Sejarah mencatat bahwa Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) telah memberikan kontribusi yang besar bagi sejarah sosial-politik Indonesia. Kostrad melahirkan sejumlah tokoh penting yang memainkan peran kunci, baik sebagai prajurit maupun pemimpin bangsa.
Pasukan yang digawangi oleh Mayor Jenderal Soeharto ini awalnya dibentuk pada 6 Maret 1961 dengan nama Korps Tentara I Cadangan Umum Angkatan Darat atau Korps I Caduad. Pasukan ini dibentuk untuk menghadapi ancaman Belanda terkait sengketa Irian Barat.
Setelah berhasil merebut Irian Barat, Korps I Caduad ini kemudian dilebur menjadi Kostrad pada 15 Agustus 1963, dengan Soeharto tetap dipercaya sebagai panglimanya hingga Desember 1965. Pada masa awal terbentuknya, Kostrad diperkuat dengan pasukan-pasukan andalan dari berbagai Komando Daerah Militer (Kodam).
Selama masa Orde Baru, Kostrad telah membukukan sejumlah prestasi dalam operasi militer melawan kelompok pemberontak. Kostrad turut melahirkan sejumlah perwira terbaik yang kemudian menjadi tokoh penting, seperti Umar Wirahadikusumah, Kemal Idris, Poniman, hingga Panglima TNI pertama Jenderal (Purn) Wiranto.
Di era Orde Baru, ada sosok Ali Murtopo yang menjadi perwira Kostrad kepercayaan Presiden Soeharto. Ia memimpin Satuan Tugas Operasi Khusus (Opsus) dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia. Kiprahnya ini kemudian melambungkan kariernya hingga ditunjuk sebagai koordinator urusan politik bawah tanah dan rekayasa politik Orde Baru.
Meski secara administratif berstatus sebagai pasukan cadangan, pemerintah kerap melibatkan dan mengandalkan Kostrad dalam berbagai situasi genting. Pada pertengahan 1960-an, Kostrad telah berkembang menjadi pasukan tempur yang sangat kuat dengan 2 divisi infantry yang sangat lengkap dengan beragam satuan pendukung tempur.
Kostrad bahkan dipimpin oleh perwira yang bukan hanya berasal dari infantri, tapi juga dari pasukan elite seperti Kopassus. Seperti contoh kasus Prabowo Subianto yang sempat menjadi Panglima Kostrad pada Maret 1998 setelah berkarir cemerlang di Kopassus. Sayang prestasinya harus terhenti akibat situasi politik memanas menjelang runtuhnya rezim Orde Baru.
Berbeda dengan Prabowo, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) justru berkarir cemerlang pasca menjadi Komandan Brigade Infanteri 17 Kostrad. Ia bahkan menjabat 2 menteri strategis di era reformasi sebelum memimpin Partai Demokrat dan terpilih jadi Presiden.
Pasca reformasi 1998, jabatan sebagai panglima atau perwira tinggi Kostrad kerap menjadi batu loncatan penting bagi karier para perwira. Baik untuk menduduki kursi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Panglima TNI, hingga jabatan strategis di ranah politik pasca pensiun dari militer.
Hal ini terlihat dari sejarah panjang Kostrad hingga pilpres 2024 mendatang yang diikuti oleh sejumlah sosok penting dengan latar belakang Kostrad. Di antaranya, Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan, Agum Gumelar, Wiranto, SBY, hingga capres Prabowo Subianto.
Melihat sejarah panjangnya, partisipasi aktif para perwira Kostrad dalam dimensi sosial-politik Indonesia memang tak bisa dilepaskan begitu saja. Selama mereka tetap menjunjung tinggi etika dan profesionalisme, kehadiran sosok-sosok tangguh ini akan tetap relevan dalam menciptakan Indonesia yang lebih baik.