Sebagaimana hari-hari besar Islam lainnya, Idul Fitri juga mengalami pendistorsian makna. Spirit agung yang dibawanya banyak dilupakan umat Islam. Akibatnya, lebaran hanyalah seremonial belaka.
Kedatangan lebaran selalu kita sambut dengan gegap gempita. Bahkan jauh-jauh hari persiapan untuk menyambutnya sudah dimulai. Biasanya di separuh bulan Ramadan atau bahkan sebelumnya.
Puncaknya, pada pagi hari tanggal 1 Syawal, umat Islam tumpah ruah di jalan, masjid, musala, lapangan, rumah sanak keluarga dan tetangga. Semua bersuka cita. Semua menjalankan tradisi yang hanya dilakukan setahun sekali. Kontradiksi dan distorsi ini menyebabkan spirit lebaran tak lagi hadir di tengah-tengah kaum muslimin
Sebagai sebuah tradisi, lebaran terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Meski muatan dan spirit yang dibawanya tetap sama, namun dalam tataran praktiknya, lebaran telah banyak mengalami kontradiksi hingga distorsi.
Kontradiksi dan distorsi ini menyebabkan spirit lebaran tak lagi hadir di tengah-tengah kaum muslimin. Jikapun hadir, ia hanya temporal dan seremonial belaka.
Di antara spirit lebaran adalah mengajak umat Islam menjadi pribadi yang sadar diri dan besar hati. Di antara spirit lebaran adalah mengajak umat Islam menjadi pribadi yang sadar diri dan besar hati.
Keduanya merupakan deretan kunci agar umat Islam mampu mencapai goal dari puasa yang telah mereka jalankan selama satu bulan penuh di bulan Ramadan. Goal itu adalah takwa. Sehingga kita benar-benar menjadi pribadi yang fitri (suci).
Lebaran mengajak umat Islam untuk menyadari siapa dirinya dan dari mana ia berasal. Inilah mengapa ada tradisi mudik pada saat lebaran. Umat Islam (khususnya di Indonesia) diajak untuk kembali menyadari sangkan paraning dumadi-nya. Bahwa kehadirannya di dunia ini berasal dari kedua orangtua yang mendapatkan amanah dari Tuhan.
Maka, pulang ke kampung halaman untuk sungkem kepada kedua orangtua dan sanak keluarga tidaklah sebatas meminta maaf atas segala kesalahan. Tetapi merupakan sarana agar umat Islam menyadari bahwa ia berasal dari Tuhan dan hanya akan kembali kepada-Nya.
Lebaran juga mengajak umat Islam untuk menjadi pribadi yang memiliki kebesaran hati, yaitu yang mampu kadzimin al-ghaida wal afiina an al-nas (menahan amarah dan memaafkan kepada sesama). Sikap besar hati atau lapang dada merupakan sikap terpuji yang kian meluruh dari kita.
Semakin hari, kita semakin sulit menahan amarah. Apalagi memaafkan dan meminta maaf. Seperti kita lihat akhir-akhir ini, terutama menjelang dan pasca kontestasi pemilu. Pertikaian di antara kita kian meruncing saja.
Setiap lebaran kita disibukkan dengan berbagai hal yang berbau ‘kulit’ saja. Kita lupa pada hal-hal yang esensi. Namun sungguh disayangkan, spirit agung dari lebaran ini belum menjadi fokus utama kita. Setiap lebaran kita disibukkan dengan berbagai hal yang berbau ‘kulit’ saja. Kita lupa pada hal-hal yang esensi.
Kita sibuk menyiapkan busana baru, sajian kue kering dan kawan-kawannya, makanan, pokoknya apa saja supaya kita terlihat ‘wah’ dan bahagia. Lebaran menjadi semacam panggung drama.
Selepas berhalal bi halal pun, bibir kembali disibukkan dengan ghibah, fitnah, dan mengujarkan kebencian. Tabiat sebelum dan sesudah Ramadan sama sekali tak ada beda. Bahkan lebih buruk lagi. Inilah akibat dari perlakuan kita pada lebaran. Ia hanya kita maknai sebagai ritual seremonial belaka. Tanpa ada kemauan menggali hikmah di dalamnya. Tanpa mau menghidupkan spirit agung yang diusungnya.
Malang, 10 Juni 2019