Selasa, Oktober 8, 2024

Mengawal Kehormatan Hakim

Fajri Kurniawan
Fajri Kurniawan
Mahasiswa Program Kekhususan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Paralegal LKBH FH Unand

Manusia sejatinya adalah makhluk sosial yang saling berinteraksi satu sama lain dalam memenuhi kebutuhannya. Zoon Politicon adalah sebuah istilah yang digunakan oleh Aristoteles untuk menyebut bahwa manusia adalah makhluk sosial.

Aristoteles menerangkan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain. Seperti contohnya dalam memenuhi kebutuhan, manusia akan saling membutuhkan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhannya, seperti adanya hubungan timbal balik diantara individu tersebut.

Namun dalam proses interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat, tidak selamanya berjalan baik, selalu di iringi dengan sebuah polemik yang berakibat kepada munculnya sebuah Disinteraksi sosial.

Disintekrasi sosial adalah sebuah kondisi tidak bersatu padu yang menghilangnya keutuhan atau persatuan serta mengakibatkan perpecahan. Untuk menyelesaikan sebuah permasalahan dalam kehidupan masyarakat, maka dibutuhkan lah orang yang memiliki jiwa kewibawaan yang tinggi dan mampu untuk menyelesaikan masalah dengan seadil-adilnya.

Dalam istilah ilmu hukum, orang yang yang berprofesi sebagai wadah untuk menyelesaikan sebuah masalah disebut sebagai hakim. Menurut Pasal 27 UUD 1945 Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan bebas. Hal ini mengindikasikan bahwa hakim dalam menjalankan tugas dan kekuasaannya bebas dari intervensi siapa pun.

Namun dalam menjalankan kekuasaanya, para hakim juga tidak boleh sewenang-wenang dalam membuat sebuah keputusan, ada Kode Etik Hakim yang harus diterapkan seseorang hakim selama di persidangan.

Kode Etik Hakim diatur dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 atau 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim di implementasikan seperti berprilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, disiplin tinggi, berprilaku rendah hati dan bersikap profesional.

Untuk mengawasi prilaku seorang hakim dalam menjalankan tugasnya, maka pemerintah membentuk lembaga Negara yang bernama Komisi Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai dua kewenangan konstitutif, yaitu untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Melalui Amendemen Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 disepakati pembentukan Komisi Yudisial. Ketentuan mengenai Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24B UUD 1945. Maksud dari pembentukan Komisi Yudisial disandarkan pada keprihatinan mendalam mengenai kondisi wajah peradilan yang muram dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak.

Dikutip dari website resmi Komisi Yudisial, konsentrasi Komisi Yudisial saat ini dalam menjaga kehormatan hakim adalah melakukan program Judicial Education, yaitu bagaimana Komisi Yudisial mengkampanyekan hak-hak para pencari keadilan dan hak perlindungan terhadap hakim.

Melalui program Judicial Education, setidaknya ada tiga pilar penting strategi yang digunakan Komisi Yudisial dalam menjaga kehormatan hakim yaitu: pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat.

Pertama adalah pilar pemerintah, dimana diharapkan mampu menjalankan roda pemerintahan dengan menghormati dan mematuhi aturan hukum. Kedua, adalah pilar aparat  penegak hukum yang diharapkan mampu menjadi roda penyeimbang antara pemerintah dan masyarakat sehingga tidak membeda-bedakan dalam menegakkan hukum. Dan yang ke tiga adalah pilar masyarakat dimana diharapkan mampu menjaga dan menghormati penegakkan hukum itu sendiri.

Melalui program ini, diharapkan adanya persamaan persepsi tentang pentingnya melaksanakan kode etik profesi dalam setiap proses penegakan hukum demi tegaknya hukum yang berkeadilan.

Namun, dalam menciptakan hukum yang berkeadilan para penegak hukum sering sekali menimbulkan problema dalam menyelesaikan sebuah sengketa yang harus untuk diselesaikannya, sesuai dengan prinsip Ius Cuna Novit yang berarti pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Sejalan dengan prinsip tersebut, menurut Pasal 22 A.B (Algemene Bepalingen Van Wetgeving voor Indonesie) berbunyi : “Bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan undang-undang yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas, atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.

Sedangkan menurut Pasal 16 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal ini, terlihat jelas bahwa apabila undang-undang atau kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat di pakai untuk menyelesaikan perkara, seorang hakim mempunyai hak untuk membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan perkara yang disebut sebagai Yurisprudensi. 

Yurispudensi adalah putusan hakim yang memuat peraturan tersendiri dan telah berkekuatan hukum yang kemudian diikuti oleh hakim yang lain dalam peristiwa yang sama. Keputusan hakim yang terdahulu dijadikan dasar pada keputusan hakim lain, akibatnya keputusan ini menjelma menjadi keputusan hakim yang tetap terhadap persoalan/peristiwa hukum tertentu. sehingga hakim mempunyai kedudukan tersendiri sebagai pembentuk undang-undang selain Lembaga Pembuat Undang-Undang.

Maka dari itu, untuk menjaga kehormatan hakim dalam kehidupan bermasyarakat dibutuhkan adanya kedisiplinan hakim dalam menerapkan fungsi kode etik seorang hakim, disamping itu juga dibutuhkan peran lembaga Negara yaitu Komisi Yudisial dalam mendampingi dan mengawasi seluruh aktifitas perbuatan hakim dalam menyelesaikan sebuah sengketa, disamping itu juga Komisi Yudisial haruslah melakukan pelatihan kepada hakim dalam praktek hukum acara baik konsepnya diranah pemipidanaan maupun ranah keperdataan, guna menciptakan hakim yang berkompeten dibidangnya. Sehingga dengan hal tersebut menciptakan hakim yang berintegritas dan hukum dapat ditegakkan dengan semestinya, mudah-mudahan.

Fajri Kurniawan
Fajri Kurniawan
Mahasiswa Program Kekhususan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Paralegal LKBH FH Unand
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.