di media sosial bukan soal berapa jumlah teman kita di facebook, pun berapa jumlah following dan followers kita di instagram atau twitter. Politik di media sosial bukan seperti istilah kiri, tengah dan kanan di parlemen Prancis atau perdebatan politik di parlemen Indonesia tentang yang mana partai pendukung pemerintah, yang mana pula partai oposisi.
Diskursus media sosial tidak terikat ruang dan waktu layaknya rapat-rapat politik yang perdebatannya sangat eksklusif tergantung jumlah peserta forum.
Lebih dari itu semua, politik media sosial mengajarkan kita agar jangan cepat baper. Jumlah followers tidak merepresentasikan pendukung kita, karena terkadang lawan kerap terselip diantara ratusan ribu hingga jutaan followers. Jadi, buat politisi pengguna media sosial jangan terlalu pede soal jumlah followers.
Linimasa media sosial twitter dihebohkan oleh perdebatan antara perempuan politik dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Tsamara Amany dengan akun @TsamaraDKI melawan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dengan akun @Fahrihamzah.
Awal “twitwar” tersebut dipicu oleh kicauan Fahri yang memposting; “Pertanyaannya kok #15TahunKPK OTT makin banyak ? bukankah ini pengakuan korupsi tambah banyak ? lalu sukses KPK di mana ?
Tsamara menggugat logika Fahri Hamzah tentang penyelesaian sebuah permasalahan. Lebih lanjut, Tsamara juga mengatakan ; sejak KPK didirikan pada tahun 2002 sudah 124 anggota DPR, 17 gubernur, 58 walikota dan bupati dibekuk karena korupsi.
Sebagai sesama millenial, saya juga berpikiran serupa Tsamara. Sebab, Ini sama seperti logika mempertanyakan jumlah pembangunan rumah sakit yang dibangun pemerintah selama ini, tapi tetap saja orang sakit semakin banyak ? Lalu sukses rumah sakit dimana ? padahal banyak rumah sakit didirikan sudah menyembuhkan ratusan juta masyarakat yang sakit, Mulai dari sakit ringan hingga sakit parah bisa sembuh dengan hadirnya rumah sakit. Tak jarang, penyakit disembuhkan melalui Operasi. Sama seperti KPK yang sering melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dalam menyembuhkan bangsa ini dari penyakit akut bernama Korupsi.
Singkatnya, ihwal kenapa masyarakat Indonesia terutama millenial harus menolak dilakukannya revisi UU KPK karena revisi tersebut berpotensi melemahkan KPK itu sendiri. Tentu kita berharap KPK semakin berintegiritas untuk memberantas korupsi dengan cara penguatan lembaga KPK itu sendiri.
Lebih lanjut, lihat saja pembacaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di sidangnya PN Tipikor Jakarta Pusat pada 9 Maret 2017 lalu. Kejutan besar dan menakjubkan bagi kita para millenials. Dana e-KTP yang total anggarannya mencapai 5,9 triliun telah diselewengkan dan di korupsi hingga menyebabkan kerugian negara sebesar 2,3 triliun. Lebih lanjut megakorupsi tersebut turut pula menyeret nama pengusaha, gubernur, puluhan anggota DPR hingga nama menteri.
Millenials yang Berisik terhadap Koruptor
Harus diketahui, media sosial mayoritas di dominasi oleh orang-orang yang lahir di tahun 1981-2010 yang juga disebut sebagai generasi millenial. Di rentan itu menurut Teory Generasi-nya William Strauss dan Neil Howe (1991) menjelaskan anak-anak yang lahir di tahun 1981-1994 adalah Generasi Y dan anak-anak yang lahir ditahun 1995-2010 adalah Generasi Z. Artinya, baik generasi Y dan generasi Z adalah generasi millenial itu sendiri.
Meski selama ini generasi millenial adalah generasi yang diabaikan, generasi yang dianggap tidak produktif dan generasi yang selama ini di cap sebagai generasi Alay. Hal ini disebabkan oleh perilaku generasi millenial tidak lepas dengan gadged seperti; selfie, bullying, pamer kemewahan hidup dan generasi up date status.
Generasi kita mungkin dianggap sebelah mata, karena dianggap terlalu muda dan amatir membahas politik. Jika memang pandangannya demikian, Oke. Tidak masalah sama sekali, yang penting kita tidak korupsi.
Yang penting pula, ketika kita melihat perilaku korup terjadi, kita tidak boleh diam, kita harus berteriak sekencang-kencangnya. Berisik terhadap banyaknya korupsi yang ada di Indonesia. Generasi millenial harus mengintai dan mengawasi setiap jejak-jejak politisi yang ada di pemerintahan, di DPR, di lembaga-lembaga hukum juga memantau KPK agar tetap bersih dan berintegiritas.
Ini hanya soal waktu saja untuk para millenial berada di panggung politik. Lebih lagi, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2020-2035 Indonesia akan memperoleh bonus demografi, dimana prediksi jumlah penduduk di Indonesia ditahun itu sebesar 305,6 juta jiwa dengan persentase angkatan kerja produktif mencapai 66,6% yang saat ini merupakan generasi millenial.
Tentu, sebagai generasi millenial kita tidak ingin diwarisi negara yang korup, kita tentu tidak ingin bonus demografi yang akan datang itu diisi oleh orang-orang apatis terhadap korupsi, diam dari segala tindakan intoleransi dan cuek terhadap berbagai persekusi dan diskriminasi. Kesimpulannya, untuk segala tindakan-tindakan yang kita anggap buruk kita harus berisik. Karena, untuk mencegah kejahatan menjadi berisik itu baik.