Apa yang salah dengan Parung?
Parung adalah simpul penting di selatan Jabodetabek. Letaknya strategis, menghubungkan Bogor, Depok, dan Tangerang Selatan. Setiap hari, mobilitas warga tinggi: orang bekerja, sekolah, berdagang, dan menjalankan aktivitas lainnya.
Tapi siapa pun yang pernah melintasi Parung pasti tahu betapa semrawutnya kondisi di lapangan. Jalan rusak, angkot ngetem sembarangan, pasar becek dan berantakan, hingga titik putar balik yang justru menambah macet dan membahayakan.
Pertanyaannya: kenapa wilayah sepenting ini terlihat seperti tak terurus?
Apakah hanya soal infrastruktur?
Masalahnya bukan cuma soal fisik. Ini soal tata kelola. Soal manajemen lingkungan dan ruang kota yang tidak direncanakan dengan baik, bahkan cenderung dibiarkan tumbuh sendiri tanpa arah.
Contohnya, titik putar balik terlalu banyak dan terlalu dekat jaraknya. Bukannya memperlancar, malah memicu kemacetan. Tak jarang dimanfaatkan untuk lawan arah, yang berisiko mencelakai pengguna jalan lain.
Jalanan rusak dan tambal sulam. Banyak ruas utama berlubang, permukaannya tidak rata, dan minim penerangan. Saat hujan turun, genangan air membuat risiko kecelakaan makin tinggi, terutama bagi pengendara motor.
Angkot ngetem sembarangan di pinggir jalan, simpang pasar, hingga depan pertigaan. Sopir menunggu penumpang tanpa khawatir ditegur. Hasilnya? Lalu lintas tersendat. Pasar tradisional yang semrawut dan minim fasilitas. Area becek, saluran air mampet, tempat sampah tak memadai, dan pedagang tumpah ruah ke badan jalan. Tidak ada penataan, tidak ada pengawasan. Semua masalah ini bukan hal baru. Tapi sayangnya, terus dibiarkan seolah tidak penting.
Siapa yang terdampak?
Semua. Mulai dari pengendara yang harus terjebak macet setiap pagi, pelajar yang telat masuk sekolah, ibu rumah tangga yang kesulitan belanja karena pasar kumuh, hingga pedagang yang kehilangan pembeli karena akses terganggu.
Lebih dari itu, warga perlahan kehilangan rasa memiliki terhadap ruang publik. Ketika lingkungan terus dibiarkan tidak nyaman, masyarakat pun terbiasa dengan ketidaknyamanan. Mereka lelah berharap, dan akhirnya apatis.
Kenapa ini bisa terus terjadi?
Karena tidak ada perencanaan menyeluruh. Yang ada hanya reaksi sesaat, bukan solusi jangka panjang. Ada keluhan—baru ada tindakan. Viral dulu—baru diperbaiki. Tapi saat perhatian publik mereda, masalahnya kembali seperti semula.
Padahal, semua persoalan di Parung saling berkaitan. Mereka tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri. Perlu manajemen lingkungan yang terpadu. Sayangnya, pendekatan pembangunan yang dilakukan sejauh ini masih terfragmentasi dan cenderung tambal sulam.
Apa yang seharusnya dilakukan?
Solusinya bukan sekadar proyek fisik. Yang dibutuhkan adalah perencanaan jangka panjang yang melibatkan warga. Pemerintah daerah harus serius menata ulang wilayah ini.
Beberapa langkah penting:
1. Evaluasi ulang titik U-turn. Jika terlalu banyak dan membahayakan, kurangi atau atur ulang berdasarkan kajian lalu lintas, bukan kebiasaan.
2. Perbaikan jalan menyeluruh. Bukan tambal sulam. Bangun sistem pengawasan proyek agar kualitasnya terjaga. Gunakan kontraktor yang bertanggung jawab.
3. Penataan transportasi publik. Sediakan halte dan terminal kecil. Ciptakan zona aman untuk naik-turun penumpang. Jangan biarkan sopir angkot mengatur jalan sendiri.
4. Revitalisasi pasar tradisional. Perbaiki drainase, sanitasi, tempat sampah, dan penataan pedagang. Libatkan pelaku pasar agar solusi tidak bersifat sepihak.
5. Buka sistem pelaporan warga yang responsif. Bisa lewat aplikasi, hotline, atau kanal pengaduan digital. Aduan harus ditindaklanjuti secara terbuka.
Dan yang paling penting: penegakan aturan. Rencana hebat tidak akan berarti tanpa pengawasan nyata di lapangan.
Kenapa harus sekarang?
Karena jika terus dibiarkan, kondisi Parung akan semakin buruk. Warga makin tidak peduli. Saat masyarakat berhenti peduli pada ruang publik, maka biaya sosialnya akan jauh lebih besar.
Kita tidak perlu kota yang serba modern. Yang kita butuhkan adalah kota yang manusiawi—di mana orang bisa berjalan aman, berkendara nyaman, dan beraktivitas tanpa rasa khawatir.
Parung punya potensi. Ia punya akses strategis, ekonomi lokal yang hidup, dan masyarakat yang aktif. Tapi semua itu tidak akan optimal tanpa lingkungan yang tertata.
Jadi, apa jawabannya?
Benahi manajemen lingkungan Parung dari akar. Tata ulang sistemnya. Perkuat koordinasi antarinstansi. Dan, yang paling penting, dengarkan suara warga.
Menata ulang Parung bukan cuma soal teknis. Ini soal keadilan ruang. Soal apakah warga kelas menengah ke bawah juga berhak hidup di lingkungan yang tertib dan sehat.
Pemerintah tidak bisa terus berlindung di balik alasan “anggaran terbatas” atau “kewenangan terbagi.” Warga tidak peduli siapa yang bertanggung jawab. Yang mereka tunggu adalah hasil.
Dan mereka berhak mendapatkannya. Parung tidak butuh keajaiban. Ia hanya butuh niat baik, kemauan politik, dan manajemen lingkungan yang berpihak pada rakyat.