Pada aras global, gerakan masyarakat adat sedang menggeliat. Gerakan tersebut adalah gerakan Indigenous peoples, yang dalam narasi Pasca kolonialisme adalah perwujudan dari penolakan marjinalisasi kelompok-kelompok masyarakat adat dalam struktur sosial negara dunia ketiga yang melanjutkan watak dan format politik kolonial.
Memang, konsep Indigenous Peoples lahir seiring dengan konteks di mana dominasi kolonial masih dominan di negara-negara bekas jajahan Eropa. Disadari memang bahwa hal tersebut sangat cocok bagi negara-negara di Amerika, Rusia, Arktik dan banyak tempat di Pasifik. Namun agak berbeda dalam konteks kebanyakan negara-negara Asia dan Afrika (minus Afrika Selatan), dimana kekusaan kolonial tidak berlanjut (Arizona, 2014).
Perbedaan konteks ini terkait dengan bentuk kelanjutan dominasi kolonial pasca kolonialisme. Ania Loomba (2016) menyebutkan bahwa Amerika Latin, atau Australia atau Afrika Selatan dimana para pemukim eropa membentuk negara-negara merdeka yang melahirkan dikotomi yang jelas dengan pribumi berbeda dengan politik dekolonialisasi (Asia dan Afrika), dimana penduduk pribumi menggulingkan bangsa Eropa.
Dalam konteks terakhir, pemilahan dikotomik sosial dan rasial antara eropa–pribumi menjadi kabur di internal masyarakatnya. Selain itu, kelanjutan dominasi kolonial eropa memungkinkan melahirkan masyarakat hybrid yang mendominasi kelompok pribumi, seperti halnya pada negara-negara Amerika Latin.
Memang, gerakan Indigenous peoples memuat aspek politik sebagai respons terhadap dominasi kolonialisme pasca kolonial akhir-akhir ini. Aspek politik tersebut mengkerucut pada persoalan peninggalan bentuk-bentuk penekanan baru golongan pribumi oleh kelompok sosial lain yang dominan.
Kerangka Konsep
Gerakan Indigenous peoples telah menemukan bentuk normatifnya dalam hukum internasional melalui deklarasi Internasional tentang hak-hak Indigenous People (UNDRIP) dan Konvensi ILO 169 tentang masyarakat asli (Tribal Peoples).
Indigenous peoples sendiri didefinisikan sebagai kelompok yang terikat dengan sejarah sebelum era kolonialisasi (colonial continuity), dengan budaya, sosial, ekonomi dan politik sebagai sesuatu kekhasan (distinctiveness) dari yang ‘mainstream.’
Kelompok ini adalah kelompok ‘non-dominance’ yang mempunyai kecenderungan menjaga wilayah adat (ancestral land), institusi sosial-budaya, bahasa ibu dan kepercayaan lokal secara terus menerus. Definisi indigenous peoples ini bersifat kumulatif, sehingga semua atribut/unsur mesti dipenuhi untuk mengidentifikasi kelompok tersebut.
Konteks Indonesia
Identifikasi masyarakat adat dalam terma indigenous peoples dalam konteks Indonesia memiliki nuansa yang berbeda, yaitu; pertama, atribut Indigenous Peoples tentang keberlanjutan sejarah kolonialisme mesti dimaknai sebagai perluasan dominasi kultural, baik hukum, pengetahuan dan deskriminasi terhadap kelompok-kelompok pribumi. Salah satu contoh adalah persoalan keberlanjutan konsep domein verklaring ke dalam konsep Hak Menguasai Negara (walaupun secara definisi berbeda) pada hukum agraria dan sumber daya alam.
Konsep domein verklaring ini mengakibatkan perampasan sistematis tanah-tanah adat, ruang hidup dan penghancuran identitas budaya masyarakat adat oleh negara. Dalam konteks ini, atribut non-dominance mesti dimaknai sebagai marjinalisasi atau deskriminasi kelompok-kelompok masyarakat adat oleh struktur yang lebih tinggi, bisa negara, pasar atau budaya yang lebih dominan (Arizona, 2014).
Kedua, atribut kekhasan (distinctiveness) masyarakat adat sebagai indigenous peoples yang berbeda dari kelompok sosial lain mesti dipahami dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk dan dinamik. Kekhasan masyarakat adat sebagai sebuah kelompok identitas (adat) bukanlah statis di Indonesia, namun dinamis dalam interaksinya dengan budaya dominan, terutama budaya modern.
Sulit memang menyatakan bahwa perubahan sosial masyarakat adat tidak terjadi, baik di bidang ekonomi, politik, budaya dan bahkan bahasa. Misalnya, penggunaan irigasi modern dalam sektor pertanian, pelibatan politik dalam struktur desa dan penggunaan bahasa Indonesia pada sektor formal mempengaruhi tatanan sosial masyarakat adat. Pengaruh-pengaruh tersebut tidak serta merta menghilangkan identitas khas masyarakat adat secara keseluruhan, dan bahkan membentuk perkawinan budaya, misalnya konsep desa adat.
Pertemuan identitas adat dengan struktur modern (negara) banyak terjadi dalam struktur penguasaan tanah. Struktur penguasaan tanah terkait dengan atribut ketiga indigenous peoples, yaitu identitas adat atas tanah (wilayah). Struktur penguasaan tanah yang melibatkan kekuasaan negara ini telah melahirkan marjinalisasi hak adat.
Sebagian masyarakat adat yang lebih kuat dapat bertahan dalam pertemuannya dengan struktur penguasaan oleh negara, misalnya klaim tanah adat minangkabau yang cukup kuat menghadapi dominasi hukum negara. Bahkan dalam situasi tertentu, adat dan negara mencari titik temu saling mengakomodasi melalui pengaturan-pengaturan hak adat atas tanah oleh hukum negara, terutama di tingkat daerah.
Namun, tidak semua masyarakat adat mampu bertahan dari tekanan struktural tersebut, kelompok-kelompok minoritas adat misalnya adalah paling rentan. Kelompok-kelompok ini seringkali menjadi korban dari praktik perampasan sistemik atas tanah adat dan korban relokasi paksa populasi masyarakat adat dari wilayah adatnya (Tania Li, 2012).
Kasus Suku Anak Dalam
Perubahan struktur penguasaan tanah dan relokasi populasi kelompok adat ternyata tidak serta-merta menghilangkan identitas dan pola (gaya) hidup masyarakat adat, khususnya masyarakat yang masih berburu-meramu. Misalnya pada kasus sebagian komunitas Suku Anak Dalam (SAD) yang telah keluar dari hutan ruang hidupnya akibat desakan eksploitasi hutan.
Kelompok ini lazim disebut oleh penduduk setempat dengan nama Suku Anak Dalam lintas sumatera. Mereka yang nota bene telah kehilangan wilayah berburu dan meramu, tetap mempraktikkan budayanya pada lokasi pemukiman baru. Dengan situasi tersebut, gesekan cara hidup (budaya) antara Suku Anak Dalam dengan penduduk setempat melahirkan eksklusi sosial terhadap kelompok SAD ini.
Demikianlah, pemaknaan indigenous peoples dalam konteks pengakuan masyarakat adat di Indonesia semestinya dimaknai secara luas. Pendefinisan Indigenous peoples perlu diletakkan sebagai “pedoman penanda” terhadap marjinalisasi kelompok-kelompok masyarakat adat terutama yang minoritas.
Lebih dalam lagi bahwa persoalan marjinalisasi masyarakat adat adalah persoalan struktural terkait dengan stereotipe etnis, yang pada sebagian kelompok pada posisi minoritas. Upaya membangun kerangka perlindungan hak dan kebijakan untuk mendorong inklusi sosial antar kelompok masyarakat menjadi penting sebagai bagian dari upaya membangun kewargaan yang setara dan non deskriminatif.