Kebudayaan adalah sebuah entitas yang merupakan hasil cipta karsa masyarakat dan oleh karenanya keduannya tidak dapat dipisahkan. Salah satu bentuk kebudayaan yang masih ada dan dilestarikan sampai saat ini adalah kesenian masyarakat. Namun, hal itu sedang mendapatkan ancaman yang serius saat ini akibat westernisasi yang menjangkiti masyarakat Indonesia dengan dahsyat. Akibatnya, kesenian tidak lagi digandrungi oleh masyarakat, utamanya kaum muda yang notabene merupakan bagian penting dari masyarakat yang didapuk sebagai ahli waris.
Kesenian, karena identik dengan nilai-nilai lama, dipandang sebagai sebuah produk yang kuno dan ketinggalan zaman. Alih-alih dianggap sebagai wajah jati diri, kesenian justru diasosiasikan dengan nilai-nilai yang konservatif. Ketertarikan yang tinggi generasi muda terhadap kebudayaan barat semakin menempatkan masyarakat kita sebagai penonton yang seolah-olah tidak memiliki produk kebudayaan sendiri. Selain itu, kesenian lokal juga dianggap sebagai ruang ekspresi hanya untuk generasi tua yang masih bersetia untuk merawatnya.
Berbeda dengan situasi itu, fenomena yang berkebalikan justru terjadi di Dusun Ngunut, Bandungan, Semarang, Jawa Tengah. Di tengah sikap marak pemuda yang menjauhi kesenian lokal karena menganggapnya kuno dan identik dengan kelompok tua, mereka justru menjadikan kesenian, khususnya jaranan, sebagai ruang ekspresi bersama.
Menurut Pigeaud, jaranan merupakan kesenian lokal jawa yang berbentuk tarian yang melukiskan gerak penunggang kuda. Para penari menaiki anyaman bambu berbentuk kuda yang diiringi dengan alunan alat musik jawa: gamelan. Dalam praktiknya, ruang ekspresi mereka diwadahi dalam sebuah paguyuban kesenian jaranan yang bernama Ngudi Utomo.
Krisis dan Kebangkitan
Secara etimologi, Ngudi Utomo berasal dari kosa kata bahasa jawa “ngudi” yang berarti menjalani dan “utomo” berarti keutamaan. Ini berarti bahwa kesenian jaranan, bagi masyarakat Dusun Ngunut merupakan salah satu simbol keutamaan sebagai masyarakat jawa. Ngudi Utomo muerupakan paguyuban kesenian jaranan yang berdiri sejak tahun 1994 dan sempat menjadi ikon kemajuan kesenian di wilayah Kabupaten Semarang di era itu.
Sebagai salah satu manifestasi kebudayaan yang dinamis, eksistensi kesenian jaranan mengalami gelombang pasang surut yang signifikan. Dalam paraktiknya, paguyuban jaranan Ngudi Utomo sempat mengalami krisis dan vakum selama beberapa tahun lantaran tidak adanya pemuda yang melanjutkan estafet paguyuban jaranan. Ini adalah potret kecil betapa signifikannya pemuda dalam merawat dan mewarisi kebudayaan. Ngudi Utomo kembali aktif selepas adanya kesepakatan dari masyarakat, utamanya kelompok tua untuk kembali memainkan kesenian jaranan pada tahun 2008. Namun, ini tidak bertahan lama, setelah itu paguyuban itu kembali karam.
Momentum kebangkitan kesenian jaranan Ngudi Utomo terjadi pada medio tahun 2018, dan masih terus berjalan sampai sekarang. Uniknya, bangkitnya kesenian itu diinisiasi oleh kelompok pemuda yang memiliki kesadaran yang sama. Dalam keberjalananya, kesenian jaranan itu sepenuhnya digerakan oleh kelompok pemuda tanpa menyisakan satu orang tua pun di dalamnya. Orang-orang tua hanya diposisikan sebagai penasehat saja.
Kesenian jaranan telah menjadi ekspresi kreativitas pemuda secara kolektif. Paguyuban Kesenian Jaranan Ngudi Utomo kini beranggotakan sejumlah 30 pemuda. Sebagian besar dari mereka didominasi oleh pemuda berusia 13 hingga 18 tahun. Ini artinya, mayoritas dari mereka merupakan pelajar sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah akhir.
Mereka terlibat aktif sebagai pelaku dalam setiap aktivitas kesenian jaranan. Pada dasarnya, kesenian jaranan memiliki dua komponen penting, yakni pemain musik gamelan atau niaga dan juga penari. Dua komponen itu dilakukan oleh kelompok pemuda dengan baik. Demi terciptanya sebuah pentas kesenian yang baik, mereka sangat sering melakukan latihan bersama-sama, minimal dua kali dalam satu minggu. Mulanya mereka meminta bantuan teman dari desa lain untuk mengajari dasar-dasar bermain musik dan menari hingga terlatih. Setelah itu, mereka mengkreasikan sendiri berbagai langgam musik jawa berikut dengan sejumlah varian tarian-tariannya.
Meskipun memiliki keleluasaan untuk menggubah langgam musiknya sendiri, mereka tetap memiliki batasan khusus yang ditaati, yakni tidak mencampurkan unsur musik apapun selain musik jawa. Hal ini dilakukan untuk menjaga nilai-nilai kepatutan dalam kesenian itu yang sudah ditanamkan sejak lama. Ada semacam semangat orisinalitas yang dipertahankan oleh mereka. Ini berbeda dengan kesenian jaranan lain di wilayah sekitar yang telah mencampurkan musik jaranan dengan unsur musik lain seperti dangdut koplo dan pop serta instrumen musik-musik modern seperti keyboard dan gitar.
Terlepas dari apakah akan diadakan pentas ataupun tidak, kelompok pemuda dalam paguyuban kesenian jaranan Ngudi Utomo tetap melakukan latihan secara rutin. Seluruh biaya untuk memenuhi kebutuhan mereka, mulai dari konsumsi latihan hingga revitalisasi kelengkapan kesenian bila ada yang rusak, dibiayai secara mandiri melalui dana iuran. Jika tidak mencukupi, baru kemudian mereka meminta bantuan masyarakat setempat. Ini menunjukan adanya komitmen yang tinggi di antara mereka untuk merawat kesenian jaranan.
Prespektif Pemuda
Komitmen pemuda di Dusun Ngunut, dalam paguyuban kesenian jaranan Ngudi Utomo menjadi fenomena yang menarik. Kelompok muda kesenian jaranan memiliki prespektifnya sendiri dalam melihat kesenian lokal itu. Selain karena terbatasnya ruang ekspresi pemuda secara kolektif di tengah masyarakat, gairah mereka dalam berkesenian juga dipantik oleh karena adanya rasa prihatin terhadap situasi kebudayaan masyarakat dewasa ini.
Menurut mereka, ada semacam identitas yang hilang bila kesenian jaranan hilang. Oleh karena itu, kesenian harus dihidupkan kembali di tengah masyarakat kita. Dengan demikian, kesenian jaranan, meminjam istilah Bourdieu, telah menjadi semacam doxa atau sesuatu yang harus ada di dalam masyarakat.
Fenomena tersebut seolah mematahkan pendapat umum selama ini, jika kesenian lokal seperti jaranan, adalah produk kebudayaan yang kuno dan identik dengan kelompok masyarakat tua. Alih-alih sepaham dengan hal itu, mereka justru menolak pendapat itu sepenuhnya. Menurut mereka, kesenian adalah ruang ekspresi sosial yang tidak diskriminatif, baik gender ataupun usia. Kesenian itu terbuka untuk seluruh kalangan masyarakat.
Kesenian lokal justru memiliki kesesuaian dengan semangat kolektivitas yang sudah mengakar sejak lama, berbeda dengan arus westernisasi yang begitu mendambakan individualitas. Anggapan kuno terhadap kesenian lokal menunjukan adanya inferioritas yang telah menjangkiti cara berpikir kaum muda di dalam masyarakat kita hari ini. Pandangan itu menjebak kaum muda dalam situasi bias yang membahayakan eksistensi kebudayaan bangsa Indonesia.
Dalam hal ini, mereka berpandangan jika tidak tepat menilai budaya kita dengan budaya barat, pun sebaliknya. Kebudayaan adalah wujud dari perbedaan setiap manusia dan oleh karenanya, setiap masyarakat akan memiliki indikator kebaikannya masing-masing.