Perubahan teknologi digital bukan lagi sekadar arus, tapi gelombang besar yang telah menggulung banyak bisnis—baik yang kecil maupun yang besar. Kecerdasan buatan, big data, hingga e-commerce telah mengubah peta persaingan. Dalam situasi ini, bisnis hanya punya dua pilihan: beradaptasi, atau perlahan-lahan menghilang dari peta persaingan.
Sayangnya, hingga kini masih banyak pelaku usaha yang memandang digitalisasi sebatas tren, bukan kebutuhan. Mereka memilih bertahan dengan pola konvensional, berharap perubahan tak terlalu berdampak pada bisnis mereka. Tapi sejarah membuktikan: pasar tidak pernah menunggu.
Mereka yang Bergerak, dan Mereka yang Tertinggal
Kisah sukses digitalisasi bukan hanya milik unicorn atau perusahaan raksasa. UMKM seperti MS Glow dan Makuku menunjukkan bahwa strategi pemasaran lewat marketplace dan media sosial bisa menjadi penggerak pertumbuhan yang luar biasa. Mereka tidak menunggu pelatihan formal—mereka bereksperimen, mereka belajar dari pasar.
Di sisi lain, perusahaan besar seperti Bank Jago dan Blue Bird menunjukkan bahwa transformasi digital bisa menjadi penyelamat. Blue Bird yang dulu terancam oleh Gojek dan Grab, kini bertahan lewat digitalisasi layanan dan kolaborasi. Ini bukan hanya soal inovasi, tapi soal keberanian mengambil keputusan yang tak nyaman.
Namun ironisnya, masih banyak pelaku usaha yang sekadar “ikut-ikutan” digital, tanpa strategi yang jelas. Hanya memiliki akun Instagram tidak otomatis membuat bisnis menjadi digital. Transformasi menuntut pemikiran ulang menyeluruh: dari proses produksi, pemasaran, hingga layanan pelanggan.
Belajar dari Pasar Tanah Abang
Pasar Tanah Abang sempat sekarat. Digempur e-commerce, banyak pedagang kehilangan omzet hingga 50 persen. Keluhan pun mengarah ke pemerintah dan persaingan tak sehat dengan produk impor murah. Tapi, apakah menyalahkan pesaing cukup?
Faktanya, kebangkitan Tanah Abang justru terjadi ketika para pedagang mulai berubah. Mereka masuk ke TikTok, membuat konten, merespons tren, dan menghadirkan pengalaman digital yang segar. Ini membuktikan bahwa adaptasi—meski terlambat—masih bisa menyelamatkan bisnis.
Digitalisasi Bukan Solusi Instan, Tapi Syarat Minimum
Digitalisasi bukan jaminan sukses. Tapi tanpa itu, bisnis hampir pasti akan kalah. Tantangannya memang besar: keterbatasan SDM, infrastruktur, dan kebijakan. Tapi lebih besar lagi kerugiannya jika terus menunda.
Pemerintah punya peran penting, tapi keberhasilan transformasi digital sangat bergantung pada kesadaran pelaku usaha sendiri. Apakah mereka siap keluar dari zona nyaman dan benar-benar menyusun ulang cara mereka menjalankan bisnis?
Penutup: Waktunya Bertindak
Kita hidup di zaman di mana perubahan terjadi dalam hitungan bulan, bukan dekade. Ketika kompetitor berinovasi setiap hari, memilih stagnan adalah pilihan yang paling berisiko.
Transformasi digital bukan lagi pertanyaan “perlu atau tidak,” tapi “sanggup atau tidak.” Dan kalau bisnis tidak bisa menjawab itu hari ini, besar kemungkinan mereka tak lagi relevan esok hari.