Jumat, Oktober 11, 2024

Lawan Perundungan dan Pelecehan Seksual di Dunia Kerja!

Ayub Simanjuntak
Ayub Simanjuntak
Pengajar di Unity School Bekasi

Jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus, terdiri dari kasus yang ditangani oleh: [1] Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus. [2] Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus. [3] Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak 2.389 kasus, dengan catatan 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255 kasus di antaranya adalah kasus tidak berbasis gender atau memberikan informasi.

Di masa pandemi, perempuan dengan kerentanan berlapis juga menghadapi beragam kekerasan dan diskriminasi. Kasus kekerasan seksual masih mendominasi kasus Kekerasan terhadap Perempuan. Terdapat 42% dari 77 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas merupakan kasus Kekerasan seksual, 3 perempuan dengan orientasi seksual dan ekspresi gender yang berbeda mengalami Kekerasan Seksual, dan hampir seluruh dari 203 perempuan dengan HIV/AIDS yang melaporkan kasusnya mengalami Kekerasan Seksual.

Pada kelompok disabilitas, kerentanan pada kekerasan terutama dihadapi oleh penyandang disabilitas mental/intelektual. Sementara itu pada perempuan dengan HIV/AIDS serta perempuan berorientasi seksual sejenis dan transeksual, selain kasus kekerasan, dilaporkan juga kasus diskriminasi dalam layanan publik, termasuk dalam mengakses bantuan di masa pandemic COVID-19. (Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2020)

Data-data di atas mejadi gambaran pedih betapa Indonesia masih menjadi Negara yang sangat subur kultur penindasan serta pelecehan terhadap perempuan. Kerentanan perempuan sebagai objek kekrasan seksual tentu tidak dapat dipisahkan dari budaya patriaki yang kental. Masyarakat kita cenderung menganggap laki-laki lebih unggul, lebih hebat dan lebih pantas untuk mendapat gaji dan kehormatan lebih di ranah domestik atau dunia kerja.

IPM atau Indeks Pembangunan Manusia perempuan Indonesia berkisar 69,18 sedangkan IPM laki-laki adalah 75,96 pada tahun 2020 lalu. IPM sendiri merupakan indikator komposit dalam mengukur capaian kulatas hidup manusia yang meliputi factor-faktor seperti  kualitas hidup, pendidikan dan standarhidup layak. Rendahnya IPM perempuan  ini amat ereat kaitannya dengan budaya patriakhi yanh masih dijunjung tinggi masyarakat Indoensia selama berabad-abad.

Banyak  laki-laki menganggap gencarnya pengaruh kebangkitan perempuan sebagai ancaman dominasi patriki terhadap perempuan dan kaenanya merespon dengan cara-cara pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan yang diaggap selalu lebih lemah dan rendah.

Meskipun pelecehan sekusal dan perundungan ditempat kerja lebih banyak dialami oleh perempuan namun akhirakhir ini kasus tersebut juga banyak dialami oleh laki-laki dalam hal ini yang dianggap lebih lemah baik secara fisik, mental, jabatan atau usia kerja.

Berita menghebohkan pegawai KPI yang menjadi korban pelecehan nampaknya juga hanya menjadi ujung dari fenomena gunung es perundungan dalam dunia kerja di Indoensia.

Lalu yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa hal ini terjadi? Untuk menjawab hal tersbut tentu tidak mudah harus disertai sebuah kajian dan data yang spesifik. Namun kalau kita mengamati dengan seksama kita dapat mendapatakan suatu kesimpulan awal adanya budaya kekerasan yang dilanggengkan di masyarakat kita

Pada umumnya mereka yang menjadi korban perundungan adalah mereka yang cerdas dan memiliki opini yang bagus sehingga menjadi ancaman bagi sebagian pegawai lain, mereka yang popular atau disukai oleh atasan dan sebagian besar rekan kerja, mereka yang memiliki ciri-ciri fisik yang menonjol misalnya gemuk, kurus, berambut kribo, memiliki bekas luka diwajah dan sebagainya juga cenderungh menjadi korban perindungan secara mental dan perkataan.

Budaya perundungan tersebut bila ditarik kebawah, maka kita akan mendapati hal yang sama kepada dunia pendidikan misalnya di sekolah dasar, SMP, SMA bahlan kuliah. Sebagai contoh adanya perploncoan siswa dan mahasiswa baru jelas berkontribusi langsung terhadap budaya perundungan di negeri ini.

Budaya Patriakhi dalam keluarga yang membuat laki-laki atau seorang yang lebih tua menjadi amat berkuasa bahkan bias smpai mendindas anggota dalam keluarga untuk mematuhi setaipa perintah dan perkataannya.

Lalu bagaimana solusi untuk mengatasi perundungan dan pelecehan seksual ditempat kerja. Paling tidak ada beberapa hal praktis yand dapat kita lakukan bila kita terjebak dalam situasi perundungan di dunia kerja:

  • Tetap tenang dan jangan terpancing secara emosional. Hal yang paling membuat bullies senang adalah melihat emosi korban terlihat jelas misalnya menangis, marah atau ketakutan. Dengan tetap tenang dan tidak merasa terintimidasi justru akan membuat mereka berpikir ulang melakukan pelecehan atau perundungan kembali
  • Lapor. Jangan pernah sekalipun merasa taut untuk melapor ketika mengalami pelecehan atau perundungan. Kebanyakan korban menunggu dan akhirnya terlambat ketika mengetahui bullies menjadi lebih berani dan agresif ketika melihat korban pasif.
  • Dokumentasikan. Sebisa mungkin dalam keadaan mencurigakan, rekam suara atau video perbuatan yang dianggap pelecehan atau perundungan. Catat nama pelaku, tanggal dan bulan kejadian serta simpan data tersebut ditepat aman atau laporkan kepada teman terdekat
  • Support. Hubungilah pihak-pihak yang bertanggung jawab terjadap keselamatan anda misalnya komnas perempuan, Polisi atau serikat pekerja dilingkungan kantor tersebut.
Ayub Simanjuntak
Ayub Simanjuntak
Pengajar di Unity School Bekasi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.