Jumat, Maret 29, 2024

Menggali Kembali Manifes Kebudayaan

Rachmadiar Perdana
Rachmadiar Perdana
Pustakawan. Alumni Program Sarjana Psikologi Universitas Lambung Mangkurat.

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.

Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.

Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.

Jakarta, 17 Agustus 1963

***

Kata-kata di atas adalah isi dari naskah Manifes Kebudayaan yang disusun sebagai puncak perseteruan antara budayawan dan seniman anti-komunis dan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang dekat secara ideologis dengan Partai Komunis Indonesia. Manifes Kebudayaan menunjukkan kebulatan sikap beberapa tokoh seni dan budaya, seperti H.B. Jassin, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Gerson Poyk, dan lain-lain untuk membela kebebasan berbudaya dari pengaruh dan interpretasi politis.

Lahirnya Manifes Kebudayaan tidak hanya menunjukkan reaksi tokoh budaya atas meningkatnya pengaruh komunisme dalam kebudayaan nasional kita, namun juga memberikan pandangan untuk bagaimana menyikapi keadaan tersebut. Isi pernyataan Manifes Kebudayaan jelas menjadikan kebudayaan suatu alat perjuangan yang independen, lepas dari gemuruh politik. Selain itu, pernyataan itu juga menunjukkan jika politik harus berkiblat pada meninggikan kebudayaan dan bukan sebaliknya.

Tentunya Manifes Kebudayaan masih relevan hingga kini, terutama ketika isu ekstremisme dan intoleransi menjadi hangat baru-baru ini. Dalam ketidakpastian serta meningkatnya gesekan sosial yang ada akibat kisruh politik saat ini, ada baiknya jika kita menggali kembali semangat Manifes Kebudayaan untuk diterapkan kembali.

Pertama, gagasan hanya bisa dilawan dengan gagasan.

Sebagai negara demokrasi, banyak pemikiran yang tumbuh merdeka di Indonesia. Meski Pancasila telah diakui sebagai satu-satunya dasar negara kita, kita tidak bisa mengelak jika ideologi-ideologi anti-Pancasila, seperti komunisme dan radikal keagamaan, masih hidup di antara kita. Kelompok-kelompok seperti HTI dan PKI sangat wajar untuk berkembang di masyarakat kita yang masih berjuang dengan masalah-masalah politik, ekonomi, sosial dan sebagainya.

Manifes Kebudayaan pada dasarnya memajukan kebudayaan sebagai solusi menyikapi masalah ideologis yang ada. Para perancang Manifes menginginkan jika ekstremisme hanya bisa dilawan dengan mempertinggi kebudayaan dan bukan melalui kekerasan di ujung bayonet. Usaha-usaha kekerasan, seperti pembunuhan dan pembantaian, adalah barbarik dan tidak berbudaya dan bukan cara yang tepat untuk melawan ekstremisme.

Kita harus ingat jika meski seorang penganut ideologi telah mati, ideologinya tidak ikut mati. Kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu kumpulan pengetahuan bersama yang disebarkan dan diperbanyak dalam masyarakat. Ideologi adalah suatu bentuk pengetahuan. Jika kita ingin melawan suatu ideologi, kita harus melawannya melalui metode yang dialektis. Pembantaian dan pembunuhan besar-besaran hanya menghasilkan tragedi kemanusiaan.

Kedua, kebebasan adalah prasyarat dalam mempertinggi kebudayaan.

Pembubaran Hizbut Tahrir dan isu kebangkitan PKI menunjukkan jika masyarakat kita masih disibukkan dengan isu kebebasan. Di satu sisi kebebasan masih menjadi semacam kata terlarang dalam politik kita. Ketakutan akan liberalisme dan gagasan kebebasan masih ada pada beberapa sektor masyarakat kita. Namun di sisi lain, kebebasan adalah tameng bagi kelompok-kelompok anti-demokrasi dan anti-kebebasan itu sendiri.

Ironis melihat HTI memandang Perppu Ormas sebagai pelanggaran hak asasi dan mengajukan gugatan atasnya ke Mahkamah Konstitusi. Ironis melihat FPI mengaku pembela Pancasila sementara berperilaku intoleran terhadap kelompok lain. Ironis juga mengingat ke belakang ketika PKI membela Pancasila dan demokrasi untuk mempertahankan kedudukannya. Akhirnya kita hanya melihat bahwa kebebasan di negara kita hanyalah semu, suatu “kebebasan musiman” dari kelompok “liberal dadakan” yang muncul ketika kelompoknya merasa terancam keberadaannya.

Jika HTI merasa tidak adil organisasinya dibubarkan, kenapa mereka tidak ikut bersolidaritas dengan para eks-Tapol korban peristiwa ’65? Jika mereka yang melihat ada PKI yang secara formal sudah dibubarkan telah bangkit kembali entah dimana, kenapa mereka tidak ikut juga vokal melarang Partai Bulan Bintang yang lahir dari penerus ideologi Masyumi atau Partai Solidaritas Indonesia yang memiliki akronim seperti PSI yang dilarang pada 1960?

Ketiga, kebudayaan kita harus berkiblat pada Pancasila.

Seperti yang dinyatakan dalam naskah Manifes, Pancasila adalah suatu falsafah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, falsafah adalah “anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat; pandangan hidup”, sementara berfalsafah adalah “memikirkan dalam-dalam (tentang sesuatu); mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang dalam yang dijadikan sebagai pandangan hidup”.

Jika kita memaknai kalimat “memikirkan dalam-dalam” dari arti kata berfalsafah, maka seperti itulah kita harus memaknai Pancasila. Pancasila sebagai suatu filsafat, yang dalam hal ini adalah filsafat kebudayaan, harus dipikirkan dalam-dalam dan tidak bisa ditafsirkan dengan gampangan seperti yang dilakukan rezim Orde Baru.

Sebagai suatu filsafat, Pancasila akan selalu terbuka dalam ruang dialektika. Pancasila bukanlah dewa atau Tuhan yang Maha Benar dan Maha Mutlak dan diskusi atasnya akan selalu terbuka tergantung pada keadaan dan masa yang ada. Dinamika itu juga yang harus tercermin dalam kebudayaan nasional.

Kebudayaan kita tidak semestinya bersifat statis. Seperti halnya Pancasila, kebudayaan kita akan selalu terbuka terhadap sikap-sikap dialektis, antara nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai modern, antara yang bersifat lokal dan yang bersifat global, antara ideologi-ideologi politik yang berkembang dan antara perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat kita.

Kebudayaan yang berkiblat Pancasila tidak seharusnya bersikap xenofobis dan paranoid terhadap kebaharuan dan keterbukaan. Sebaliknya, kebudayaan akan berkembang jika berani membuka diri atas berbagai peluang terutama dalam masa globalisasi saat ini. Berkembangnya kebudayaan itu menandakan jika bahwa kebudayaan Indonesia masih dan akan terus hidup seiring zaman.

Ketiga semangat Manifes itu harus bisa kita peluk kembali di tengah kericuhan yang sedang marak terjadi. Kita tidak bisa menodai kemerdekaan ini dalam pertikaian politik dan sosial yang terus menerus. Hanya dengan mempertinggi kebudayaan nasional lah kita dapat meninggikan derajat bangsa kita dan memberikan Indonesia tempatnya di tengah masyarakat bangsa-bangsa.

Rachmadiar Perdana
Rachmadiar Perdana
Pustakawan. Alumni Program Sarjana Psikologi Universitas Lambung Mangkurat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.