Setiap pasangan di muka bumi ini pasti tak mau diselingkuhi. Bahkan poligami, status beristri lebih dari satu, juga saat ini menjadi topik hangat yang menemani kita. Bagi lelaki, poligami bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan mudah maupun pelampiasan nafsu belaka. Permasalahannya ada banyak misalnya masalah bagaimana membagi rasa perhatian kita kepada istri-istri belum lagi tentang segi materi. Bisa gawat, kalau kita yang sebagai suami beristri dua tidak bijak dalam menjalani status poligami.
Selingkuh pun juga masih bisa disebut sebagai tahapan pacaran. Itu disebabkan karena pacaran hanya berstatus dimensi permukaannya saja, tak ada tanggung jawab membebani. Baru setelah menikah terasa tanggung jawabnya seperti tanggung jawab sebagai suami, peranan kita sebagai yang sudah menikah baik di kedua keluarga wanita maupun sang lelaki. Selingkuh masih sama saja dengan pacaran.
Nah, sekarang “yang umum” menjadi pembahasan kita. Jika kita mengulas sesuatu yang umum, maka semua orang pasti sudah tahu. Itu dikarenakan sejatinya yang sudah umum. Yang umum itu tak memihak karena semua kelas kalangan sudah mengetahuinya. Jika kita kaitkan dengan “sistem” untuk yang membahas yang umum ini, maka semua kelas berhak mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan.
Dalam sistem pendidikan, baik orang-orang yang berasal dari kalangan kelas ekonomi ke atas maupun ke bawah mereka berhak mendapatkan pendidikan yang setara. Persoalannya pendidikan bukanlah sesuatu yang bersifat khusus, tapi yang umum. Jika ada yang dikhususkan karena itu berdasarkan dari status kelasnya, maka itu tak adil lagi dan melanggar yang namanya “yang umum” itu.
Jika dilihat saat ini, kebanyakan dari generasi muda memperlihatkan kegagalan dari sistem pendidikan kita. Degradasi dari segi moral juga ditunjukkan oleh generasi saat ini. Ini merupakan hal yang patut diberikan perhatian. Kasus PCC (atau obat-obatan terlarang yang lolos) bahkan banyak menyerang kaum muda-mudi kita. Ditambah lagi, beredar video-video aksi kekerasan yang dilakukan generasi ini. Apakah sistem pendidikan “yang umum” telah gagal menjalankan misinya? Lantas, apa yang menjadi sebabnya?
Jika dilihat secara mendalam, sistem pendidikan memang menyangkut sekolah-sekolah umum (SDN, SMPN, SMAN, dan termasuk Universitas Negeri). Di luar dari pada itu, kita lupa bahwa selain sekolah umum, ada juga lembaga-lembaga pendidikan yang bersifat sementara dan berbasis keuntungan. Itu tak lain merupakan lembaga-lembaga kursus.
Lembaga-lembaga tersebut tak secara langsung dipegang oleh negara, melainkan sebuah kerja sama tergantung persetujuan untuk menjalankan bisnis. Jadi bukan hanya negara yang memiliki wewenang secara tak langsung, melainkan kerja sama oleh para pebisnis tersebut entah itu berasal dari luar negara kita ini maupun dalam negeri kita.
Dengan hadirnya lembaga-lembaga kursus yang berbasis keuntungan, secara tak langsung sistem pendidikan kita bergeser dan hanya dimiliki oleh konsumen berkantong ‘besar’. Sehingga konsumen yang berkantong ‘kecil’ tak dapat lagi mengasah dirinya di jalur yang umum. Inilah industri pendidikan jaman now.
Di sinilah sebabnya mengapa terjadi degradasi moral terhadap generasi muda kita. Perselingkuhan secara besar-besaran terhadap “yang umum” bagian pendidikan. Mengapa memakai kata perselingkuhan?
Seperti telah digambarkan di atas bahwa perselingkuhan sama seperti berpacaran, hanya kulit belaka. Ada sebuah tidak berpengertian antara pihak negara dan pihak pebisnis ini. Jika negara ingin memajukan pendidikan yang umum ini, sebaiknya negara melakukan tahap demi tahap sampai pendidikan mengalami kemajuan baru melakukan bisnis. Namun, patut kita sadari tak sebaiknya pendidikan yang memang mempunyai sifat “umum” ini dijadikan sebagai lahan bisnis.
Alhasil, pendidikan kita tak berjalan secara merata dan bertahap. Dan bukan hanya itu, pendidikan kita tak lagi memiliki sifat umum, sifat yang merakyat.
Mari kita membahas sektor bagian apa saja “yang umum” itu. Selain pendidikan, hal yang mendasar yang patut kita beri perhatian adalah sektor transportasi umum. Kata ‘angkot’ bagi kita sudah menjadi hal yang biasa. Angkot atau transportasi darat umum ini terkadang mengalami dilema-dilema yang sangat mengherankan.
Misalnya saja mengapa mesti menjadi sopir angkot? Dan kebanyakan dari mereka yang ditemui berasal dari kalangan yang berkantong “kecil”. Belum hanya itu, kebanyakan dari kita juga pasti memiliki kendaraan pribadi, sehingga memperkecil penghasilan untuk sopir-sopir angkot.
Jika kita melihat lagi secara luas, kendaraan pribadi tak terhitung banyaknya. Di dalam setiap keluarga yang ada di negeri kita ini, pasti kendaraannya maksimal paling banyak itu berkisar lima. Itu pun dihitung dari motor saja, belum termasuk mobil. Di Jakarta, macet bisa dikatakan bukan lagi budaya asing bagi kita, tapi sudah hal yang sangat biasa. Dan tentunya banyak mengeluh tentang persoalan itu.
Mungkin secara tak sadar, orang yang mengeluh persoalan macet itu memiliki kendaraan pribadi sehingga tak merasakan apa yang dirasakan oleh para sopir angkot. Dan membuat terlebih mengherankannya lagi, hadirnya transportasi online.
Selain jumlah kendaraan pribadi yang tak dapat dihitung itu, transportasi online malah memperparah nasib kendaraan umum. Permasalahannya terletak pada sifat dari transportasi online tersebut. Transportasi online tersebut menyentuh sifat “yang umum” lagi. Sehingga terjadilah penyimpangan. Sebagaimana diketahui, transportasi online tersebut dipegang lagi oleh beberapa perusahaan bisnis.
Lagi-lagi “yang umum” diselingkuhi. Tak seharusnya sistem-sistem yang bersifat umum ini dijadikan sebagai lahan bisnis maupun industri. Alasannya sederhana itu bukan lagi menjadi pro rakyat melainkan hanya kelas tertentu yang diuntungkan.
Kemacetan belum mendapatkan solusi yang pantas tetapi sekarang malah tambah masalah lagi. Yang membuat kita patut beri perhatian adalah kasus ini sudah merenggut korban. Dan jumlahnya saat ini tak bisa dikatakan sedikit. Alasan dari para pengemudi transportasi online sama dengan para sopir angkot, tentang persoalan perut. Mereka sama-sama berusaha, tapi yang salahnya adalah mereka yang tak melihat bahwa ada baiknya transportasi online ini disosialisasikan secara bertahap.
Itu pun kendaraan pribadi dan kendaraan umum bisa diselesaikan secara bertahap tidak secara asal-asalan. Namun, itulah watak dari sebuah bisnis dan industri. Mereka tak melihat seberapa siapnya kita, melainkan seberapa potensi dimiliki sebuah lahan itu. Kerap kali perselisihan dari selingkuhan dan “yang umum” ini menuntut dua hal: moral dan akal.
Sebenarnya moral tak terlalu banyak menuntut, namun sangat sensitif jika kita membahasnya karena ada kaitannya dengan sejarah, sedangkan akal selalu saja memperlihatkan logika praktis yang menguntungkan. Namun, kedua hal tersebut akan berjalan beriringan ketika mereka saling mengerti satu sama lain, ketika itu bertahap, dan mengakui kebutuhan masing-masing.