Rabu, April 24, 2024

Menilik Permasalahan dalam Revisi UU PPP

Satrio Alif
Satrio Alif
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Sebagai dasar atas pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia sekaligus pelaksanaan dari Pasal 22A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, keberadaan Undang-Undang (UU) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) menjadi sangat fundamental dalam sistem hukum Indonesia.

UU PPP merupakan patokan bagi setiap pembuat undang-undang, baik para wakil rakyat sebagai pembahas dan para sarjana hukum sebagai drafter atau perancang untuk merumuskan nomenkaltur suatu peraturan. Kondisi tersebut membuat ruang lingkup dari UU PPP begitu luas pembahasannya, mulai dari hal-hal prinsipil seperti hierarki peraturan perundang-undangan sampai dengan hal-hal teknis seperti penggunaan jenis dan ukuran huruf peraturan perundang-undangan diatur dalam UU PPP.

Dalam perjalanannya, UU PPP telah diubah sebanyak satu kali pada tahun 2019. Kala itu, UU PPP mengalami perubahan beberapa pasal yang mengatur program legislasi nasional (prolegnas) yang merupakan rencana undang-undang yang akan dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah.

Perubahan terkait dengan prolegnas tersebut menyangkut tentang beberapa hal seperti mekanisme penyusunan dan penetapannya, pihak yang bertanggungjawab dari pihak DPR dan Pemerintah dalam penyusunan dan penetapannya, dan keterlibatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di dalam pembentukan prolegnas.

Selain itu, terdapat penambahan ketentuan tentang kebolehan membentuk undang-undang yang sebelumnya tidak ditetapkan pada prolegnas dalam kondisi luar biasa seperti konflik dan bencana alam.

Setelah hampir tiga tahun perubahan tersebut berlaku, UU PPP kembali akan direvisi. Meskipun tidak dijelaskan secara terang oleh Pemerintah dan DPR tentang landasan revisi, para ahli berpendapat bahwa Revisi UU PP untuk kali kedua ini berakar dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.  91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam aspek formil.

MK melalui putusan tersebut menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dengan salah satu alasan bahwa metode omnibus yang digunakan dalam penyusunan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak diatur dalam UU PPP sebagai pelaksanaan  dari Pasal 22A UUD 1945.

Persepsi tersebut dibuktikan dengan diakomodirnya metode omnibus dalam penyusunan peraturan perundang-undangan pada Rancangan Revisi UU PPP. Hal tersebut tercermin pada perubahan Pasal 1 Revisi UU PPP dan dicantumkan pula pada bagian menimbang dari Rancangan Revisi UU PPP. Di samping itu, terdapat pula pengaturan mengenai perencanaan penggunaan metode omnibus di dalam pembentukan suatu peraturan dan tata cara pencabutan dari UU yang dibuat dengan metode omnibus.

Di samping metode omnibus, Rancangan Revisi UU PPP secara materiil juga menyentuh permasalahan hubungan antar lembaga dalam proses pembuatan perundang-undangan, baik dari tahapan pembahasan sampai dengan pengundangan. Permasalahan di bidang kelembagaan tersebut mencakup tiga hal utama yaitu kewenangan pengundangan, keterlibatan pemerintah pusat dalam pembuatan peraturan daerah, dan kewenangan perbaikan kepenulisan pada rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR, namun belum diundangkan.

Ketiga permasalahan tersebut pada akhirnya mengungkit kembali konflik kelembagaan lawas antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) serta Kementerian Kesekretariatan Negara (Kemensetneg pada bidang pengundangan. Hal ini dikarenakan kewenangan pengundangan sendiri baru diberikan kepada Kemenkumham pada tahun 2004 di mana sebelumnya merupakan kewenangan Kemensetneg.

Dalam beberapa waktu ke belakang, terjadi beberapa permasalahan di bidang pengundangan seperti yang terjadi pada kasus penolakan Kemenkumham untuk mengundangkan Perpres Nomor 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional dan juga Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan Anggota DPR, DPD, dan DPR Daerah tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Penolakan ini memicu ketegangan antar lembaga negara karena penolakan tersebut dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap kekuasaan lembaga negara lain oleh Kemenkumham karena klasifikasi Kemenkumham sebagai kementerian yang membidangi suatu permasalahan di masyarakat sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 5 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara membuatnya memiliki suatu nilai dan konsep yang dibawa di mana hal ini dapat berbeda dengan lembaga negara lainnya.

Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa pengembalian wewenang pengundangan kepada Kemensetneg merupakan suatu terobosan yang baik untuk menghindarkan perselisihan kelembagaan serupa di waktu mendatang karena klasifikasi Kemensetneg sebagai kementerian bersifat koordinatif sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3) UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang membuat Kemensetneg tidak membawa suatu nilai yang berakibat pada bias dalam pengambilan keputusan.

Pada Rancangan Revisi UU PPP, kewenangan perbaikan kepenulisan sendiri diberikan kepada Kemensetneg sebagaimana yang disebutkan Pasal 73 ayat (1). Kewenangan perbaikan kepenulisan sendiri memiliki urgensi untuk diatur mengingat kejadian dari proses pengundangan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sempat mengalami perubahan teknis setelah disahkan oleh DPR dan menimbulkan perdebatan di masyarakat.

Perbaikan kepenulisan tidak menimbulkan polemik kelembagaan karena Kemensetneg memiliki kewenangan untuk melakukan pengecekan terhadap peraturan perundang-undangan yang akan dikeluarkan dengan keterlibatan Presiden sekaligus memberikan nomor pada peraturan tersebut sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 48 huruf h Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 31 Tahun 2020 tentang Kementerian Kesekretariatan Negara.

Permasalahan substansial terakhir di dalam Rancangan Revisi UU PPP adalah keterlibatan pemerintah pusat dalam pembentukan peraturan daerah. Pada Pasal 58 Rancangan Revisi UU PPP disebutkan bahwa pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah baik di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh menteri atau lembaga atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan yang dalam kata lain Kemenkumham.

Ketentuan ini menimbulkan tumpang tindih kewenangan mengingat pembinaan terhadap pemerintahan daerah tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 5 huruf a Perpres Nomor 114 Tahun 2021 tentang Kementerian Dalam Negeri.

Permasalahan substansial tersebut ditambah dengan permasalahan formil berupa keterlibatan Kemenko Perekonomian sebagai Koordinator penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU PPP dari pemerintah yang tidak termasuk tugas pokok dan fungsi dari Kemenko Perekonomian. Hal ini dapat dibantah dengan dapat dibantah dengan keberadaan Pasal 49 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Menteri yang ditugasi Presiden mengkoordinasikan persiapan pembahasan DIM dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Melalui ketentuan tersebut, permasalahan formil dapat ditepis karena Kemenkumham tetap dilibatkan pada pembahasan DIM RUU PPP

Satrio Alif
Satrio Alif
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.