Tindakan kekerasan di lingkungan pendidikan merupakan bentuk perilaku yang kurang terpuji dan sering terjadi pada jenjang satuan pendidikan. Pada tahun 2024, kasus kekerasan paling banyak dialami oleh jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat dan tidak dipungkiri bahwa tindakan kekerasan pun sering terjadi di perguruan tinggi.
Menurut data yang dirilis system informasi online perlindungan perempuan dan anak, permasalahan tindakan kekerasan sepanjang 2024 mengalami peningkatan dibandingkan kasus kekerasan yang terjadi di tahun 2023.
Data yang di catat oleh Federasi serikat guru Indonesia terdapat kasus kekerasan di sekolah dengan 144 korban peserta didik dari bulan Januari hingga September 2024 mendatang dengan presentase 36% disusul dengan kekerasan yang terjadi di jenjang SMA 28%, kemudian jenjang SD/MI 22%, dan 14% sisanya terjadi di SMK.
Tentu beragam jenis tindakan kekerasan yang dialami oleh korban kekerasan pasti memberikan dampak yang membekas sangat dalam bagi korban yang mengalami tindakan tersebut, bisa menyebabkan trauma, depresi, dan bahkan putus sekolah.
Tindakan kekerasan yang memberikan luka serius, tak jarang bahkan sampai mengakibatkan korban meninggal dunia. Tentu hal ini sangat miris sekali, jika kekerasan sering terjadi di lingkungan pendidikan sehingga menjadi keprihatinan semua pihak dan perlu penanganan serius baik pemberian edukasi dari keluarga, pihak sekolah, dan pemangku kebijakan/stakeholder.
Lingkungan pendidikan merupakan tempat kedua peserta didik untuk menimba ilmu, proses pembentukan karakter selain itu tempat menghabiskan waktu bagi mereka. Sudah seharusnya pemangku kebijakan memperhatikan hal tersebut untuk memberikan rasa aman dari segala tindakan kekerasan yang masih lekat dan menjadi budaya di lingkungan pendidikan.
Walaupun upaya pencegahan telah dilakukan dengan adanya kebijakan permendikbudristek nomor 46 tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Tetapi dilapangan masih banyak kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan. Sehingga perlunya penanganan serius di masing-masing instansi dan memberikan efek jera bagi pelaku. Walaupun terkadang kasus kekerasan sering ditemui dilapangan antar siswa, yang satu sama lain merasa dirinya jauh lebih unggul atau eksistensinya harus diakui daripada yang lain.
Tentu dalam hal ini seluruh komponen sekolah terlibat untuk meminimalisir kekerasan di lingkungan pendidikan. Selain itu untuk mengatasi hal tersebut, pihak sekolah perlu menyiapkan upaya untuk peserta didik, agar dapat membentuk individu yang memiliki budi pekerti.
Pentingnya penanaman budi pekerti dilakukan untuk peserta didik agar setiap individu memiliki perilaku yang baik dalam mewujudkan tindakan yang mampu merealisasikan kehidupan bermasyarakat di lingkungan sekolah yang lebih baik. Namun, tidak hanya dalam lingkungan sekolah saja, karena realitasnya peserta didik dituntut untuk dapat bersosialisasi dilingkungan masyarakat, maka harus bisa menerapkan perilaku yang baik sesuai dengan yang diajarkan sekolah maupun keluarga.
Jika peserta didik tidak di tanamkan budi pekerti maka kekerasan menjadi salah satu pemicu peserta didik merasa bahwa masa depan mereka berada diantara bayangan kekerasan dilingkungan pendidikan, Hal ini menandakan bahwa system pendidikan telah gagal dalam menangani kekerasan di lingkungan pendidikan karena akan muncul pelaku ataupun tersangka baru yang meresahkan.
Membangun Budaya Sekolah yang positif
Membangun budaya sekolah yang positif merupakan langkah penting untuk menghilangkan rasa kecemasan terhadap “Bayangan Kekerasan di Lingkungan Pendidikan” yang masih sering terjadi di sekolah-sekolah. Budaya sekolah yang positif harus dimulai dari nilai-nilai penerapan seperti saling menghormati, memiliki rasa empati dan simpati. Tentu hal ini melibatkan komponen sekolah, baik siswa, guru, staf, maupun kepala sekolah, perlu memiliki komitmen yang sama untuk menolak segala bentuk kekerasan.
Selain itu, sekolah juga perlu memperkuat kebijakan anti-kekerasan dan memastikan bahwa setiap siswa, guru, dan orang tua memahami kebijakan tersebut. Kebijakan yang diberikan kepada pelaku kekerasan tentu memiliki efek jera yang edukatif karena sanksi yang diberikan bukan bertujuan untuk menghukum secara berlebihan. Pendekatan ini dapat mencakup pembinaan, diskusi dan rehabilitasi yang bertujuan memperbaiki perilaku sekaligus menjaga keadilan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.
Budaya sekolah yang positif bukanlah sesuatu yang instan dan membutuhkan kolaborasi yang kuat antara seluruh pihak terkait. Melalui komitmen bersama, tentu dapat menghilangkan bayangan kekerasan di lingkungan pendidikan. Oleh karena itu sekolah bukan hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga tempat di mana siswa belajar menjadi pribadi yang menghargai sesama, bertanggung jawab, dan berempati, menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi yang tidak hanya akan mencegah kekerasan, tetapi juga membentuk generasi yang lebih baik untuk masa depan. Sehingga masa depan peserta didik tidak lagi ada diantara bayangan kekerasan.
Melalui budaya positif di lingkungan pendidikan akan memberikan dampak yang signifikan untuk keberlangsungan kenyamanan peserta didik meraih masa depan. Disisi lain perubahan dapat dilihat dari lingkungan sekolah yang tidak lagi menjadi tempat yang menghasilkan generasi yang tak punya budi pekerti.
Sekolah harus menjadi ruang pertama untuk memberikan rasa aman bagi masa depan peserta didik. Dengan ini, peserta didik akan merasa diperhatikan, dan termotivasi untuk mengembangkan potensi merek. Pendidikan masa depan hadir sebagai tempat untuk mengembangkan potensi, terhadap rasa percaya diri dan menjadi pribadi yang siap menghadapi tantangan tanpa rasa takut.