Letupan sumpah pemuda 90 tahun silam dari para pemuda sepanjang Sabang sampai Merauke mengkiaskan spirit persatuan yang amat kekar. Menyembul organisasi kepemudaan semacam Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915), Jong Soematranen Bond(1917), Jong Islamieten Bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Roekoen dan Pemoeda Kaoem Betawi.
Meski masih bersifat kedaerahan,namun hal tersebut mewartakan geliat pemuda untuk membangun kualitas dirinya melalui diplomasi dan organisasi .
Masa kolonial senantiasa diliputi penindasan terhadap hak-hak manusia, utamanya hak mengutarakan pendapat. Organisasi kedaerahan yang mereka bangun,lambat laun ambruk karena pergerakanya cenderung mudah dibaca oleh Belanda.
Namun hal tersebut justru menjadi momentum awal menetasnya persatuan dan rasa senasib sepenanggungan. Sentimen kedaerahan berhasil dirubuhkan dan perjuangan berbelok haluan berlandaskan nasionalisme.
Generasi Emas Abad XX
Sulit menepis anggapan bahwa generasi pemuda 90 tahun silam merupakan generasi paling emas bangsa Indonesia. Cara mereka berpikir sudah sangat maju dan memandang kepentingan banyak orang bahkan negara tempat mereka bernaung.
Zaman itu pemuda tumbuh tanpa dikemuli rasa gengsi, hedonisme, dan konsumerisme. Realitasnya pemuda abad XX adalah manusia tangguh nan cerdas menyikapi perkembangan zaman meski ditekan penjajah.
Kesadaran berbangsa dan bernegara tidak serta merta timbul begitu saja.Menariknya pihak Belanda lah yang sebenarnya mempelopori. Mengacu salah sebuah bunyi Trias Van Devente yang menjadi sisi terang yakni edukasi Semenjak itu, keran pendidikan mengalir deras membasahi penduduk bumiputera.
Sekolah-sekolah gagah berdiri dan menjadi tempat mengadu pikiran.Meski terbentur diskriminasi antara anak pegawai negeri yang cenderung mudah menggaet pendidikan kelas I namun kaum pribumi tetap antusias dan rakus akan ilmu yang disajikan di sekolah kelas II.
Pendidikan menjadi rahim lahirnya para pemuda cendekia.Golongan cendekiawan tersebut mampu memutar roda pergerakan nasional melalui organisasi-organisasi yang tak lagi berkutat pada daerah masing-masing. Ditandai dengan berdirinya Budi Utomo (1908) yang lingkupnya adalah negara dengan tujuan merdeka.
Tidak berselang lama sesudah berdirinya Budi Utomo, segera diikuti dengan tumbuhnya organisasi-organisasi lain seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Taman Siswa, mereka telah menjadi perintis kemerdekaan dengan memanfaatkan organisasi sebagai wadah solidaritas sekaligus media bercakap gagasan.
Di tengah pluralitas dan etnosentrisme yang masih kental,pemuda kala itu berani bertindak nyata mewujudkan adanya bentuk nasionalisme. Adalah Kongres Pemuda II tanggal 27-28 Oktober 1928 yang berhasil menetaskan Sumpah Pemuda. Atas keberhasilan Kongres Pemuda II, popularitas pemuda abad XX membuncah. Para pemuda dijuluki dengan Angkatan Penegas karena prestasinya mendongkrak dan menegaskan persatuan.
Keberanian dari para pemuda abad XX berhasil mengkoyak-koyak ketentraman singgahsana tuan kolonial di tanah pertiwi. Belanda mulai melancarkan aksi guna memperlemah persatuan yang bercokol menjiwai pemuda. Segelintir pejabat Belanda berusaha menyulut semangat daerahisme dari penduduk pribumi. Lagi-lagi pemuda kala itu tegak berdiri di garda terdepan berselempang persatuan dan toleransi.
Pudar
Dapat dilihat siklus yang digelar para pemuda tahun 1908 hingga 1945.Peran pemuda terlihat begitu vital. Mereka seakan sangat paham apa yang dibutuhkan bangsa ini. Sejarah telah mensketsakan siklus yang asik yakni membangun rasa kebangsaan dan nasionalisme lewat kebangkitan nasional (1908), membangun persatuan dan kesatuan dengan tercetusnya sumpah pemuda (1928), serta titik puncak perjuangan yang juga digagas pemuda lewat peristiwa Rengasdengklok hingga proklamasi (1945). Tiga pondasi tersebut berhasil membawa NKRI mengarungi waktu hingga ke Era milenial saat ini.
Namun menilik kapasitas pemuda Indonesia saat ini,bukan tidak mungkin mewujudkan Indonesia emas tahun 2045 hanya sepintas angan-angan. Arus pembaratan yang menerjang semakin tidak terkendali. Sajian sejarah sumpah pemuda tak ubahnya sebagai sebuah pengetahuan belaka yang hanya kita dalami di bangku sekolah. Sedangkan implementasinya patut dipertanyakan.
Di era digital, memantik perpecahan amatlah gampang.Modernisasi telah mendorong mudah dan bebasnya interaksi secara massal. Lantaran media sosial juga bercokol sebagai media interaktif paling digandrungi anak muda. Beberapa oknum tidak bertanggung jawab menyisipkan benih-benih perpecahan lewat media sosial tersebut. Hal ini menjadi tantangan tersendiri yang harus mampu dijawab pemuda era global.
Hingga perodisasi hari ini perpecahan masih menghiasi media-media sebagai berita utama. Tagar-tagar provokatif juga meramaikan jagad media sosial setiap harinya.meski maraknya IT juga sukses menghadirkan pemuda yang cerdas dan berprestasi sesuai dengan kebutuhan zaman.
Namun bangsa ini masih kekurangan terhadap pemuda-pemuda yang peduli akan keberlangsungan persatuan negaranya. Individualisme meningkat tajam karena yang dikejar hanya tujuan daripada dirinya sendiri. Redupnya peran pemuda di era global semakin menegaskan pudarnya nilai-nilai Sumpah Pemuda 90 tahun silam.
Perjuangan pemuda era sekarang tidak cukup sebatas organisasi dan diplomasi seperti pemuda abad XX.Kecerdasan dan kreativitas buah pendidikan dengan kehadiran teknologi di sana-sini harus disuburkan. Pemikiran skeptis harus ditumpas digantikan keberanian menggagas perubahan.Pemuda tidak boleh meringkuk diam. Sumpah Pemuda Jilid II ala kaum milenial tidak perlu diikrarkan namun cukup dibuktikan dengan tindakan.
28 Oktober 2018 ini kita butuh jeda akan hiruk pikuk perpecahan yang menderu negeri ini.Kita perlu menimbang dan merefleksikan diri guna memaknai perjuangan para pemuda pernah pontang-panting berpikir dan bertindak demi keberlangsungan persatuan. Sumpah Pemuda 90 tahun silam menjadi lonceng pengingat getirnya rasa persatuan di era saat ini supaya kita dapat berbenah.Sembari berharap pemuda milenial ini dapat lebih emas dari pemuda abad XX.