Sabtu, April 20, 2024

Masihkah Kaum Feminis Ngeyel Setelah Menonton Film Endgame?

Oxandropratama
Oxandropratama
Lahir di Bukittinggi pada tanggal 7 Juni, 1997. Sedang menyelesaikan studi di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.

Tingginya dan tidak stabilnya intensitas pertarungan politik antara kedua kubu presiden sekiranya tak membuat Marvel Holic Indonesia kehilangan semangat dalam menyambut rilisnya film Avenger: Endgame.

Film yang digadang-gadang akan menjadi akhir cerita dari kelompok yang dipenuhi superhero-superhero kece bernama The Avenger dipastikan akan menjadi sebuah penetralisir di tengah penantian hasil pemilu yang jelas-jelas tak akan terlepas dari berbagai macam intrik dan prasangka.

Setelah satu tahun lebih menunggu penayangan film fantasi itu, tentulah pertanyaan para Marvel Holic tidak hanya sebatas mengetahui apakah kumpulan superhero itu mampu membunuh si fasis Thanos atau tidak, atau mampukah superhero-superhero tersebut.

Dengan kemampuan mereka yang tidak maksimal dikarenakan setengah anggota mereka hilang ke dunia pengasingan yang antah-berantah, mengembalikan mereka yang hilang ke dunia, di mana mereka percaya bahwa masih banyak kejahatan-kejahatan lain yang akan terjadi di bumi dan tak akan pernah ada habisnya.

Tentu saja kedua hal di atas akan menjadi pertanyaan-pertanyaan besar yang hanya mampu dijawab dengan menonton langsung film tersebut. Namun, selain itu, sekiranya apa yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat pencinta film MCU sampai-sampai penjualan tiketnya secara online pun telah dibuka dua minggu sebelum pemutaran?

Sejauh yang mampu kita lihat, melalui potongan-potongan thriller yang bermunculan di Youtube, di mana setidaknya kita dapat memperoleh sedikit gambaran tentang cerita yang akan disuguhkan, maka kehadiran superhero-superhero baru seperti The Wasp, Potts (Istri Tony Stark), dan Captain Marvel, bisa dikatakan menjadi salah satu hal yang membuat antusiasme penikmat film MCU meningkat secara drastis.

Apalagi kalau bukan permasalahan gender. Seperti yang kita semua ketahui, bahwa semua superhero baru yang muncul di film Endgame adalah wanita, dengan kekuatan super yang tidak bisa diremehkan—lebih tepatnya di luar batas normal—dan mereka akan menjadi harapan para superhero yang tersisa untuk mewujudkan tujuan mereka: mengalahkan Thanos dan mengembalikan setengah peradaban manusia yang hilang dari dunia.

Tulisan ini tentunya berawal dari kajian-kajian yang pernah dilakukan oleh para feminis dalam melihat peran wanita sebagai tokoh di dalam film. Analisisnya tentu tak lepas dari argumentasi-argumentasi sebelumnya: bagaimana wanita digambarkan tidak independen, cenderung dieksploitasi, dialeniasi dan dibungkam oleh kaum laki-laki, sehingga kesimpulannya selalu berakhir dengan bunyi: kuasa kaum patriaki.

Pada akhirnya, melalui film Endgame, kita diizinkan untuk meluruskan pandangan para feminis yang masih melihat segala sesuatu secara subjektif melalui kacamata historis, di mana kaum laki-laki menganggap diri mereka lebih unggul daripada wanita di segala aspek, sehingga wanita dianggap tidak berhak berkontribusi dalam segala aktivitas sosial. Bahkan wanita tidak memiliki hak dalam menentukan nasibnya sendiri.

Itulah mengapa mereka mendefenisikan fenomena tersebut sebagai Patriachal System (sistem Patriaki). Tetapi apa yang di tampilkan di dalam film Endgame adalah sebaliknya: kehadiran wanita justru memberikan dampak signifikan.

Hal itu dibuktikan dengan kehadiran Captain Marvel yang memiliki kekuatan jauh di atas rata-rata superhero-superhero lainnya yang mana mayoritas adalah laki-laki. Selain itu, Captain Marvel juga menggambarkan utopi yang selama ini ingin dicapai oleh para feminis, yaitu hak penuh terhadap dirinya sendiri secara fisik.

Hal itu digambarkan bagaimana Captain Marvel menolak untuk memiliki pasangan dan menentukan jalannya sendiri sebagai superhero yang berjuang antar galaksi karena memiliki kekuatan luar biasa.

Gambaran lain yang juga membuktikan bahwa kaum wanita hari ini lebih dari sekedar diberikan apresiasi dalam kesetaraan di segala aspek ialah di mana Thanos—dalam sebuah gambaran sebagai sebuah fasis tulen yang mengerikan layaknya Hitler—sama sekali tak berkutik ketika berhadapan dengan si penyihir Scarlet Witch dan Captain Marvel.

Jika Thanos dengan mudah dapat mengalahkan Iron Man, Thor, dan Captain America sekaligus, hal itu tidak terjadi ketika ia berhadapan dengan Scarlet witch dan Captain Marvel. Fakta itu tak bisa serta-merta dipatahkan dengan asumsi bahwa Thanos adalah sebuah karakter yang lembut kepada wanita atau anti-masokis.

Tentu saja tidak. Bahkan, demi mencapai tujuannya untuk menghapus setengah peradaban manusia yang ia kira tidak pantas untuk hadir di dunia demi kemakmuran dan keseimbangan dunia—tujuan itu bisa kita gambarkan sebagai utopis Hitler di saat perang duia ke-2—ia rela mengorbankan anak kesayangannya, Gamora, demi memperoleh Soul Stone (Batu Jiwa). Dan apabila perlu, ia tak akan ragu-ragu untuk mengorbankan Nebula—anaknya yang lain—demi terwujudnya tujuannya.

Melihat isu yang ditampilkan oleh Russo bersaudara, tentulah kita setidaknya dapat berfikir—begitu juga seharusnya para feminis yang masih saja ngeyel—bahwa utopis para feminis terdahulu sejujurnya secara nyata telah tercapai.

Wanita dengan segala kekhawatirannya telah memperoleh jaminan di segala aspek seperti Hukum, Posisi jabatan tinggi, Pendidikan, dan yang lainnya. Dalam ranah ilmu pengetahuan pun, tak bisa dipungkiri bahwa saat ini begitu banyak pemikir, aktivis sosial, penulis, dan bahkan profesor, berasal dari kaum wanita.

Lalu, setelah semua fakta-fakta nyata tersebut, sekiranya apa yang membuat masih banyaknya kaum-kaum feminis di luar sana yang masih saja ngeyel, nyinyir dan skeptis tak berdasar terhadap kaum laki-laki yang selalu dituduh mendominasi, dan menyebut bahwa sistem patriaki masih bekerja seperti sedia kalanya.

Tidakkah cukup klarifikasi yang dilakukan oleh Jordan Peterson, si psikolog sinis, bahwa secara statistik kaum laki-lakilah yang banyak mengalami permasalahan di dunia, seperti lelakilah yang paling banyak masuk rumah sakit jiwa, lelakilah yang paling banyak masuk penjara, lelakilah yang paling banyak menganggur, lelakilah yang paling banyak bunuh diri karena stres, dan hal-hal lainnya.

Atau sebaliknya, apakah betul yang dikatakan oleh Camille Paglia, seorang feminis gelombang ke-2, kritikus sosial, dan aktivis Amerika, bahwa utopis utama kaum feminis sebenarnya telah tercapai dan pencapaiannya jauh dari apa yang pernah dibayangkan sebelumnya.

Namun, keadaan tersebut justru dimanfaatkan oleh para kaum feminis radikal untuk memperoleh suatu kuasa, sehingga tujuannya tidak lagi hanya sekedar kesetaraan, melainkan supremasi. Lalu, menyadari biasnya gerakan feminis pada hari ini, masihkah feminisme relevan dengan keadaan sosial hari ini?

Oxandropratama
Oxandropratama
Lahir di Bukittinggi pada tanggal 7 Juni, 1997. Sedang menyelesaikan studi di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.