Kebijakan tentang pelaksanaan sekolah selama 5 hari dengan durasi 8 jam telah menjadi polemik. Pro dan kontra membanjiri artikel dan kolom komentar di media sosial. Salah satu artikel yang kontra terhadap wacana tersebut adalah dari kompas.com(13/6/2017) yang berjudul “Guru Tidak Tetap Keberatan dengan Kebijakan 8 Jam di Sekolah”.
Artikel tersebut menulis kehidupan dari Bayu Prihastanto, seorang Guru Tidak Tetap (GTT) di SD IV Wonosari, Gunung Kidul tentang Peraturan Menteri yang didalamnya terdapat peraturan tentang 8 jam belajar di sekolah dalam sepekan. Menurut Bayu, kebijakan itu akan membuatnya semakin lama di sekolah dan dirasa tidak sebanding dengan honor yang dia dapat setiap bulan. Bayu mengaku mendapat honor per bulan Rp 300.000 dari sekolah ditambah tunjangan dari pemerintah Rp 150.000 per bulan yang diterima 3 bulan sekali. Honor sebesar itu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk mencukupi kehidupannya, Bayu mencari penghasilan lain yaitu dengan membuka warung makan lesehan di pusat kota Wonosari.
Kasus Bayu bisa mewakili banyak guru lain yang keberatan jika harus berlama-lama disekolah. Bukan soal idealisme atau profesionalisme sebagai guru tetapi soal kesejahteraan yang masih menjadi masalah di dunia pendidikan Indonesia. Kegiatan sekolah selama 5 hari per minggu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2017 Tentang Hari Sekolah. Pada pasal 2 ayat 1 ditulis bahwa hari sekolah dilaksanakan 8 jam dalam 1 hari atau 40 jam dalam 5 hari.
Orang boleh saja tidak setuju terhadap peraturan tersebut tetapi Pak Menteri memiliki pendapat lain yang sebenarnya bisa menjawab masalah dari Bayu tentang kesejahteraan guru. Pada sebuah artikel dari DetikNews yang berjudul “Mendikbud Harap 100% Guru dapat Tunjangan Profesi”((10/07/2017) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengatakan bahwa peran guru penting dalam pendidikan tetapi beban kerja guru terkadang hanya diukur dengan jam mengajarnya saja untuk mendapat tunjangan profesi.
Menurutnya ada 28.000 guru yang tidak mendapat tunjangan profesi dan sebagian dari mereka mencari mata pelajaran di luar sekolah yang menurutnya sangat menyulitkan apalagi jika jarak antar sekolah jauh. Untuk itu turunlah peraturan dari 24 jam tatap muka menjadi 8 jam 5 hari. Jadi Pak Menteri memperhatikan kesejahteraan guru?
Pak Menteri dalam menyikapi kesejahteraan guru saya kira masih belum maksimal. Menurut saya menciptakan kesejahteraan kepada guru bukan memodifikasi waktu kerjanya. Kasus Bayu bisa dimaknai bahwa kesejahteraan guru belum merata di negeri Ini. Keberagaman golongan guru serta konteks kebijakan pendidikan di setiap daerah telah menciptakan stratifikasi dalam kesejahteraan guru itu sendiri.
Belum lagi kontestasi politik yang kadang berakhir pada janji tanpa realisasi. Bahkan saya merasa kebijakan pendidikan yang ada semakin terasa sangat pamrih kepada guru. Para guru harus melakukan ini itu demi mendapat tambahan pendapatan. Bahkan ini juga menjadi kritik bahwa dinamika kebijakan pendidikan kurang memiliki arah yang jelas, kurang komperhensif dan cenderung tergesa-gesa. Saya merefleksikan kasus tersebut sebagai kritik bahwa dimasa yang akan datang para pemangku kebijakan pendidikan baik pusat ataupun daerah harus lebih kumulatif, komperhensif, kritis dan sistematis dalam menciptakan sebuah kebijakan. Bukan sekedar bombastis yang hanya jadi bola panas di media massa. Gitu.
Jakarta, 10 Juli 2017
@RumahIbu
Sumber gambar : http://news.okezone.com