Sabtu, April 20, 2024

Menggagas Literasi dari Pinggir

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal

Kemajuan dan keterbelakangan suatu bangsa dapat diukur dari tingkat literasi. Literasi mendorong lahirnya konsep tentang perubahan. Tentu disamping itu pula, proses bagi terbentuknya karakter yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa, merupakan pokok paling mendasar dibanyak negara maju yang terbentuk lewat penguatan literasi.

Di Indonesia, penguatan literasi masih belum tumbuh signifikan. Di banyak tempat, misalnya, penguatan literasi malah menghadapi banyak persoalan yang semakin mempersempit tumbuhnya iklim literasi. Ada beberapa catatan penting yang menurut hemat saya mengapa hal itu sulit kita capai bersama.

Pertama, akses masyarakat terhadap fasilitas seperti buku, menambah beban mengapa literasi di Indonesia belum cukup masif. Terkait hal ini, saya ingin membantah anggapan yang berlaku umum bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kesadaran literasinya sangat menurun.

Menurut saya, perspektif seperti ini justru keliru dan menyesatkan. Bagaimana mungkin kesadaran literasi tumbuh apabila akses terhadap pemenuhan fasilitas dan sarana – prasarana bagi pengembangan literasi sangat terbatas bahkan tidak mendukung sama sekali?

Kedua, minimnya keterlibatan negara dalam upaya mendukung pengembangan literasi disetiap daerah menjadi faktor yang memperkuat adanya bukti bahwa tingkat literasi masyarakat cukup rendah. Di beberapa negara, seperti China, Jepang, Finlandia dan beberapa negara maju, keterlibatan negara sangatlah penting dalam rangka mendorong dan meningkatkan mutu pengembangan literasi.

Sialnya, di Indonesia, negara malah absen memperjuangkan cita-cita luhur bangsa, “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Karena itu, dibaca dari perspektif ini, bukan kecerdasan bangsa yang ingin capai bersama, melainkan bangsa yang terbelakang. Bahkan akibat lebih jauh ialah, kita masih dihantui dengan sejarah bangsa yang dibengkokkan. Upaya untuk menemukan dan membongkar fakta dan kebenaran rill dari sejarah selalu dianggap provokator dan tidak Pancasilais.

Ketiga, ditengah keterbatasan mengakses fasilitas dan sarana-prasarana dalam menunjang pengembangan literasi, yang ada kita sulit menemukan proses penerimaan secara total oleh masyarakat bahwa literasi sangat penting dan mendesak kita butuhkan.

Yang ada, proses menuju penerimaan secara total itu tidak terwujud ditengah masyarakat kita hari ini. Sebab, penguatan literasi tanpa didukung dengan penerimaan total masyarakat hanyalah sia-sia dan mengalami kemacetan. Tidak heran apabila penguatan literasi ditengah masyarakat justru macet bukan karena kesadaran masyarakat yang kurang terhadap literasi.

Melainkan menurut hemat saya, hal ini dikarenakan masyarakat memandang bahwa pembentukan literasi tidak bersentuhan secara langsung dengan kehidupan nilai ekonomi mereka. Sebab jika kita baca lebih serius dan realistis tentang hal ini, sesuatu yang tidak bersentuhan secara langsung dengan kegiatan nilai ekonomi masyarakat, sulit mendapat penerimaan total dan kehendak diri dari masyarakat.

Ringkasnya menurut saya, pengembangan literasi harus membutuhkan proses penerimaan secara total oleh masyarakat apabila kita menginginkan adanya penguatan literasi itu tumbuh subur dilingkungan kita.

Agenda Kedepan

Lantas, apa yang perlu dilakukan? Saya berargumen dan memproposalkan satu konsep bagi agenda penguatan literasi. Menurut saya, kita perlu membangun konsep yang pada dasarnya tumbuh dari bawah. Artinya, pengembangan literasi harus dimulai dari wilayah pinggir dengan merangkul segmen masyarakat untuk terlibat dan memperkuat jaringan dengan tujuan mendapat kontribusi bagi akses terhadap pemenuhan fasilitas dan sarana-prasarana.

Apa yang dimaksud dengan wilayah pinggir ini? Wilayah pinggir yang saya maksudkan dalam tulisan ini merujuk pada suatu keadaan masyarakat yang mengalami keterbatasan akses terhadap sumber bacaan, seperti buku dan tidak memiliki jaringan  yang mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan literasi diwilayah mereka.

Saya menyebut wilayah pinggir selain karena faktor masyarakat kurang mendapatkan pemenuhan akses dan lemahnya jaringan mereka, di sisi lain wilayah pinggir ini diartikan sebagai akibat dari absennya negara memfasilitasi bagi penguatan literasi. Karena itu, konsep yang hendak saya proposalkan ini lebih diarahkan dalam memperkuat akses, jaringan serta mendorong keterlibatan negara dalam upaya membantu masyarakat dalam usaha pengembangan literasi.

Sebab sebagaimana menurut saya, selama literasi tidak tumbuh diwilayah pinggir atau akses mereka terhadap literasi sangat rendah. Selama itu pula penguatan literasi yang diharapkan sulit kita capai. Bahkan lebih jauhnya lagi, perubahan bagi tatanan sosial dan mencerdaskan kehidupan bangsa hanyalah narasi politis yang tidak lain dilanggengkan terus oleh negara, karena ketidakmampuan negara menuntaskan problem literasi.

Karena itu, berangkat dari situasi semacam ini, menurut saya, kita perlu mengembangkan format kebijakan dengan berusaha menyelaraskan masalah ketimpangan literasi serta memperjuangkan penguatan literasi dimulai dari wilayah pinggir. Di sinilah menurut saya, kita perlu mendorong negara untuk terlibat dalam memperjuangkan visi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jika konsep ini kita capai, menurut saya hal ini akan membawa kita pada satu kondisi dimana penerimaan total oleh masyarakat, seperti yang saya maksudkan tadi, tentu akan tercapai dan tumbuh dikalangan masyarakat. Yang diperlukan sekarang ialah bagaimana segmen masyarakat mampu mengambil peran dalam rangka menuntaskan dan merumuskan capaian penguatan literasi.

Agenda penguatan literasi harus terus kita masifkan dalam rangka mendorong penerimaan secara total. Sementara pada aspek lain, kondisi ini memungkinkan kita membentuk ‘warga yang kritis’. Ini mimpi besar yang dilandasi dengan semangat literasi, yang menurut saya bisa kita capai apabila fondasi bagi tercapainya cita-cita itu kita perkuat.

Melampaui Negara

Perlu dicatat, mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan cita-cita luhur yang digagas oleh para founding father agar bangsa ini memiliki semangat membawa negara ini mencapai satu impian besar, karakter yang berkebudayaan. Selaras dengan cita-cita itu, tentu ini dicapai melalui penguatan literasi. Karena itu, absennya negara memperjuangkan cita-cita luhur bangsa, artinya membiarkan bangsa ini dikoyak-koyak oleh kekuatan asing.

Dalam kondisi demikian, ‘melampaui negara’ menurut saya merupakan sebuah ungkapan sekaligus sikap sinis yang menunjukan usaha yang tentu saja berangkat dari kesadaran diri masyarakatnya memperjuangkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.

Apalagi diwilayah pinggir kondisi bagi terciptanya penguatan literasi sangat lemah, menurut saya, usaha melampaui negara betul-betul terjadi jika negara tidak mampu mengatasinya. Ini sekaligus bentuk kritik dan refleksi negara.

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.