“Sejarah manusia adalah kisah ketidakpuasan.” – Yuval Noah Harari
Dari gua-gua primitif hingga pendaratan di bulan, dari perang suku hingga konsep hak asasi manusia, perjalanan spesies kita adalah rangkaian pencapaian yang tidak pernah berhenti. Namun, seiring kemajuan, pertanyaan besar mengemuka apakah kita layak bertahan? Seandainya umat manusia punah besok, apakah itu akan menjadi tragedi besar atau sekadar babak yang tak terelakkan dalam siklus alam semesta?
Jonathan Knutzen dalam Unfinished Business mengajukan gagasan yang menggugah, kepunahan manusia tidak hanya berarti hilangnya individu dan komunitas, tetapi juga hilangnya sebuah proyek besar yang belum selesai.
Sejarah manusia adalah proses yang masih dalam pengerjaan, eksperimen panjang yang belum mencapai klimaksnya. Kita telah memahami sebagian hukum alam, tetapi masih jauh dari menggenggam keseluruhan kunci eksistensi. Kita telah mengembangkan etika, tetapi masih terjebak dalam konflik moral yang belum terselesaikan. Jika perjalanan ini dihentikan sekarang, apakah itu akan menjadi kehilangan yang harus disesali, atau justru pembebasan dari sejarah panjang kesalahan dan kegagalan kita?
Topik ini semakin relevan di tengah berbagai ancaman besar, perubahan iklim, ketidaksetaraan global, risiko teknologi yang tak terkendali, dan konflik nuklir. Apakah manusia masih memiliki alasan kuat untuk bertahan, ataukah kita sekadar spesies yang terlalu sombong untuk menerima bahwa waktu kita telah habis?
Peradaban Manusia sebagai Eksperimen yang Belum Rampung
Sejarah manusia dapat dilihat sebagai serangkaian eksperimen besar dalam ilmu pengetahuan, moralitas, dan budaya. Dalam beberapa ribu tahun terakhir, kita telah berhasil mendekripsi genetika, memahami sifat dasar materi melalui fisika kuantum, serta membangun sistem pemerintahan dan hukum yang semakin kompleks. Namun, apakah ini cukup untuk menyatakan bahwa kita telah selesai?
Jika kita mengambil sudut pandang sejarah panjang, sebagian besar eksistensi manusia dihabiskan dalam perburuan dan pengumpulan makanan. Baru dalam 12.000 tahun terakhir kita mulai mengembangkan pertanian, dan hanya dalam 200 tahun terakhir kita memasuki era industri. Kini, dalam kurang dari satu abad, kita telah mulai bereksperimen dengan kecerdasan buatan, eksplorasi antariksa, dan bioteknologi yang dapat mengubah kodrat manusia sendiri. Sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar terjadi dalam skala yang semakin cepat, dan kita baru saja mulai memahami potensi penuh kita.
Banyak filsuf dan ilmuwan berpendapat bahwa spesies kita sedang berada di awal revolusi besar berikutnya, baik dalam hal kecerdasan buatan, eksplorasi luar angkasa, maupun pemahaman mendalam tentang kesadaran manusia itu sendiri. Jika kepunahan terjadi sekarang, itu berarti kita membiarkan kisah ini berhenti di tengah jalan, sebelum kita benar-benar memahami siapa diri kita dan ke mana kita akan pergi.
Kepunahan sebagai Keselamatan?
Namun, tidak semua orang melihat kelangsungan manusia sebagai sesuatu yang niscaya atau bahkan diinginkan. Ada argumen bahwa kepunahan mungkin bukan tragedi, tetapi justru penyelamatan bagi planet ini dan bagi diri kita sendiri.
Pertama, dari perspektif lingkungan, manusia adalah perusak terbesar ekosistem bumi. Kita telah menciptakan kepunahan massal spesies lain, menghancurkan hutan, mengubah iklim, dan mencemari laut serta udara. Jika kita punah, bumi akan mendapatkan kesempatan untuk pulih dan kehidupan lain bisa berkembang tanpa ancaman eksploitatif dari spesies dominan.
Kedua, dari sudut pandang etika eksistensial, beberapa filsuf berpendapat bahwa hidup manusia penuh dengan penderitaan yang tidak perlu. Schopenhauer, misalnya, melihat kehidupan sebagai siklus tak berujung dari keinginan dan frustrasi. Jika sejarah manusia sebagian besar adalah kisah peperangan, penindasan, dan ketidakadilan, maka mengapa kita begitu berkeras untuk mempertahankan kelangsungan spesies kita? Apakah kita benar-benar ingin meneruskan dunia yang penuh dengan eksploitasi, ketimpangan sosial, dan potensi kehancuran akibat teknologi yang kita sendiri ciptakan?
Mengapa Kepunahan Bukanlah Pilihan?
Meski kontra-argumen di atas tampak masuk akal, ada alasan kuat mengapa kepunahan manusia seharusnya tidak dianggap sebagai solusi.
Pertama, manusia bukan hanya perusak kita juga pencipta. Kita adalah satu-satunya spesies yang memiliki kesadaran diri yang memungkinkan refleksi etis, kemampuan untuk memperbaiki kesalahan, dan dorongan untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik. Meski kita telah merusak banyak hal, kita juga telah melahirkan filsafat, seni, dan ilmu pengetahuan yang memperkaya kehidupan.
Kedua, jika kita menganggap bahwa dunia ini penuh ketidakadilan, bukankah lebih masuk akal untuk memperbaikinya daripada menyerah? Kita memiliki kapasitas untuk mengurangi penderitaan, meningkatkan kesejahteraan, dan menciptakan masyarakat yang lebih beradab. Bukankah itu lebih bermakna daripada sekadar menghilang?
Ketiga, dari perspektif sejarah panjang, kita belum benar-benar mencoba membangun peradaban yang optimal. Sebagian besar sejarah didominasi oleh ketidakadilan sistemik, ketidakseimbangan kekuasaan, dan eksploitasi. Namun, kita mulai melihat gerakan menuju kesetaraan, demokrasi yang lebih adil, dan inovasi yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan. Jika kita menyerah sekarang, kita membiarkan warisan yang kita bangun sia-sia.
Antara Harapan dan Keniscayaan
Jika kita menerima bahwa manusia memiliki “urusan yang belum selesai,” maka kita juga harus menerima tanggung jawab besar: untuk memastikan bahwa eksistensi kita bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang berkembang ke arah yang lebih baik.
Namun, ada satu ironi besar di sini. Justru karena manusia memiliki kecerdasan dan kesadaran diri, kita bisa mempertanyakan kelangsungan kita sendiri. Tidak ada spesies lain yang merenungkan apakah mereka layak bertahan, hanya kita yang memiliki kemewahan intelektual untuk mempertanyakan keberadaan kita sendiri. Ini menunjukkan bahwa kita bukan hanya makhluk biologis, tetapi juga entitas filosofis yang memiliki tanggung jawab moral atas masa depan kita.
Haruskah Kita Bertahan?
Manusia bukan hanya spesies yang bertahan hidup, tetapi juga yang mencari makna. Kita tidak hanya eksis, tetapi juga ingin tahu mengapa kita ada dan ke mana kita akan pergi. Jika kita menyerah sekarang, kita bukan hanya kehilangan kehidupan individual, tetapi juga kehilangan peluang untuk menjawab pertanyaan terbesar tentang eksistensi itu sendiri.
Namun, bertahan hidup bukanlah tujuan akhir. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa jika kita bertahan, kita bertahan dengan arah yang benar. Jika kita ingin menjadikan kelangsungan hidup kita berarti, kita harus memperbaiki dunia yang telah kita ciptakan bukan hanya bagi diri kita sendiri, tetapi juga bagi generasi mendatang dan bagi kehidupan lain di planet ini.
Jadi, apakah manusia harus bertahan? Jawaban saya adalah ya, tetapi hanya jika kita bersedia menyelesaikan urusan kita dengan lebih baik. Jika tidak, mungkin memang lebih baik kita menghilang.