Akhir-akhir ini, diskursus mengenai perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode semakin menguat. Untuk masa sekarang, Pasal 7 UUD NRI 1945 menegaskan pembatasan masa jabatan presiden hanya lima tahun untuk dua periode. Artinya, menurut konstitusi sebagai hukum tertinggi, seseorang tidak diperbolehkan menjabat sebagai presiden lebih dari lima tahun dan lebih dari dua periode masa jabatan.
Meskipun demikian, wacana yang menguat belakangan adalah juga mengenai perubahan pasal terkait masa jabatan dari dua periode menjadi tiga periode. Menurut Pasal 37 UUD NRI 1945, kewenangan perubahan konstitusi ada ditangan MPR yang keanggotaannya menurut Pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945 terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD.
Sebagai bentuk perlindungan, memang ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi apabila hendak merubah pasal-pasal yang ada dalam konstitusi. Namun, menurut saya, persyaratan tersebut sangat longgar dan mudah untuk dipenuhi. Sehingga, perlindungan terhadap konstitusi supaya terhindar dari perubahan yang mengarah pada penyelewengan –termasuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode– minim sekali.
Longgarnya Klausul Amendemen
Klausul amendemen yang diatur dalam Pasal 37 UUD NRI 1945 tidak memberikan perlindungan yang memadai dari segi mekanisme formal dan substansial amendemen.
Pembatasan mekanisme formal mensyaratkan amendemen dilakukan oleh MPR dengan syarat diajukan oleh satu pertiga dari seluruh anggota MPR. Untuk mengubah pasal-pasal konstitusi, menurut Pasal 37 ayat 3 UUD NRI 1945, persidangan harus dihadiri oleh dua pertiga dari seluruh anggota MPR. Sementara keputusan untuk mengubah pasal-pasal konstitusi menurut Pasal 37 ayat 4 UUD NRI 1945 harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.
Syarat diatas sangat mudah untuk dipenuhi oleh koalisi pemerintah saat ini. Keseluruhan anggota MPR adalah 711 anggota yang terdiri dari 575 orang anggota DPR dan 136 orang anggota DPD. Satu pertiga anggota MPR sebagai syarat mengajukan perubahan konstitusi adalah 237 anggota. Semantara jumlah kursi koalisi pemerintah di DPR saat ini adalah 427 kursi (PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB dan PPP). Dengan demikian, syarat untuk mengajukan usul perubahan konstitusi –termasuk mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden— diatas kertas sudah dapat dipenuhi.
Lalu, bagaimana dengan syarat kehadiran dalam persidangan di MPR dan jumlah suara yang harus dipenuhi untuk menyetujui perubahan konstitusi?
Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, untuk mengubah pasal-pasal konstitusi, persidangan harus dihadiri oleh minimal dua pertiga anggota dari seluruh anggota MPR. Dua pertiga dari 711 anggota MPR adalah 474 orang anggota MPR. Dengan asumsi semua partai koalisi pemerintah mendukung agenda perubahan konstitusi, maka kelompok koalisi hanya membutuhkan 47 orang anggota MPR lagi untuk memenuhinya.
Sedangkan keputusan mengubah pasal-pasal konstitusi jauh lebih mudah lagi karena hanya membutuhkan lima puluh persen ditambah satu orang anggota MPR yang artinya hanya membutuhkan 357 orang anggota MPR dari total keseluruhan anggota MPR yang berjumlah 711 orang anggota. Diatas kertas, koalisi pemerintah jauh melampaui angka ini karena berhasil menembus angka 427 orang anggota DPR yang juga merupakan anggota MPR.
Begitu longgarnya perubahan konstitusi, ditambah lagi karena pembatasan secara substansial dalam Pasal 37 UUD NRI 1945 juga tidak memadai untuk menjaga konstitusi dari maksud penyelewengan. Pasal 37 UUD NRI 1945 hanya membatasi bahwa perubahan konstitusi hanya boleh mengubah pasal-pasal dalam konstitusi dan tidak boleh mengubah bentuk negara kesatuan.
Lalu, bagaimana jika perubahan dilakukan untuk merusak roh pembatasan kekuasaan, pembagian kekuasaan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang seharusnya selalu ada dalam konstitusi. Saat ini, tidak ada pembatasan bahwa hal ini tidak boleh diubah dalam UUD NRI 1945. Sehingga mudah sekali perubahan konstitusi diarahkan untuk melakukan penyelewengan, termasuk memperpanjang masa jabatan presiden bahkan menjadi tidak terbatas.
Pembatasan secara substansial yang dikatakan dalam Pasal 37 UUD NRI 1945 hanya tidak memperbolehkan perubahan terhadap pembukaan UUD NRI 1945 yang didalamnya tercantum tujuan negara dan Pancasila, serta bentuk negara kesatuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam batas penalaran yang wajar, ketentuan tersebut mudah sekali untuk diakal-akali oleh politisi di MPR.
Caranya, pertama-tama perubahan dilakukan terhadap Pasal 37 UUD NRI 1945 dengan menghapus ketentuan bahwa bentuk negara kesatuan tidak boleh diubah. Baru kemudian Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 yang memuat ketentuan mengenai bentuk negara diubah sesuai kehendak perubah konstitusi yakni MPR. Begitu juga dengan pembukaan UUD NRI 1945, tinggal dicantumkan dalam Pasal 37 UUD NRI 1945 bahwa pembukaan UUD NRI 1945 dapat diubah. Setelahnya, politisi-politisi MPR bebas mengutak-atik pembukaan UUD NRI termasuk mengubah tujuan dan dasar negara Pancasila.
Memperkuat Proteksi Konstitusi
Untuk memperkuat perlindungan terhadap konstitusi, menurut saya, dibutuhkan beberapa upaya. Pertama, kita perlu mengadopsi doktrin struktur dasar konstitusi seperti yang dipraktikkan di India. Doktrin struktur dasar konstitusi memuat ketentuan bahwa terdapat beberapa ketentuan dalam konstitusi yang tidak bisa diubah oleh MPR (parlemen).
Misalnya, di India, struktur dasar konstitusinya adalah kedaulatan konstitusi, bentuk pemerintahan republik dan demokrat, karakter sekuler konstitusi, pemisahan kekuasaan dan karakter federal konstitusi.
Dalam menentukan apa saja struktur dasar konstitusi di negara kita, perlu nantinya mempertimbangkan berbagai aspek penting, misalnya aspek sejarah. Jika sejarah negara kita menunjukan bahwa kekuasaan yang terlalu lama berkuasa cenderung koruptif, maka pembatasan masa jabatan mungkin perlu untuk dijadikan struktur dasar konstitusi.
Kedua, mengadopsi metode referendum sebagai mekanisme untuk mengubah struktur dasar konstitusi. Artinya, walaupun nantinya struktur dasar konstitusi tidak bisa diubah melalui mekanisme di MPR, namun, bukan berarti struktur dasar konstitusi tidak bisa ubah sama sekali. Sebab, apabila struktur dasar konstitusi tidak bisa diubah sama sekali, artinya konstitusi kita tidak demokratis.
Dalam konteks ini, kita hanya perlu melindungi struktur dasar konstitusi dengan mengembalikan mekanisme perubahannya kepada rakyat. Menurut penulis, metode referendum adalah mekanisme yang paling cocok jika suatu waktu diperlukan perubahan terhadap struktur dasar konstitusi. Metode referendum dilakukan dengan meminta persetujuan rakyat secara langsung untuk mengubah struktur dasar konstitusi. Metode referendum dibeberapa negara sudah diadopsi sebagai mekanisme untuk mengubah konstitusi, misalnya di Jepang dan Korea Selatan.
Yang ketiga, kita perlu memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dapat membatalkan hasil amendemen konstitusi melalui mekanisme pengujian konstitusionalitas, baik secara formal maupun materiil. Alasan paling logis pemberian kewenangan ini adalah karena bisa saja politisi MPR masih berkehendak mengubah struktur dasar konstitusi meskipun sudah dilarang mengubahnya tanpa referendum.
Saat ini, menurut Pasal 24C UUD NRI 1945, MK memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang, menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR tentang pelanggaran pasal pemakzulan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Artinya, untuk MK dapat membatalkan hasil amendemen konstitusi, terlebih dahulu diperlukan penambahan kewenangan dalam Pasal 24C UUD NRI 1945. Sebab, dasar hukum perubahan UUD di Indonesia menggunakan produk Ketetapan MPR sedangkan MK saat ini dianggap tidak punya kewenangan menguji konstitusionalitas Ketetapan MPR.
Jika di masa mendatang kewenangan menguji konstitusionalitas hasil amendemen konstitusi tersebut diberikan, maka proteksi terhadap konstitusi akan semakin kuat. Dengan demikian, perubahan konstitusi yang mengarah pada penyelewengan kekuasaan seperti kehendak memperpanjang masa jabatan sampai tidak terbatas dapat diminimalisir.