Jumat, April 19, 2024

Membumikan Toleransi: Jangan Takut Membicarakan Agama!

Arfi Pandu Dinata
Arfi Pandu Dinata
Aktivis Lintas Iman, Koordinator Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB), Menyukai Studi Agama, Tintin, dan Kongko-kongko

Tak bisa kita pungkiri bahwa eksistensi agama-agama dunia lahir dalam relasi lintas agama. Misalnya saja agama Tao dan agama Konghucu yang bertemu dalam konteks seratus aliran pemikiran di Tiongkok.

Di India, agama Sikh bersinggungan dengan agama Hindu dan agama Islam. Bahkan Kekristenan mula-mula pun lahir dari komunitas Yahudi. Begitupun kita sebagai umat beragama sedikitnya pasti memiliki relasi lintas agama atau iman, malah tak sedikit yang menujukkan bahwa relasi tersebut tampak nyata dalam lingkungan yang kita hidupi.

Sungguh amat naif jika kita menyangkali hal tersebut, entah karena tidak mau tahu atau merasa sudah mencapai level toleran hingga enggan untuk membicarakan soal agama lagi. Mari kita berpikir sejenak, ada berapa insan yang jatuh cinta kepada orang yang berbeda agama dengan dirinya? Pasti tak sedikit bukan, orang yang memiliki rekan kerja yang berbeda agamanya?

Mereka yang berbeda agama sangat mungkin merupakan orang-orang terdekat yang hadir dalam lingkungan kita, satu kelas, satu kampung, bahkan bisa jadi satu rumah dengan kita sendiri.

Sayangnya ruang publik kita tidak terbiasa untuk membicarakan agama, seakan-akan hal tersebut dapat mengusik harmoni. Memilih untuk beriman memang bagian dari wilayah privat seseorang, namun bukan berarti perihal iman sangat berbahaya untuk menjadi topik pembicaraan yang terbuka. Sehingga menjadi sangat terlarang kalau kita celoteh “Di agama kamu ada ajaran puasanya enggak sih?”, seketika dianggaplah kita menyinggung SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Padahal agama juga berpengaruh besar pada kehidupan publik, agama juga menyoal komunitas orang percaya, lembaga keagamaan, hingga gerakan sosial-politik.

Saat agama menjadi sebuah tema yang tabu untuk dibicarakan, kita bisa menduga bahwa terdapat pemahaman yang keliru tentang toleransi dan perdamaian. Gambaran umum tentang toleransi biasanya mengandaikan pembagian peran bahwa kelompok mayoritas harus mengayomi kelompok minoritas, sedangkan kelompok minoritas harus tahu diri dan jangan banyak maunya.

Maka jangan heran jika bentuk toleransi seperti ini hanya tampak manis di permukaan saja, padahal di belakang saling menaruh curiga, memendam unek-unek, dan berusaha melupakan segala bentuk perbedaan dengan cara tidak membicarakannya. Pada akhirnya perdamaian yang menjadi cita-cita bersama sekedar ilusi yang berorientasi pada penertiban saja, tanpa kesetaraan dan cacat keadilan.

Kita harus sadar bahwa setiap orang berpotensi untuk berpikir dan bertindak intoleran, termasuk juga orang-orang yang terlibat aktif dalam perjuangan isu toleransi dan perdamaian. Artinya kita tidak bisa mengklaim bahwa kita sudah mencapai level toleran dan merasa cukup puas dengan pemahaman kita yang pasti terbatas. Apalagi arogansi tersebut hingga kita memutuskan diri untuk berhenti belajar dan meninggalkan semua pembicaraan tentang agama.

Menjadi insan yang toleran bukanlah sikap yang final, namun sebuah proses sepanjang hayat untuk terus mau belajar dalam saling memahami, saling menerima, dan saling mengapresiasi dalam perbedaan. Maka toleransi akan menjadi sikap yang hidup, bukan lagi sekedar slogan dan basa-basi.

Perdamaian yang kita mimpikan dapat dimulai dari sebuah keberanian untuk menjadi diri sendiri dengan menunjukkan pada khalayak bahwa inilah aku. Tak perlu lagi sembunyi-sembunyi karena kita berbeda. Kita harus berterus terang tentang kegelisahan dan kecurigaan masing-masing dengan duduk bersama dan bertanya langsung kepada penganutnya untuk mengklarifikasi.

Dialog antarumat beragama bukan ajang debat kusir yang hendak merendahkan perbedaan lewat kaca mata kuda kita. Justru sebaliknya, dialog antarumat beragama mengajarkan kita untuk banyak mendengar, kritis bertanya bukan sekedar mengangguk-angguk, dan kian lama melatih kepekaan hati dalam kesadaran insani.

Sayang sekali, ruang-ruang yang dapat memperjumpakan kita dengan keberagaman masih sangat terbatas. Padahal ruang perjumpaan merupakan modal awal untuk berkenalan, yang pada kemudian hari menghantarkan kita untuk berani saling bertanya tentang identitas masing-masing sampai kita benar-benar akrab dengannya. Pada akhirnya kita tidak akan lagi mudah tersinggung saat membicarakan agama. Bahkan kita bisa asyik tertawa bersama sekaligus memperkaya pemahaman kita masing-masing. Kini toleransi kita tampak ikhlas, tanpa batas, dan tentunya tidak ada lagi rasa superioritas.

Isu toleransi adalah milik semua orang, tidak lagi bersifat elitis yang hanya indah di permukaan. Ayo wujudkan perdamaian dunia dengan membumikan toleransi di akar rumput oleh kita semua. Bukankah jumlah kita yang biasa-biasa ini lebih banyak ketimbang mereka para aktor publik? Lagian memang kita jugalah yang menghidupi ajaran agama dalam keseharian. Kesuksesan gerakan toleransi dan perdamaian bukan diukur dari keberhasilannya di pentas nasional dan kancah internasional, tetapi mampu menjadi menjadi nafas kehidupan di pesisir, di desa, di kota, dan di rumah kita sendiri.

Arfi Pandu Dinata
Arfi Pandu Dinata
Aktivis Lintas Iman, Koordinator Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB), Menyukai Studi Agama, Tintin, dan Kongko-kongko
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.