Kejaksaan Agung RI menetapkan Thomas Lembong sebagai tersangka kasus dugaan korupsi importasi gula pada tanggal 29 Oktober 2024 lalu. Mantan Menteri Perdagangan Kabinet Kerja era Presiden Jokowi itu dianggap menyalahi wewenang dalam kebijakan impor gula pada tahun 2015, dimana Indonesia pada tahun itu disimpulkan tengah berada pada posisi surplus gula.
Meski banyak persepsi yang muncul mengenai kasus ini, seperti anggapan bahwa ada muatan politik dalam penetapan TL sebagai tersangka. Namun, hal itu bukan berarti memungkiri kenyataan bahwa praktik korupsi sudah menjadi suatu kebiasaan buruk yang mengakar di Indonesia.
Dalam sepuluh tahun terakhir, kasus korupsi yang menjerat pejabat di level menteri dan wakil menteri saja tercatat sudah terjadi sebanyak delapan kali. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepajang tahun 2023 terdapat 791 kasus korupsi di Indonesia. Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Dimana pada tahun 2022 jumlah kasus korupsi di Indonesia yakni sebanyak 579 kasus.
Belum lagi jika melihat hasil survei Transparancy International, ranking Indonesia pada tahun 2023 ada di posisi 115 dari 156 negara untuk nilai Indeks Persepsi Korupsi, jauh di bawah Malaysia yang berada di posisi 57. Hasil ini terus merosot sejak tahun 2019 meski pada tahun 2021 Indonesia sempat berada di posisi 96.
Melihat data-data tersebut, sepertinya pemerintah dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi perlu mengambil langkah tegas untuk menanggulangi masalah korupsi yang sudah mengakar, meluas dan menggejala. Tentunya, peran KPK dalam melakukan pencegahan-pencegahan tindak pidana korupsi, membutuhkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat, tak terkecuali lembaga pendidikan.
Revolusi Pertanian adalah Awal Mula Lahirnya Budaya Korupsi
Dalam sejarahnya, korupsi lahir dari perubahan yang terjadi pada pola perilaku manusia. Awalnya, manusia hidup dengan cara nomad, dimana dalam sistem itu terdapat kelompok pemburu-peramu (hunter-gatherers) yang pada praktiknya mereka mencari makan dengan cara berburu tanpa adanya usaha mendomestikasi hasil buruannya.
Menurut Mark Van Vugt seorang Profesor di bidang Psikologi Evolusioner, revolusi pertanian menciptakan ketidaksetaraan dalam kekayaan dan kekuasaan di antara individu-individu. Domestikasi tumbuhan jagung serta hewan ternak seperti ayam dan sapi, merubah pola hidup dari yang awalnya sekadar mencari makan, menjadi membudidayakan makanan, hal itu menyebabkan lahirnya struktur sosial yang benar-benar baru. (van Vugt, M. (2015) “Naturally Selected”).
Pertanian mengakibatkan munculnya masyarakat suku yang menetap di suatu kawasan, hal itu adalah konsekuensi logis dari keharusan kelompok menjaga lahan dan mempertahankan sumberdayanya. Pada setiap suku terdapat Orang Besarnya tersendiri atau dikenal dengan istilah kepala suku, dan salah satu tugas utama kepala suku adalah bersaing dengan kepala suku lainnya untuk memperebutkan pengaruh.
Perkembangan permukiman yang semakin masif membuat posisi kepala suku sebagai pemimpin kian pudar, akibatnya untuk mempertahankan pengaruh itu masing-masing suku perlu mengatur kebersamaan kelompok menjadi lebih formal (kebersamaan keluarga-keluarga yang berbeda secara genetik). Sebab rasa takut akan ancaman luar, kepala suku mulai berevolusi menjadi kedatuan (chiefdom).
Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, orang harus bergaul dengan orang lain yang tidak memiliki kesamaan genetik. Akhirnya sistem kelompok kedatuan itu menciptakan potensi kekerasan dan memberinya monopoli atas kekerasan itu. Sehingga, tugas utama kepala suku pada sistem kedatuan tidak lagi merebut pengaruh, melainkan menerima gandum dari setiap petani pada waktu panen, lalu menyelenggarakan perayaan publik (menyimpan hasil panen untuk dibagikan kembali pada periode di antara panen).
Di sinilah awal mula adanya penyalahgunaan kekuasaan, kepala suku yang pada mulanya menarik pajak untuk mengatur ketersediaan pangan pada periode antara musim panen, sebagian pajak gandum itu tidak didistribusikan kembali, melainkan diambil oleh kepala suku, keluarganya dan para birokrat yang mengawasi sistem. Hal itu terjadi karena surplus makanan yang diakibatkan beralihnya manusia dari kelompok pemburu-peramu menjadi petani dan peternak.
Sekolah Sebagai Laboratorium Anti Korupsi
Pertanyaannya adalah mengapa sekolah? Apa relevansinya antara sekolah dengan korupsi? Satu diantara banyak alasan adalah karena korupsi pada dasarnya berasal dan bersumber dari perilaku manusia dalam mengumpulkan sesuatu yang dianggap dapat memenuhi hasratnya. Dan tak bisa dipungkiri bahwa sekolah merupakan tempat terbentuknya perilaku manusia yang paling dominan setelah keluarga.
Sekolah adalah lingkungan terdekat bahkan disebut sebagai rumah kedua bagi manusia. Itulah sebabnya pembentukan karakter dan penanaman nilai menjadi tanggung jawab bagi tempat dimana manusia itu belajar. Oleh karena itu, lingkungan belajar juga bertanggung jawab bagi keterpurukan moral masyarakat, sebab siswa secara langsung adalah bagian dari masyarakat itu sendiri.
Peran guru di sekolah harusnya tak hanya sekedar menjejali siswa dengan beragam kesibukan tugas, akan tetapi lebih dari itu, guru adalah katalisator bagi perkembangan perilaku siswanya. Karena pada akhirnya siswa adalah cerminan dari apa yang ditampakkan gurunya. Mengevaluasi peran guru dalam membentuk perilaku siswa agar terbiasa jujur, peduli, bertanggung jawab dan mandiri merupakan langkah awal bila ingin membuka pintu menuju pendidikan antikorupsi.
Jika sekolah serius dalam mendukung pendidikan antikorupsi dalam kegiatan belajar mengajar, maka sekolah harus memberikan ruang bagi guru dan peserta didik untuk menginsersikan nilai antikorupsi melalui kegiatan-kegiatan kongkret. Seperti mengadakan perayaan hari antikorupsi, mengekspresikan semangat antikorupsi melalui gambar, menginternalisai tema antikorupsi dalam metode pembelajaran role playing, serta mendelegasikan siswa dan guru untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan antikorupsi.
Setiap upaya perlawanan terhadap korupsi di Indonesia harus dilakukan secara terstruktur, sistematis, serta inklusif. Salah satunya, melalui organisasi yang ada di sekolah seperti OSIS dan ekstrakurikuler bakat minat, sekolah juga dapat mengejawantahkan semangat antikorupsi dengan cara mendukung kegiatan-kegiatan organisasi-organisasi sekolah yang bersifat pembentukan karakter. Sehingga, nilai-nilai positif itu tidak hanya didapatkan siswa dari dalam kelas, tetapi juga dapat ditemukan di sudut-sudut lingkungan sekolah.
Sebetulnya warisan baik dari apa yang dikerjakan Mendikbud sebelumnya tentang Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) sedikit banyaknya menekankan pada nilai pembentukan karakter, namun alih-alih membentuk karakter pancasila, realitanya kegiatan tersebut malah lebih menimbulkan euforia berlebih pada aspek pengerjaan proyeknya dibandingkan pembentukan nilai serta budaya positifnya.
Sudah saatnya, sekolah menjadi rumah kedua yang tidak mendiskriminasi siswa dengan kemampuan akademik rendah melalui stigma negatif dari masyarakat. Sekolah harus meyakinkan bahwa karakter lebih bernilai daripada sekadar angka seratus, dan pesan itu harus sampai kepada setiap siswa.