Selasa, April 23, 2024

Mengenal “Kiai” dalam Kosmologi Pesantren

Ahmad Umam Aufi
Ahmad Umam Aufi
Pembaca apapun

Dalam tradisi pesantren, kiai merupakan elemen penting. Berkembanganya sebuah pesantren tergantung pada kemampuan pribadi kiainya. Meskipun kebanyakan kiai tinggal di pedesaan Jawa, namun mereka memiliki pengaruh dalam kehidupan keagamaan, sosial dan bahkan politik.

Seorang kiai dalam masyarakat Jawa, sering dianggap sebagai orang yang mampu melihat keagungan Tuhan dan rahasia alam. Sehingga mereka dianggap istimewa dihadapan kalangan awam (Zamakhsyari Dhofier, 1985). Para kiai selalu bersifat swasta dan berdikari. Pemahaman mereka yang mendalam terhadap agama, menjadikan mereka sangat dipercayai oleh masyarakat.

Keistimewaan kiai di hadapan masyarakat bersumber dari keluhuran spiritualitasnya. Kultur Jawa yang kental nuansa mistis membuat seorang kiai yang memiliki spiritualitas tinggi banyak diikuti. Ini yang membuat seorang kiai memiliki modal sosial yang kuat untuk melakukan transformasi sosial, khususnya melalui pesantren.

Pada abad 19, banyak kiai pesantren yang mengajarkan tarekat. Namun, pengajaran tarekat terpisah dari pengajaran kitab pada umumnya. Selain itu, calon anggota tarekat kebanyakan lebih tua dari pada santri biasa (Karel A. Steenbrink, 1984).

Selain itu, rasa hormat kepada kiai menjadi elemen penting dalam pesantren. Ini adalah hal pokok yang selalu ditanamkan kepada para santri. KH Hasyim Asy’ari misalnya, ia begitu mengagumi gagasan tafsir Muhammad Abduh. Namun ia tidak suka jika ada santrinya membaca kitab tafsir Abduh. Keberatannya bukan pada rasionalime Abduh, melainkan ejekan yang ditujukan Abduh kepada ulama tradisional (Martin Van Bruinessen, 2015).

Akhlak, dalam pendidikan pesantren, merupakan hal yang mutlak tidak bisa diperdebatkan lagi dalam proses pendidikan. Sebarapapun pandai seorang murid ia akan tidak dianggap berhasil jika perilakunya tidak mencerminkan akhlak yang baik. Corak tasawuf seperti ini banyak dipengaruhi oleh tasawuf akhlaki yang diajarkan oleh ulama abad pertengahan seperti imam al-Ghazali.

Menurut Gusdur dalam sebuah tulisannya pesantren sebagai subkultur, di samping kharisma seorang kiai, seorang santri dalam melihat kiainya sebagai kelanjutan silsilah para pewaris ilmu di masa keagungan Islam dahulu. Dan ini yang menjadikan kiai sebagai pola cita ideal di hadapan para santrinya.

Kiai menempati posisi sentral dalam pendidikan Islam. Sebagai pewaris Nabi, ia harus mampu menjadi model ideal bagi para santri. Interaksinya dengan para santri berorientasi kepada pendekatan kepada Tuhan. Dan ini berlangsung seumur hidup, bahkan saat kiai sudah meninggal dunia.

Seorang kiai memiliki kedudukan ganda sebagai pengasuh dan pemilik pesantren dan secara kultular kedudukannya sama dengan bangsawan feodal. Maksudnya, ia dianggap memiliki kelebihan  yang tidak dimiliki oleh orang lain yang umunya bersifat magis. Gus dur mencotohkan seorang Kiai Hasyim Asy’ari, dengan melempar tongkatnya, maka tongkat akan mengenai santri yang telah melakukan kesalahan.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari dalam pesantren, kiai hanya mengajar membaca kitab, menjadi imam dan khatib salat Jumat, menghibur orang sakit yang datang kepadanya dengan mencoba menasihati dan mengobati dengan doa-doa. Peraturan keseharian diserahkan kepada santri yang menjadi lurah pondok dengan persetujuan kiai. Sehingga keterlibatan kiai terbatas pada pengawasan yang diam (Karel A. Steenbrink, 1974).

Masih menurut Gusdur, hubungan kiai dengan para pengurus pondok merupakan satu-satunya hirarki kekuasaan dalam lingkungan pesantren. Kekuasaan seorang kiai yang begitu besarnya terhadap santrinya, membuat santri merasa terikat dengan kiainya, minimal sebagai sumber inspirasi dan pendukung moril dalam kehidupan pribadinya. Seperti urusan memilih jodoh, membagi harta pusaka dengan sesama ahli warisnya bahkan dalam menentukan lapangan pekerjaan.

Meskipun kiai menempati posisi kekuasaan yang absolut, penunjukan lurah pondok yang biasanya diduduki oleh santri tertua beserta pengurus menunjukan proses demokrasi kecil dalam lingkup pesantren. Kiai memberikan ruang dalam pendidikan dan pengajaran, tugas dan tanggung jawab pesantren kepada santri tua yang sudah cukup maju dalam proses pendidikannya (Karel A. Steenbrink, 1984).

Selain itu kiai juga dianggap orang yang paling mengetahui perkembangan santri. Bukan pemerintah atau instansi lainnya. Model pendidik seperti kiai yang memantau secara penuh proses perkembangan lahir dan batin santrinya hari demi hari tidak ditemukan dalm sistem pendidikan nasional.

Para kiai berafiliasi dengan tarekat dan mengajarkan amalan-amalan sufistik tertentu. Seperempat dari kitab yang dihasilkan para ulama berupa kitab-kitab akhlak dan tasawuf. Tradisi seperti ziarah kubur, haul para kiai, dan menghormati para wali terdapat di hampir semua pesantren di Jawa (Martin Van Bruinessen, 2015). Meskipun Karel. A. Steenbink menyebutkan bahwa kitab tasawuf menjadi  kitab minoritas yang diajarkan di pesantren.

Para kiai sangat menekankan pentingnya shalat dan zikir untuk meningkatkan spiritualitas seseorang. Kiai Syansuri Badawi, pengasuh pensantren Tebu Ireng, menyebut bahwa para kiai melanjutkan tradisi Imam Malik tentang kewajiban seorang muslim untuk menyeimbangkan aspek syari’ah dan tasawuf. Karena itulah kesempurnaan keislaman seseorang (KM Akhirudin, 2015).

Abdurrahman Mas’ud dalam artikelnya yang berjudul sejarah dan budaya pesantren menyebut banyak ilmuwan berpendapat bahwa ada hubungan yang tegas antara perkembangan tarekat dan pesantren di Jawa. Dua elemen ini saling memperkuat dari abad ke abad.

Tak heran jika kemudian perlawanan dan pemberontakan seperti perang Jawa dipimpin atau setidaknya direstui oleh kalangan kiai dan santri. Bahkan, di Banten pada tahun 1888, pemberontakan petani dipimpin oleh para ulama-ulama tarekat produk pendidikan pesantren. Ini menunjukan, pendidikan pesantren juga memproduksi nilai-nilai kebangsaan dan perlawanan terhadap ketimpangan.

Kombinasi pesantren dan tarekat kemungkinan juga terjadi di wilayah Jawa lainnya. Ini terlihat bahwa kharisma seorang kiai didasarkan pada kekuatan spiritual dan kemampuan memberi berkah dengan hubungannya dengan alam ghaib. Selain itu, juga tercermin dalam konsep wasīlah, keperantaraan spiritual (Martin Van Bruinessen, 2015).

Wasīlah, atau Dalam tradisi sufisme dikenal dengan tawāsul, digunakan sebagai perantara seorang guru dan murid. Karena kematian bukanlah pembatas bagi hubungan spiritual antara keduanya. Hubungan kiai dan santri, pendidik dan peserta didik berlangsung sepanjang hidup. Dalam alam pemikiran modern, ini menjadi kritik keras bagi pendidikan Indonesia. Hubungan guru dan murid dianggap selesai setelah pengumuman kelulusan sekolah.

Sudah semestinya di tengah kekacauan dan klaim atas otoritas keilmuan agama serta perebutan istilah ulama, kita sebagai muslim yang membaca sejarah perkembangan Islam menempatkan para kiai pesantren sebagai lentera dalam laku keagamaan kita. Para kiai pesantren adalah sosok yang sudah selayaknya menjadi teladan dan panutan. Sudah saatnya kembali (belajar) dengan para kiai pesantren.

Ahmad Umam Aufi
Ahmad Umam Aufi
Pembaca apapun
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.