Ketika berbicara tentang sastra biasanya orang seringkali hanya mengartikannya secara sempit sebagai bidang studi yang mengkaji tentang novel, puisi, atau cerpen. Definisi ini meskipun benar, sebetulnya tidak betul-betul mencerminkan apa yang sebetulnya dipelajari dari ilmu sastra. Novel, puisi, cerpen, dan segala macam karya seni yang disebut sastra itu dibentuk dalam medium yang disebut sebagai bahasa. Dalam fungsi praktisnya bahasa ini dalam masyarakat berfungsi sebagai media untuk melakukan komunikasi dan berinteraksi.
Proses belajar mengajar, pendokumentasian sejarah, ataupun bentuk-bentuk seni itu lahir melalui medium bahasa tersebut, dan terwujud secara fisik melalui karya sastra. Tapi, dalam penggunaannya, bahasa itu tidak cuma berguna sebagai media untuk berkomunikasi saja. Melalui bahasa, orang dapat mengetahui kondisi sosial dan alam pikiran masyarakat saat dimana bahasa itu digunakan. Ini disebabkan karena dalam bahasa itu sendiri terdapat definisi-definisi, frasa-frasa, maupun konteks yang menyimbolkan suatu struktur sosial atau bentuk pemikiran tertentu. Karya sastra salah satunya, adalah hasil dari konstruksi bahasa seperti itu.
Ambil contoh misalnya, ketika kita melihat puisi-puisi, novel, atau cerpen dari rentang tahun 1900-1947 sangat didominasi oleh tema-tema yang berkaitan dengan kisah kemerdekaan dan perjuangan. Itu karena dalam periode tersebut, adalah masa-masa dimana dunia sedang mengalami fase perang dunia pertama dan perang dunia kedua. Maka dari itu bentuk karya sastranya banyak mengambil narasi tentang perjuangan perdamaian, peperangan, dan semangat perjuangan. Kalau misalnya kita memahami sastra sebagai sebuah produk kesenian secara literal, maka kita hanya akan mampu melihat karya sastra hanya sebatas dari struktur dan tata bahasanya semata. Namun, kita tidak akan mampu membaca lebih jauh soal ideologi dan konteks sosial yang ada di balik sebuah karya sastra.
Fungsi inilah yang seringkali kurang dipahami ketika mengkaji karya sastra. Bahwa sebuah produk sastra, entah dalam bentuk apapun, tidak hanya digunakan untuk memperkaya pengetahuan kebahasaan saja, tetapi digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami kebudayaan dan struktur peradaban masyarakat pada periode waktu tertentu.
Itulah mengapa program studi sastra, secara umum dimasukkan ke dalam fakultas ilmu budaya di perguruan tinggi, karena fungsinya sebagai salah satu metode untuk memahami atau membedah suatu kebudayaan tertentu. Kalau karya sastra dipahami seperti ini, belajar sastra bisa didekati dengan pendekatan yang lebih luas dan menyenangkan. Tidak kaku dan membosankan dengan hanya berkutat kepada soal-soal pedoman tata bahasa (grammar), kata baku, dan aspek-aspek formil bahasa lainnya. Dan pendekatan seperti ini yang sebetulnya perlu diaplikasikan sejak bangku sekolah.
Supaya guru-guru bahasa bisa menumbuhkan minat terhadap sastra kepada muridnya dan mereka dapat membaca dan memahami apa yang terjadi di sekeliling mereka tanpa perlu membaca buku pelajaran/sejarah yang tebal-tebal, tapi cukup dari potongan-potongan pendek dari bait-bait puisi atau cerpen tertentu. Karena selain digunakan untuk mengekpresikan suasana hati dalam bentuk seni olah tulis bahasa dan metode untuk memahami suatu peradaban masyarakat tertentu.
Sastra itu dalam beberapa kesempatan, juga merupakan alat untuk melakukan perlawanan dan perjuangan ideologis. Selain berfungsi sebagai alat untuk mendeskripsikan situasi dan latar yang sedang terjadi saat itu, sastra juga digunakan sebagai cara untuk mengkritik suatu keadaan atau praktek kehidupan pada zaman itu.
Sebelum era pra kemerdekaan, ada novel “Max Havelaar” yang ditulis oleh Douwes Dekker. Isinya berisi tentang kritik atas perlakuan Belanda terhadap warga Hindia-Belanda yang banyak diperlakukan secara tidak layak dan menggambarkan kondisi mereka yang menderita. Pasca kemerdekaan, karya sastra yang paling dikenal mungkin adalah tetralogi pulau buru dengan seri “bumi manusia” karangan Pramoedya Ananta Toer sebagai karya yang akhir-akhir ini kembali naik daun di kalangan anak muda saat ini.
Kita juga mengenal penyair seperti Rendra atau Wiki Thukul yang getol menyuarakan keluh kesahnya terhadap praktek pemerintahan orde baru melalui bait-bait puisi yang mereka hasilkan. Kebanyakan menggunakan sastra sebagai alat perlawanan karena sifat universalnya dan sebagai alternatif cara untuk berjuang secara elegan dan halus tanpa harus berkonfrontasi secara riil melalui debat politik atau gerakan fisik secara langsung.
Bahkan, seringkali karya sastralah yang justru melahirkan sebuah gerakan perubahan di kalangan masyarakat bukan dari karya-karya akademis yang ditulis di perguruan tinggi. Seperti yang terjadi di Prancis sebelum meletusnya revolusi Prancis, dimana karya para penulis hebat seperti Voltaire atau Rosseau mengilhami rakyat Prancis untuk melakukan revolusi dan menghapus sistem monarki sebagai sistem pemerintahan mereka saat itu.
Jadi, sastra itu tidak cuma bersifat pasif dengan sekadar mendeskripsikan apa yang terjadi di masyarakat pada saat itu, dia juga bisa digunakan untuk menggerakkan dan membongkar ulang praktek-praktek kehidupan yang terjadi sehari-hari. Di Prancis sekarang, sastra itu dijadikan satu rumpun studi dengan filsafat dan kritik kebudayaan. Karena ketiganya adalah satu kesatuan dan kritik kebudayaan dengan melahirkan alternatif pandangan baru adalah bentuk akhir dari studi di sana.
Begitulah contoh ketika karya sastra yang baik dapat menggambarkan secara jelas kondisi yang terjadi saat itu sekaligus menyadarkan orang atas realita kehidupan serta mendorong mereka untuk melalukan perubahan-perubahan substansial. Dan sepertinya di kondisi yang sekarang ini, kita membutuhkan kembali karya-karya sastra seperti itu. Agar kesadaran kita kembali tergugah dan perkembangan wacana juga semakin berkembang dan variatif.
Semoga saja sih bisa begitu.