Sabtu, April 20, 2024

Menarik Pesan dari Tema Resolusi 2019 IMM

Ahmad Soleh
Ahmad Soleh
Sekretaris DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Gemar menulis esai dan puisi.

Bertempat di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya no 65, Jakarta Pusat, pada Sabtu (5/1) lalu, Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) mengadakan diskusi bertajuk Resolusi 2019.

Acara tersebut mengangkat tema “Membangun Kemandirian, Membumikan Nalar Gerakan”. Diskusi yang dihadiri ratusan kader IMM dari Jabodetabek ini menghadirkan ketua-ketua umum DPP IMM lintas generasi.

Di antara yang hadir yaitu Gunawan Hidayat (periode 2000-2002), Amiruddin (2006-2008), Djihadul Mubarok (2012-2014), Beni Pramula (2014-2016), dan Ali Mutohirin (2016-2018). Selain itu, tentu hadir pula Ketua Umum DPP IMM Najih Prastiyo, Sekjend Robby Karman, dan jajaran pimpinan DPP IMM lainnya.

Ada hal yang menarik dari acara tersebut, selain dari antusiasme kader yang hadir, tentu saja substansi acaranya yang bisa dilihat dari tema yang diangkat. Tema memang selalu mempunyai arti dan harapan. Terutama bagi IMM saat ini dan ke depannya. Oleh sebab itu, di sini penulis mencoba menarik pesan dan makna dari tema yang diangkat dalam acara Resolusi 2019 tersebut.

Pertama, frasa “membangun kemandirian” yang dipilih merupakan sebuah penegasan dan jawaban atas keraguan-keraguan akan independensi IMM dewasa ini. Hal ini tidak lepas dari adanya pihak-pihak yang menyangka IMM terafiliasi dengan kepentingan salah satu capres di Pilpres 2019. Tentu saja, itu tidak sesuai dengan sikap Muhammadiyah yang memiliki Khittah Denpasar 2002 sebagai landasan berperan dalam politik dan kebangsaan. Terlebih, IMM dalam Deklarasi Setengah Abad (Enam Penegasan 2) menegaskan bahwa “IMM bersifat independen terhadap kepentingan politik praktis” (lihat: IMM Autentik, 2017). Poin ini mesti menjadi titik pijak IMM dalam mengambil sikap terhadap urusan politik praktis (real politic).

Sikap independen—tidak memihak—akan diperoleh jika kita (IMM) memiliki kemandirian. Sebab, modal dari independensi gerakan itu adalah “kemandirian”. Hal ini, sebagaimana dicontohkan Muhammadiyah dengan amal usahanya. Kemandirian itu tidak diraih dengan berleha-leha, leyeh-leyeh, atau santai belaka. Ia butuh perjuangan yang tidak cuma kerja keras, tapi juga kerja cerdas. Tentu kemandirian itu kemudian tidak hanya mandiri secara finansial, tapi juga secara mental dan sosial. Maka, IMM hari ini harus “membangun kemandirian” agar menjadi organisasi yang langgas, tidak terikat kepentingan pihak-pihak tertentu.

Kemandirian IMM juga tidak bisa lepas dari peran segenap kader dan alumninya. Maka, selain independensi kita juga kenal istilah interdependensi. Hal itu membuat setiap kader dan alumni IMM secara struktural maupun kultural memiliki tanggung jawab sesuai porsinya masing-masing dalam membangun kemandirian IMM. Dengan begitu kemudian, hiruk-pikuk tahun politik yang tengah kita hadapi hari ini tidak membuat IMM memihak kepada salah satu kubu (cebong atau kampret), karena sejatinya kemandirian berimplikasi pada independensi gerakan.

Kedua, frasa “membumikan nalar gerakan” sebagai konsekuensi logis kehadiran IMM sebagai gerakan intelektual. Sebagaimana diungkap Najih dalam pidato Resolusi 2019, nalar gerakan sudah tidak perlu lagi diperdebatkan, sudah waktunya IMM untuk membangun strategi gerakannya yang riil.

Tentu saja, meskipun nalar gerakan itu senantiasa menjadi bahan diskusi dan kajian yang tiada henti bagi kader-kader di akar rumput, nalar gerakan itu sudah waktunya diaktualisasikan, dibumikan, dan dimasifkan. Seperti salah satu kalimat dalam bait lagu Mars IMM, “sejarah umat telah menuntut bukti”.

Dengan membumikan gerakan yang riil di masyarakat, kader IMM tidak hanya melaksanakan “pengamalan” nilai gerakan, tapi juga mendapatkan “pengalaman”. Tahap ini disebut Abdul Halim Sani (Manifesto Intelektual Profetik, 2018) sebagai tahap kristalisasi, di mana sebuah nilai yang sudah terinternalisasi dalam diri kader kemudian mengekstraksi menjadi perbuatan.

Apalagi, menyongsong revolusi industri 4.0, di mana kita dituntut untuk memiliki kemampuan untuk bersaing secara sehat, cerdas, dan kreatif. Tidak hanya bersaing dengan kecerdasan manusia, tapi juga kecerdasan robot/perangkat teknologi. Tentu saja kita jangan sampai terjebak dalam euforia diskursus mengenai apa itu revolusi keempat. Kita harus bisa menyesuaikan diri terhadap perkembangan teknologi.

Penguasaan terhadap media informasi dan teknologi menjadi suatu hal yang penting untuk menghadapi era ini. Maka IMM hari ini bakal menemukan transformasi gerakan dakwahnya yang baru, dengan pemanfaatan teknologi informasi yang kian masif.

Pada akhirnya, kita yakini bahwa 2019 ini bukan hanya momentum politik lima tahunan semacam pilpres yang bakal menyisakan belaka. Tahun 2019 ini juga menjadi momentum bagi kita (IMM) yang mau menciptakan memaknai zaman.

Maka, menarik pesan dari tema yang dibahas di atas, IMM mesti mengambil peran di berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tetap memperteguh jati dirinya sebagai organisasi kader yang mandiri. Kemudian IMM juga tidak lepas untuk menciptakan momentum-momentum gerakan yang masif dan substantif. Wallahu a’lam.

Penulis:

Ahmad Soleh, Sekretaris Bidang RPK DPP IMM 2018-2020, Redaktus Bahasa Harian Republika

Ahmad Soleh
Ahmad Soleh
Sekretaris DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Gemar menulis esai dan puisi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.