Selasa, April 16, 2024

Kejutan untuk Cebong dan Kampret

zainul abidin
zainul abidin
Magister Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Dan sekarang menjadi Asisten Peneliti di Center for Election and Political Party (CEPP) Fisip Universitas Indonesia.

Pertemuan antara Megawati dan Prabowo pada 24 Juli 2019 menguatkan dominasi oligarki politik dalam dinamika saat dan setelah pemilihan presiden (pilpres) tahun 2019. Hampir semua dinamika politik di bawah kendali kekuasaan oligark politik, yaitu pemilik dan pemimpin partai politik.

Megawati menjamu Prabowo dengan menu koalisi. Respon mengejutkan dari Prabowo yaitu bersedia menjadi bagian dari koalisi pemerintah. Status dan dinamika ini meretas polemik dan konflik pada saat pilpres yang lalu. Namun babak baru dari drama politik bergelindung seperti bola panas di antara oligark politik.

Pemilik partai Nasdem yaitu Surya Paloh merepon tindakan politik Megawati yaitu dengan mengundang penguasa dan pimpinan partai pengusung Jokowi. Surya Paloh mengundang Muhaemin Iskandar (PKB), Erlangga Hertarto (Golkar), dan pimpinan partai lain untuk memebicarkan peta koalisi baru pemerintah.

Tindakan politik Surya Paloh tersebut, menandakan ada perseteruan yang mengerucut di antara oligark. Kepentingan yang saling menyerempet pemicu keharmonisan koalisi. Dan kecenderungan dari oposisi yaitu status politik yang disebabkan kepentingan yang tidak terakomodasi.

Pembubaran Koalisi Indonesia Kerja (KIK) dan Surya Paloh akan mengusung Gubernur DKI Jakarta yaitu Anies Baswedan sebagai Calon Presiden Republik Indonesia tahun 2024 sebagai tanda panasnya tarik menarik kepentingan. Baik dalam tindakan koalisi maupun status oposisi. Pembelahan tajam di dalam masyarakat mengarusutamakan kepentingan politik oligark.

Cebong dan Kampret Polarisasi Arus Bawah

Polarisasi politik antara Cebong dan Kampret bertujuan untuk melayani dan memuaskan hasrat dan kepentingan politik oligark. Kesimpulan ini ditarik dari relasi oligark politik saat ini, terutama antara Megawati dan Surya Paloh dan atau Megawati dan Prabowo. Label Cebong dan Kampret bukan untuk oligarknya, akan tapi disematkan di konstituen politiknya.

Ketegangan dan pembelahan Cebong dan Kampret karena fanatik politik di arus bawah. Sentimen politik dangkal dan emosional yang ada di pendukung dan simpatisan dan atau yang tidak memiliki ikatan kepentingan yang jelas yang mengarusutamakan pembelahan antara Cebong dan Kampret.

Bagi oligark, kondisi tersebut akan merawat loyalitas dari konstituen politiknya. Keuntungan yang lain bagi oligark yaitu konstituen dan masyarakat seutuhnya tidak memahami relasi politik dari pembelahan sosial tersebut. Apalagi kepentingan politik yang mengikat di antara oligark politik.

Berkembangbiaknya Cebong dan Kampret didukung oleh isu yang sudah mengakar dan mendarah daging di masyarakat. Ditungganginya isu Islam dan PKI menyuburkan simpul-simpul Cebong dan Kampret di arus bawah. Hal tersebut dapat menakar loyalis dan konstituen pada pilpres 2019.

Jawa Barat dan Banten menjadi lumbung suara Prabowo dan Jawa Tengah tetap menjadi lumbung suara Jokowi. Di masyarakat Islam sendiri, Cebong cenderung masyarakat Islam yang abangan, sedangkan Kampret cenderung masyarakat Islam kategori santri. Di antara oligark sendiri tidak mepersoalkan ketegangan yang terjadi. Yang menjadi persoalan di oligark yaitu jatah dan kursi yang tambah dan tergerus.

Kabinet Indonesia Kerja ke-2 dari Joko Widodo akan merepresentasi kepentingan oligark. Komposisi dan akomodasi kepentingan oligark di kabinet akan kontras dengan dinamika politik masyarakat yang mengerucut ekstrim. Karena sentimen politik agama menjadi benang kusut di perpolitikan di Indoensia. Maka susah untuk diuraikan dalam tempo yang singkat.

Oleh sebab itu, kabinet Jokowi akan mengejutkkan masyarakat yang terpapar rivalitas antara Cebong dan Kampret. Semua akan tercengang dengan dinamika oligark politik yang memainkan remot kontrol dalam berbagai drama politik. Jadi rakyat kecillah yang merupakan kurban politik dari konflik kepentingan politik oligark.

Kesadaran akan pentingnya pendidikan politik menjadi tugas bersama. Polarisasi yang terjadi dalam masyarakat seutuhnya dampak dari rendahnya kecerdasan politik yang ada di masyarakat Indonesia. Pencerdasan kehidupan politik masyarakat harus menjadi tindakan politik yang paling penting setelah terjadi pembelahan masyarakat antara Cebong dan Kampret.

zainul abidin
zainul abidin
Magister Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Dan sekarang menjadi Asisten Peneliti di Center for Election and Political Party (CEPP) Fisip Universitas Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.