Dalam beberapa diskusi terkait kontrol kerusuhan, sebuah skenario hipotetis yang ekstrem muncul: seberapa fatalkah efek peluru karet jika digunakan oleh seorang sniper yang menargetkan kepala demonstran? Terlepas dari sifatnya yang hipotetis, pertanyaan ini membuka kotak Pandora tentang pemahaman kita terhadap penggunaan kekuatan, proporsionalitas, dan batasan hukum yang absolut.
Sebagai alat yang dikategorikan “less-lethal” (kurang mematikan), peluru karet memiliki tempat yang spesifik dan terbatas dalam penegakan hukum. Ia dirancang untuk crowd control, ditembakkan dari jarak aman ke anggota tubuh yang berotot, atau dipantulkan ke tanah untuk meminimalkan dampak. Namun, ketika senjata ini dipegang oleh seorang penembak jitu (sniper) yang mengintai dari kejauhan, seluruh paradigmanya berubah secara drastis dan mengerikan.
Dari “Less-Lethal” menjadi “Sangat-Lethal”
Akurasi seorang sniper mengubah peluru karet dari alat pengendali menjadi alat eksekusi. Trauma tumpul yang dihasilkan dari tembakan jarak jauh langsung ke kepala bukan lagi sekadar mimisan atau memar. Itu adalah energi kinetik murni yang menghancurkan: fraktur tengkorak, perdarahan otak, kehilangan penglihatan permanen, hingga kematian. Ilusi bahwa ini adalah “cara yang lebih aman” sirna sama sekali. Dalam konteks ini, peluru karet sama mematikannya dengan peluru tajam, hanya saja kematiannya mungkin lebih lambat dan lebih menyakitkan.
Lantas, Apa Kata Hukum Indonesia?
Terlepas dari situasi yang rusuh seperti demonstrasi anarkis yang mencoba menduduki markas bersenjata misal, kerangka hukum Indonesia sangatlah jelas dan tidak memberikan ruang bagi tindakan sefatal ini.
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Tindakan ini dapat dengan mudah dikualifikasikan sebagai Pembunuhan (Pasal 338) atau Penganiayaan Berat Berakibat Maut (Pasal 351 ayat (3) KUHP). Argumen “pembelaan terpaksa” (noodweer, Pasal 49 KUHP) akan sangat sulit diterima. Pengadilan akan mempertanyakan: apakah benar tidak ada satu opsi pun yang lebih proporsional—seperti menembak kaki—untuk melumpuhkan ancaman, sebelum memilih untuk menembak kepala yang mematikan?
2. Undang-Undang Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002): UU ini menekankan prinsip proporsionalitas dan jalan damai (Pasal 18). Penggunaan kekuatan memaksa hanya boleh dilakukan ketika jalan damai benar-benar sudah tertutup, dan itu pun harus proporsional dengan ancamannya. Menembak kepala untuk melindungi properti (markas).
3. Aturan Internal dan HAM: Setiap protokol internal Kepolisian (Perkap) pasti dengan tegas melarang menargetkan area vital. Selain itu, tindakan ini merupakan pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia (UU No. 39 Tahun 1999) dan prinsip-prinsip internasional seperti UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms.
Proporsionalitas: Jiwa dari Penegakan Hukum
Skenario dimana “jalur damai tidak dapat ditempuh” seringkali dijadikan pembenaran untuk tindakan ekstrem. Namun, dalam negara hukum, klaim tersebut harus dibuktikan secara ketat. Apakah semua eskalasi peringatan, negosiasi, gas air mata, tembakan peringatan, atau tembakan ke bagian tubuh non-vital benar-benar sudah tidak mungkin dilakukan? Ataukah itu hanya justifikasi untuk menggunakan jalan pintas yang brutal?
Proporsionalitas adalah penopang utama yang membedakan penegakan hukum dari pembalasan brutal. Meleburnya batas ini, bahkan dalam situasi tertekan sekalipun, adalah sebuah langkah mundur menuju negara yang abai terhadap nyawa warganya sendiri.
Kesimpulan: Sebuah Garis yang Tidak Boleh Dilewati
Opini ini bukan tidak memahami tekanan dan bahaya yang dihadapi aparat di lapangan. Baik demonstran maupun aparat dalam posisi yang sama tinggi resikonya, dan kita patut beri apresiasi kepada aparat yang bertugas serta menjunjung tinggi dari hak satu sama lain.
Oleh karena itu, marilah kita senantiasa mengedepankan dialog dan jalan damai dalam menyelesaikan setiap perbedaan pendapat, memperkuat komitmen untuk menegakkan hukum dengan proporsional dan penuh pertanggungjawaban, serta bersama-sama menciptakan keamanan dan ketertiban yang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik semata, tetapi juga pada keadilan dan kemanusiaan yang menjadi jiwa dari bangsa kita.