Sabtu, April 19, 2025

Budaya Digital di TikTok Antara Kreativitas dan Krisis Identitas

Ira Ramadianti
Ira Ramadianti
Ira Ramadianti merupakan mahasiswa di Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno Bengkulu di Program Studi Tadris Bahasa Indonesia Semester 6
- Advertisement -

Dalam era digital yang terus berkembang, media sosial telah menjadi ruang publik baru tempat masyarakat mengekspresikan diri, berinteraksi, dan membentuk identitas. Salah satu platform yang paling mencolok dalam lanskap ini adalah TikTok. Sejak diluncurkan, TikTok telah menjadi medium populer bagi generasi muda untuk menampilkan kreativitas melalui video singkat yang menghibur, informatif, dan sering kali viral. Namun, di balik ledakan kreativitas tersebut, muncul pula pertanyaan penting: apakah budaya digital di TikTok turut menciptakan krisis identitas?

TikTok dikenal sebagai ruang yang memungkinkan siapa pun menjadi kreator. Tanpa perlu keahlian teknis tingkat tinggi, pengguna dapat membuat konten dengan mudah menggunakan fitur-fitur yang tersedia, seperti efek visual, musik latar, filter, dan pemotongan video. Fenomena ini melahirkan semacam demokratisasi kreativitas, di mana batas antara penonton dan pencipta konten menjadi semakin kabur. Siapa pun bisa menjadi terkenal dalam semalam berkat satu video yang viral.

Namun, popularitas dan eksistensi di TikTok sering kali bergantung pada seberapa baik seseorang bisa mengikuti tren yang sedang naik daun. Tren tersebut bisa berupa gerakan tari, tantangan (challenge), gaya berpakaian, atau bahkan cara berbicara. Di sinilah muncul sisi gelap dari budaya digital ini. Pengguna kerap merasa terdorong untuk menyesuaikan diri dengan standar-standar viral demi mendapatkan perhatian dan validasi dalam bentuk jumlah suka, komentar, dan pengikut. Proses ini secara tidak langsung mendorong individu untuk membentuk citra diri yang sesuai dengan ekspektasi publik, bukan berdasarkan keaslian dirinya.

Fenomena ini dapat dikaitkan dengan krisis identitas, khususnya di kalangan remaja dan dewasa muda yang sedang berada dalam fase pencarian jati diri. Identitas yang dibentuk di dunia maya sering kali berbeda dari kenyataan. Ada tekanan untuk tampil sempurna, menarik, dan menghibur agar bisa diterima dalam komunitas digital. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik batin, terutama ketika seseorang merasa bahwa dirinya yang asli tidak cukup “baik” untuk dilihat publik.

Menurut teori psikososial Erik Erikson, tahap perkembangan identitas merupakan fase penting dalam pembentukan kepribadian individu. Jika pada tahap ini seseorang terlalu banyak menyesuaikan diri dengan lingkungan luar tanpa proses refleksi diri yang sehat, maka risiko munculnya krisis identitas meningkat. Dalam konteks TikTok, pengguna yang terus-menerus mengejar pengakuan dari publik digital bisa kehilangan koneksi dengan nilai-nilai personalnya sendiri.

Selain itu, budaya viral di TikTok juga menciptakan semacam standar global dalam gaya hidup dan ekspresi diri. Konten dari negara-negara Barat, misalnya, sering kali menjadi acuan utama dalam menentukan apa yang “keren” atau “layak ditiru.” Hal ini secara tidak langsung dapat mengikis kekayaan budaya lokal, karena banyak pengguna lebih memilih meniru budaya luar daripada mengeksplorasi dan menonjolkan budaya sendiri.

Namun, tidak semua aspek budaya TikTok bersifat negatif. Platform ini juga telah membuka peluang besar bagi generasi muda untuk menunjukkan kreativitas dan memperluas wawasan. Banyak pengguna yang memanfaatkan TikTok sebagai sarana edukasi, kampanye sosial, hingga pelestarian budaya. Kreativitas yang lahir dari berbagai latar belakang sosial dan budaya menjadi bukti bahwa TikTok juga dapat menjadi ruang positif untuk pertukaran nilai dan pengetahuan.

Beberapa konten kreatif yang menampilkan budaya lokal, bahasa daerah, tarian tradisional, hingga kuliner khas Indonesia mampu menarik perhatian publik global. Fenomena ini menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, TikTok bisa menjadi alat promosi budaya yang efektif. Namun, hal ini tetap membutuhkan kesadaran kritis dari para pengguna agar tidak terjebak dalam sekadar mengejar tren, melainkan mampu mengekspresikan identitas yang otentik dan bermakna.

Dalam menghadapi budaya digital seperti TikTok, penting bagi pengguna—khususnya generasi muda—untuk memiliki literasi digital dan kesadaran diri yang kuat. Literasi digital tidak hanya mencakup kemampuan teknis dalam menggunakan teknologi, tetapi juga pemahaman terhadap dampak sosial, psikologis, dan budaya dari media digital. Dengan literasi yang baik, pengguna dapat lebih bijak dalam memilah dan memilih konten, serta lebih percaya diri dalam menampilkan jati dirinya sendiri tanpa harus mengikuti standar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pribadi.

Sebagai penutup, budaya digital di TikTok memang menawarkan ruang luas untuk berekspresi secara kreatif. Namun, kebebasan ini juga perlu diiringi dengan kesadaran akan risiko terjadinya krisis identitas. Kreativitas sejati bukanlah tentang meniru orang lain, melainkan tentang keberanian untuk menjadi diri sendiri, bahkan ketika hal tersebut tidak sesuai dengan arus utama.

- Advertisement -

TikTok hanyalah alat—bagaimana kita menggunakannya akan menentukan apakah ia menjadi jembatan menuju ekspresi otentik atau justru lorong menuju kehilangan jati diri.

Ira Ramadianti
Ira Ramadianti
Ira Ramadianti merupakan mahasiswa di Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno Bengkulu di Program Studi Tadris Bahasa Indonesia Semester 6
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.