Dinamika kampus hari-hari ini memuat problematika yang sangat rumit, lewat hal itu kampus juga harus memulai pembenahan di segala lini.
Sistem administrasi dan birokrasi di dalam kampus misalnya, telah banyak memuat persoalan yang usang dan perlu segera dibenahi.
Yang paling kentara ialah “Demokrasi Kampus”, seperti yang kita ketahui bersama bahwa pemerintahan demokrasi indonesia telah lama berlangsung, dan telah membuahkan hasil. Jalur pemilihan umum menjadi salah satu contohnya.
Namun dimata Institusi Pendidikan Tinggi (kampus), hal di atas tidak pernah menjadi terlaksana. Wujud demokrasi yang tak pernah sesuai dengan prinsipnya, telah berlangsung lama di kampus.
Sejak dahulu kampus tidak pernah menerapkan kebebasan demokrasi kepada mahasiswanya, yang padahal merupakan kelompok mayoritas yang berada di suatu kampus.
Kebebasan demokrasi untuk mahasiswa, yang terjadi di kampus tidak pernah berhasil dicapai, walaupun perjuangan dari para mahasiswa dari berbagai macam organisasi di penjuru kampus sudah di lakukan.
Hal ini tentu sangat merugikan mahasiswa, karena mahasiswa merupakan salah satu sasaran utama dari sebuah lembaga pendidikan. Keadaan ini juga diperparah dengan adanya pembungkaman dan intimidasi dari pihak kampus.
Data yang dirilis Jarkam memperlihatkan medio 2016–2018 ada sekitar kurang lebih 5.000 mahasiswa terkena sanksi DO dari kampusnya karena beberapa hal, kritik terhadap kampus salah satunya. Yang semakin mendukung fakta di atas.
Alasan yang paling klasik, akibat dari tidak adanya demokrasi kampus untuk mahasiswa ialah, status temporal yang disandang mahasiswa, yang membuat mahasiswa tidak perlu punya andil besar dalam proses demokrasi kampus.
Mahasiswa hanya dipersilahkan untuk, melaksankan kegiatan belajar untuk mempertebal ilmu pengetahuan atau mengikuti beberapa organisasi kampus, yang mensyaratkan banyak hal dan sesekali bisa menyampaikan keluhan, bila terjadi suatu masalah.
Sitem demokrasi yang terjadi dikampus hanya di lakukan oleh para birokrat kampus dan pihak kementerian, dalam pemilihan Rektor salah satu contohnya. Praktik ini tak lebih merupakan ajang perebutan kekuasaan dalam sebuah lembaga pendidikan.
Hal yang terjadi ialah jual-beli dan tawar-menawar kekuasaan dari para birokrat kampus kepada kelompoknya. Praktik kepentingan ini, puluhan tahun terjadi dan tidak kunjung dibenahi. Mereka membentuk koalisi untuk mengisi pos-pos jabatan untuk menjalankan kekuasaan, tanpa sepengetahuan mahasiswa dan tanpa melibatkan mahasiswa.
Ironisnya mahasiswa merupakan korban pertama dan yang paling utama dari hal tersebut. Mereka borkonsolidasi antar sesama untuk merumuskan arah kebijakan dan program lembaga, lalu menerapkannya untuk para mahasiswa.
Mereka menentukan kemana arah lembaga selanjutnya tanpa pertimbangan resiko yang akan dihadapi mahasiswanya. Padahal saat itu, para mahasiswa juga memiliki posisi tawar terhadap kampusnya.
Terjadilah perebutan kekuasaan antar individu, bahkan kelompok. Akibat tidak adanya pihak netral yang memiliki peran penting (mahasiswa) akibat dari demokrasi mahasiswa yang tak berlangsung.
Dari proses yang terjadi dikalangan birokrat, terjadilah pengelompokan. Kelompok yang kalah, lalu tersisih dan membentuk kelompok-kelompok baru, untuk mewujudkan berbagi macam kepentingan. Ada yang memilih menjadi oposisi ada pula yang menyerah karena kehilangan daya dan upaya, karena menghadipi kekuatan besar dari kelompok lain.
Selanjutnya hal ini berlangsun terus-menerus dan ter-polarisasi, mengakibatkan orientasi kuasa kepada para birokrat kampus.
Dari semua itu jadilah sebuah kampus yang tak lebih dari panggung politik, untuk melaksanakan perang kepentingan dan jabatan para kelompok yang bernaung.
Kampus tak lebih dari sebuah kantor atau “partai politik”, untuk berkarir dan berkembang ke jabatan yang lebih tinggi lagi oleh para birokrat semacam tadi.
Yang lebih parahnya lagi disadari atau tidak mereka melakukan ini dengan label sebagai seorang pendidik di sebuah lembaga pendidikan tinggi. Mereka keluar dari esensi pendidikan hanya untuk peran kepentingan, untuk memperebutkan jabatan dan kekuasaan.
Begitupun dengan kementerian yang menaungi lembaga pendidikan tinggi, mereka tampak tak peduli dengan isu yang terjadi setiap hari dan setiap tahun dari para mahasiswa yang terus mendiskusikan hal ini.
Tak pernah ada peraturan yang dirancang untuk melaksanakan proses demokrasi mahasiswa di dalam kampus, baik dari kampus ataupun pemerintah, padahal desakan dari mahasiswa sudah sering dilakukan. Hal ini seakan-akan menjadi hal yang lumrah dan wajar dilakukan dalam institusi pendidikan. Dimana watak kebebasan akademis berlangsung.
Praktik seperti ini harus segera di hentikan, agar dapat mewujudkan marwah pendidikan yang sesungguhnya. Mahasiswa sebagai kaum intelektual juga harus diberikan ruang dan kesempatan untuk ikut mendiskusikan program kampusnya.
Mahasiswa bukan anak SMA lagi yang cukup hanya dengan belajar lalu pulang dan mengerjakan tugas-tugasnya, mahasiswa juga membutuhkan pembentukan jati diri dengan memahami persoalan-persoalan, lewat proses demokrasi kampus.
Sebutan agen perubahan yang disematkan kepada mahasiwa tak akan jadi apa-apa, jika di dalam kampusnya saja, mereka tidak diberikan ruang untuk berdemokrasi dan menyatakan pendapatnya tanpa ada intervensi.
Hal ini harus menjadi perhatian serius para birokrat kampus dan kementerian terkait, mengingat isu ini terus berkembang setiap tahunnya, jika tak segera dibenahi maka bukan tidak mungkin mahasiswa akan bangkit dan memberontak balik para birokrat bahkan kementerian yang terkait.
Kita tentu tak mau melihat terjadinya kerusuhan dan terlantarnya para mahasiswa karena ulah para birokrat yang saling perang kepentingan. Terlepas dari jangka waktu seorang mahasiswa di dalam kampus, mahasiswa juga harus dianggap sebagai bagian utuh di dalam kampus.
Mengacu pada sila ke-4 Pancasila dan proses demokrasi di negara ini, sudah sehrusnya pula mahasiswa diberikan kesempatan. Kedepannya seharusnya akan lebih banyak lagi mahasiswa yang menuntut demokrasi kampus dan menganggap bahwa hal tersebut merupakan suatu hal yang fundamental bagi kehidupannya di dalam kampus. Agar terciptanya kampus yang aktif, damai dan transparan.