Perdebatan tentang konsensus dasar berbangsa dan bernegara telah usai. Pancasila sebagai pemenang dan jalan tengah (kalimatu al-sawa’) dari sekian pertarungan ideologi di awal kemerdekaan. Namun akhir-akhir ini perdebatan ini mengusik kembali seakan menjadi laten. Lalu kemudian apa yang menjadi penyebab mencuatnya kembali perdebatan ini? Apakah Pancasila sudah tidak dapat menjawab dari sekian persoalan kebangsaan? Bagaimana pancasila menyikapi hadirnya ideologi yang mengepung eksistensinya? Termasuk komunisme.
Soekarno menyejajarkan Pancasila seperti ideologi besar dunia lainnya seperti sosialisme, sekulerisme, komunisme dan lain sebagainya. Namun, dalam pandangan As’ad Ali, weltanschauung dan ideologi memiliki makna yang berbeda, namun Soekarno mengidentikkan weltanschauung sebagai ideologi negara. Sehingga menafikan fakta bahwa Pancasila dalam pertemuan sejarah merupakan sejumlah prinsip yang ditawarkan, dinegosiasikan, dan kemudian diambil kesepakatan. Karena ideologi bukan sebuah kesepakatan melainkan suatu gagasan yang diperjuangkan (As’ad Ali, 2010:20).
Terlepas dari perdebatan istilah, bahwa untuk mencapai tujuan bersama kehidupan berbangsa dan bernegara, diperlukan cita-cita bersama, melepaskan semua ego sektoral, bernaung bersama di rumah yang besar bernama Pancasila.
Sejarah Panjang Perdebatan Pancasila
Sebelum lebih jauh, ada baiknya mengulas kembali kenapa Pancasila menjadi satu-satunya ideologi dan dasar negara yang dinyatan final, yang dapat menyingkirkan sekian kepentingan ideologi kala itu. Dari sengitnya pedebatan, pada akhirnya meruncing menjadi dua kelompok, yakni kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-rilegius/nasionalis islam. Keduanya sama-sama memiliki gagasan dan ideologi yang harus dipaksaakan menjadi dasar negara. Satu sisi menginginkan negara berdasarkan kebangsaan yang terdapat pemisahan antara agama dan negara, dan sisi lain menginginkan dasar negara berdasarkan agama (islam). Sehingga pada tanggal 22 Juni 1945, panitia 9 mencapai kesepakatan, melahirkan apa yang disebut dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yang intinya mencantumkan 7 kata dalam sila pertama “…Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”.
Konsekuensi logisnya adalah rumusan Pancasila versi 22 Juni 1945, banyak menuai penolakan yang lebih mempertimbangkan esensi persatuan ketimbang memaksakan pendapat masing-masing kelompok. Sehingga pada tanggal 18 Agustus 1945, tujuh kata yang termaktub dalam sila pertama dihapus.
Sejak saat itu, Pancasila berlaku sebagai dasar negara yang mengikat secara konstitusional hingga kini. Konsensus bersama atau kesepakatan luhur menjadi titik balik dan keputusan final (konstitusional) apa yang menjadi persoalan mendasar dalam bernegara kala itu. Dengan demikian, Pancasila menjadi satu-satunya dasar dan ideologi negara yang merangkul sekian kepentingan untuk kehidupan bersama. Wal hasil Pancasila sebagai pilihan logis dalam kontek ideologi dan dasar negara.
Menguji Kesaktian Pancasila
Saat ini terdapat wacana yang cukup menegangkan urat nadi, entah apakah ini ancaman atau tantangan. Disadari atau tidak, Pancasila berada dalam kepungan arus ideologi liar. Isu-isu propaganda yang belakangan kembali mencuat ke permukaan publik, ancaman ekstrim kanan (Eka) dan ekstrim kiri (Eki).
Ideologi transnasional bertajuk agama, seperti Fundementalisme, radikalisme yang tujuan politiknya Indonesia menjadi Negara agama (khilafah). Dilain sisi, upaya propaganda dengan kembalinya isu-isu komunisme yang diidentikkan dengan kembalinya PKI. Padahal jika menyadari betul, ideologi komunisme yang menganut ajarannya Marxisme dan Lenimisme sudah mengalami kebangkrutan dan terkubur bersama negara-negara penganutnya.
Ideologi-ideologi yang bermunculan belakangan ini seakan-akan menjadi hantu disiang bolong, yang sewaktu-waktu dapat menakut-nakuti, dan mengadu domba sesama anak bangsa. Mengingat Indonesia pernah mengalami sejarah kelam yang amat traumatik, terutama dengan Komunisme dan kelompok fundementalisme.
Kekhawatiran ini yang perlu diwaspadai, bila hilang kendali bukan tidak mungkin sejarah kelam akan terulang kembali. Pancasila direduksi dan diinterpretasikan segelintir kelompok untuk dijadikan komoditi politik semata. Komunisme dijadikan hantu yang akan merongrong kedaulatan. Oleh karena itu, perlu adanya sikap dewasa dalam menyikapinya dengan modal sejarah yang panjang atas bangsa ini, dan mental yang merdeka sehingga dapat ke luar dari rongrongan ideologi liar, yang sewaktu-waktu dapat mengusik konsensus berbangsa dan bernegara kita.
Hantu Komunisme di Indonesia
Gejolok sosial politik yag dirasa sangat mengkhawatirkan dapat ditengarai mencuatnya perdebetan seperti halnya saat ini, oleh karena itu perlu adanya cara pandang baru yang seharusnya bagaimana meletakkan Pancasila dalam kehidupan modern yang demokratis (Latif, 2011: 17-43). Yang menjadi menarik disini, ketika ideologi berubah menjadi alat propaganda politik, maka di situlah terjadi politisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (David,2014:2).
Menyikapi perihal tersebut, diperlukan kemerdekaan dalam berfikir dan dapat memilah mana yang ranah “pengetahuan” dan mana yang ranah “politik”. Dalam pandangan Tomy Michael, bahwa pemahaman terhadap komunisme di Indonesia bukanlah dalam tataran ilmu pengetahuan karena masih tercampur dengan stigma buruk akan subjek hukum-subjek hukum tertentu yang menginginkan kekuasaan atas nama komunisme (Tomy,2016:19).
Dengan demikian perlu adanya pemahaman utuh terhadap komunisme, baik sebagai ilmu pengetahuan dan mana yang sebagai wilayah politik, agar tidak terjebak pada wacana propaganda. Mengubah pemahaman demikian tidaklah semudah memebalikkan tangan, karena terlanjur menjadi dokrtin bahwa komunisme adalah musuh Pancasila.
Tantangan ke depan untuk menjaga rumah besar yang bernama Indonesia, yang telah memiliki pondasi kuat bernama Pancasila benar-benar menjadi pekerjaan bersama. Setiap elemen mampu meminimalisir gejolak sosial-politik, ketimpangan sosial-ekonomi yang mengundang propaganda suatu kelompok yang berkepentingan dengan menggunakan wacana “komunisme” sebagai alat propaganda politik untuk mencapai tujuan politiknya.
Dalam pandangan penulis, bahwa keberadaan komunisme hanyalah sebagai diskursus pengetahuan yang memiliki ranahnya sendiri. Akan tetapi komunisme yang dipahami sebagai ideologi tandingan yang mengancam terhadap Pancasila, sangatlah jauh bahkan terkesan utopis. Setidaknya terdapat dua alasan, Pancasila baik sebagai ideologi, falsafah, dan pandangan hidup sebuah negara secara teori konstitusional sudah final dan mengikat. Untuk mengganti Pancasila melalui jalur konstitusi tertutup rapat. Kemudian Komunisme dalam arti ilmu pengetahuan, tetaplah menjadi khasanah yang menempati ranahnya, sedangkan komunisme sebagai ideologi negara sudah mengalami kebangkrutan dari negara asalnya.