Pupus sudah harapan masyarakat yang sempat mengharapkan pemilu yang akan dilaksanakan pada bulan April nanti menjadi pemilu yang bermartabat, atau menjadi pemilu yang penuh dengan kejujuran.
Kini masyarakat hanya tinggal menunggu keajaiban saja, apakah pemilu nanti akan menjadi bermartabat dan jujur, atau akan menjadi pemilu yang tidak sama sekali bermartabat, dan tidak sama sekali jujur.
Peristiwa menjelang pilpres dan pileg, kini diwarnai dengan praktik politik yang sangat menjijikan, dan praktik tersebut sangat tidak pantas untuk diterapkan kepada masyarakat yang sedang haus intelektual ini. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, praktik politik yang sangat menjijikan itu kini menjadi bangkai yang sudah membusuk.
Namun ketika bangkai tersebut sudah tercium oleh masyarakat, para pejabat di negeri ini seolah sedang mencoba untuk menutup rapat-rapat bangkai tersebut, sehingga walaupun sebenarnya sudah banyak yang menciumnya, tetapi masyarakat selalu dibohongi bahwa pada saat ini sedang tidak terjadi apa-apa, dan semuanya baik-baik saja.
Kini kehidupan masyarakat Indonesia selalu dihampiri oleh propaganda dan agitasi yang sangat murahan, sehingga bukannya mendapatkan pendidikan politik yang mencerdaskan, namun ternyata yang diperoleh masyarakat hanya sebuah indoktrinasi yang membuat masyarakat menjadi bodoh. Bahkan propaganda dan agitasi tersebut selalu bergentayangan dimanapun itu, sehingga dapat memaksa masyarakat untuk menjadi fanatik terhadap pilihan politiknya.
Padahal sejatinya fanatisme merupakan solusi yang sangat dipaksakan, karena fanatisme merupakan pilihan yang sangat kuldesak dan tidak mempunyai nilai humanisme. Namun memang, menjadi masyarakat yang cerdas di tahun politik seperti ini, tidak semudah mengedipkan mata, karena yang diprioritaskan oleh negeri ini bukan orang yang cerdas, tetapi hanya orang yang mudah dihasut untuk menjadi fanatik.
Jadi pada saat ini, menjadi fanatik terhadap pilihan politik merupakan tren sangat kolot yang sering digandrungi oleh orang-orang yang tidak menerapkan akal sehat yang dikaruniai oleh Tuhan. Nahasnya lagi, kini fanatisme tersebut menjadi santapan empuk bagi para pembuat spinning di media sosial.
Spinning merupakan upaya mencari publikasi dengan cara apapun juga, sehingga upaya tersebut dapat menyampingkan faktor kebenaran. Tahun 2019 merupakan tahun yang sangat tepat bagi para pembuat spinning untuk melakukan aksi dan atraksinya dalam mempublikasikan informasi yang dapat meracuni akal sehat masyarakat Indonesia. Kendati demikian, kegiatan spinning juga ternyata digandrungi oleh masyarakat kita, dan tanpa kita sadari, masyarakat kita merupakan masyarakat yang sudah kecanduan terhadap spinning.
Polarisasi Hashtag di Media Sosial
Pada saat ini berita yang beredar di media massa maupun media online, selalu menampilkan berita yang bertendensi politik, sehingga berita tersebut dapat mendorong masyarakat untuk melampiaskan fanatismenya dengan menciptakan konflik antara satu sama lain. Nahasnya lagi konflik yang sering terjadi, merupakan konflik yang diakibatkan oleh para pembuat spinning yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Sehingga pada akhirnya, masyarakat selalu menjadi pihak yang terkena dampak konformitas (ikut-ikutan) dari kerumunan orang yang sedang sibuk menyebarkan hashtag di media sosial.
Bahkan pada saat ini sekali saja pejabat Negara melakukan kesalahan, maka hal tersebut akan menjadi trending topic di media sosial. Misalnya, peristiwa yang dialami oleh Menkominfo Rudiantara di acara Kominfo Next, yang saat ini sedang menjadi buah bibir di media sosial. Ulah netizen di media sosial tersebut, dikarenakan tindakan yang dilakukan oleh Rudiantara pada saat pegawainya memilih stiker nomor dua.
Alasan pegawai tersebut memilih nomor dua, karena ia merupakan pendukung dari capres dan cawapres nomor dua. Tetapi menurut Rudiantara Aparatur Sipil Negara itu harus netral, dan tidak bertendensi tehadap politik, oleh sebab itu Rudiantara memberikan pertanyaan, “Bu yang gaji ibu siapa sekarang? Pemerintah atau siapa? Bukan yang keyakinan ibu? Yasudah makasih.” Akhirnya, peristiwa tersebut menjadi santapan empuk bagi para pembuat spinning di media sosial, sehingga menciptakan #YangGajiKamuSiapa.
Tentu hal ini menjadi sesuatu yang tidak bisa dibendung lagi, karena semakin informasi tersebut beredar, maka netizen pun tidak akan tinggal diam, sehingga terbentuklah polarisasi yang berkembang di media sosial. Polarisasi merupakan suatu perilaku yang dilakukan oleh orang yang justru cenderung membuat keputusan yang lebih berani ketika mereka dalam kelompok daripada ketika mereka sendirian (Rakhmat, 2011: 155). Polarisasi #YangGajiKamuSiapa di media sosial, menjadi salah satu bukti bahwa pada saat ini masyarakat semakin kecanduan terhadap spinning yang bisa membuat masyarakat untuk terhasut oleh hashtag.
Terlepas dari benar atau salahnya tindakan yang dilakukan oleh Menkominfo Rudiantara, kita mungkin bisa menilai bahwa, jika hashtag tersebut tidak berhasil menarik perhatian masyarakat, maka tidak akan mungkin hashtag tersebut menjadi polarisasi yang tidak bisa dibendung oleh siapapun itu. Kendati demikian, ternyata para pembuat spinning tersebut kini lebih pintar daripada Menteri, lebih pintar daripada Presiden, dan seolah-olah saat ini yang memegang kendali pikiran masyarakat di Indonesia adalah para pembuat spinning.
Jadi, sungguh benar-benar hebat ya para pembuat spinning itu? Bahkan walaupun masyarakat tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya, akhirnya masyarakat asal mengikuti saja untuk menyebarkan hashtag tersebut. Karenanya, kini persoalan apapun itu yang dianggap biasa saja, akan menjadi luar biasa jika para pembuat spinning di negeri kita menyebarkan informasi yang seolah-olah harus menjadi perbincangan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Tetapi nahasnya masyarakat tidak bisa membaca motif dibalik suatu fenomena hashtag yang selalu muncul dalam beberapa tahun belakangan ini. Seharusnya jika ingin mengikuti hashtag, maka masyarakat harus mengetahui dulu apakah hashtag tersebut berkaitan dengan politik atau hanya sekadar mengkritisi saja. Maka dari itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut, masyarakat harus lebih pintar daripada para pembuat spinning, agar tidak selalu tertipu oleh intrik yang dapat membodohi masyarakat.
Referensi
Rakhmat, Jalaluddin. 2011. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.