“Bahasa itu harus konsisten.”
Begitu kalimat yang dilontarkan oleh Riki Dhamparan Putra saat menjawab pertanyaan dalam diskusi bertajuk, “Pemuda, Bahasa, dan Kekuasaan: Bagaimana Bahasa Melayani Kekuasaan?”
Dalam diskusi tersebut, Riki Dhamparan Putra bersanding dengan Hamzah Fansuri dan Abdullah Sumrahadi yang juga terlibat sebagai pembicara. Diskusi yang diadakan oleh kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu mencoba merefleksikan semangat hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober kemarin.
Riki Dhamparan Putra melanjutkan jawaban dari pertanyaan yang dikeluarkan oleh peserta diskusi itu. Bagaimana cara mengembalikan bahasa sebagai alat perjuangan?
“Dalam hubungan dengan topik bahasa Indonesia dan kekuasaan, perlu saya tekankan bahwa Bahasa Indonesia dihidupkan dengan konsistensi antara perkataan dan perbuatan. Dimiskinkan dan kehilangan konteks dan masa depannya karena gombalan politisi. Jadi, moralitas bahasa itu terletak pada konsistensinya. Ketika bahasa berbicara tentang pemerataan. Maka, pemerataan itu harus lahir dalam tindakan. Jika bahasa berbicara tentang pembangunan. Maka, pembangunan itu harus berwujud dalam kebijakan yang adil,” ungkap Riki.
Sumpah Pemuda dan Kekuatan Bahasa
Sebelum sesi tanya jawab tadi dimulai, Riki Dhamparan Putra yang memiliki latar belakang sastrawan menceritakan bagaimana bahasa memiliki spirit kebebasan. Malam itu, ia bercerita dalam konteks zaman orde baru, ketika bahasa sangat bercampur aduk dengan kekuasaan. Dulu katanya, ketika seseorang mengatakan atau menulis dalam puisinya ‘pohon beringin dan padi yang menguning’, maka ia akan dianggap sebagai pendukung partai politik tertentu.
Berbeda dengan Hamzah Fansuri yang menyoroti bahasa pada zaman digital hari ini. Ketika bahasa-bahasa matematis mendominasi survey-survey dan data statistik yang kita baca. Katanya, bahasa sudah tidak lagi murni dan sangat lekat dengan dominasi kekuasaan. Hamzah menegaskan, bahwa tugas kaum muda hari ini adalah mengembalikan kemurnian bahasa agar tidak mudah dibodohi oleh kekuasaan.
Abdullah Sumrahadi dalam penyampaiannya lebih lugas dan kentara menyebutkan bagaimana hari ini kekuasaan mencoba memanipulasi bahasa. Ia mengajak kita untuk melihat fenomena yang baru-baru ini saja terjadi dalam konteks konstitusi bangsa. Bagaimana bahasa dengan terang-terangan dimainkan untuk memenuhi dan memuaskan birahi politik semata.
Intinya, pada malam itu semuanya melihat kembali bagaimana bahasa mampu menjadi kekuatan politik yang sangat besar dalam sejarah Sumpah Pemuda. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. mampu memintal golongan-golongan yang tersebar di penjuru Indonesia untuk satu kata yang jujur dan konsisten, yaitu “Merdeka!!”
Mendudukkan Pengertian dan Spirit Kaum Muda
Kadang, kita sering terjebak dengan frasa “Kaum Muda” ini. Pemahaman kita tentang kaum muda seringkali terbatas dalam pengertian kalkulatif, yaitu umur. Lalu, ketika diceritakan kepada kita tentang kisah heroik kaum muda yang menakjubkan, jiwa kita seolah terpanggil untuk langsung melakukan perubahan.
Padahal, kaum muda tidak sesempit itu maknanya. Taufik Abdullah (2018) dalam Sekolah dan Politik: Pergerakan Kaum Muda di Sumatera Barat 1927-1933, menerangkan bahwa Kaum Muda itu diidentifikasi dari pikiran, gagasan, dan gerakannya yang baru dan memperbaharui.
Itulah spirit kaum muda yang ia lihat lahir di Sumatera Barat pada kisaran tahun 1927-1933. Khususnya, dalam spirit pembaharuan islam. Bahkan tokoh yang dituliskan oleh Taufik Abdullah sebagai pelopor gerakan Kaum Muda di Sumatera Barat itu, Haji Rasul sudah cukup tua jika kita lihat dari kalkulasi umurnya.
Kaum Muda dalam Bahasa Politik
Hari ini, menjelang perhelatan demokrasi Indonesia. Narasi ‘Kaum Muda’ kembali menyeruak ke permukaan. Narasi ‘Kaum Muda’ itu timbul bak angin segar yang sekonyong-konyong dapat menyelesaikan masalah. Baik itu dari calon legislatif maupun eksekutif. Mulai dari anak muda yang menjadi penentu arah politik bangsa ini nanti, karena menurut statistik mereka adalah 60% dari jumlah pemilih yang ada. Katanya, kepentingan anak muda harus dapat tersalurkan untuk menyambut bonus demografi dan proyeksi Indonesia Emas tahun 2045 mendatang.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan i’tikad baik serupa itu, jika ‘Kaum Muda’ yang kita pahami adalah sebagaimana yang diterangkan oleh Taufik Abdullah dalam disertasinya tadi. Namun, semua itu akan menjadi masalah jika kita terlena dengan bahasa-bahasa ‘Kaum Muda’ yang dipolitisasi hanya untuk kepentingan suara agar bisa memenangkan pemilihan.
Narasi ‘Kaum Muda’ agaknya terjebak dalam aesthetics of politics (estetik politik), atau estetik yang dipolitisasi. Narasi ‘Kaum Muda’ dipolitisasi dalam janji politik, visi dan misi, jargon kampanye, di baliho-baliho yang menggantung, dan di berita-berita televisi, bahasa ‘Kaum Muda’ seperti barang best seller yang siap untuk diperjual-belikan. Mengutip Dwi Pranoto (2023),
“Segala jenis perangkat kampanye politik tersebut lebih tepat disebut tontonan. Jenis objek sensualitas yang tujuannya adalah menundukan khalayak. Umbul-umbul partai, bendera-bendera partai, dan janji-janji politik politikus, sebenarnya merupakan praktik dari aesthetics of politics (estetik politik) atau estetik yang dipolitisasi.”
Kondisi seperti ini jauh dari apa yang diharapkan oleh Jacques Ranciere dalam Politics of Aesthetics atau politik estetik (istilah yang berbeda jauh dari estetik politik). Sebab, bagi Ranciere, estetika adalah gaya berpikir yang khas, egalitarian, demokratik, dan mengguncang tatanan hirarkis. Maka, pada titik ini, ada hubungan yang erat antara emansipasi dalam seni dan juga emansipasi dalam politik (Muther, 2023).
Maka, hari ini di tengah keindahan bahasa para politisi dalam menggaungkan narasi ‘Kaum Muda’ kita harus mempertanyakan keindahan seperti apa yang mereka tawarkan? Kita benar-benar harus memilah-milih dengan jernih. Apakah narasi ‘Kaum Muda’ hanya hadir sebagai estetika politik yang tervisualisasi melalui pamflet-pamflet. Ataukah narasi ‘Kaum Muda’ itu memang hadir atas emansipasi politik yang estetik dan berangkat dengan spirit pembaharuannya.
Kaum Muda; Bahasa Gombalan Politisi
Agaknya, dalam situasi politik hari ini, ketika bahasa gombalan para politisi mengelilingi. Kita harus skeptis dengan narasi ‘Kaum Muda’ yang dibawa. Narasi ‘Kaum Muda’ bisa saja dibangun atas dasar kekosongan bahasa dengan maksud tertentu. Kita harus meniscayakan narasi ‘Kaum Muda’ yang bertanggung jawab. Sebagaimana bahasa itu dibangun oleh tanggung jawab moral untuk melaksanakan apa yang dikatakan. Bukan malah mencemari bahasa dengan bentuk-bentuk ‘pengkhianatan’, telunjuk lurus kelingking berkait.
Maka disanalah kita mengambil jarak dengan bahasa kekuasaan. Memastikan apakah narasi ‘Kaum Muda’ adalah bahasa yang jujur, konsisten, dan bertanggung jawab. Melakukan apa yang ia katakan. Sebab, kita tidak menghendaki narasi ‘Kaum Muda’ hanya menjadi permainan bahasa yang manipulatif dan tidak bermakna serta dijadikan instrumen kepentingan dalam arena politik. Pada akhirnya, narasi ‘Kaum Muda’ hanya menjadi bahasa omong kosong dan janji politik yang jauh dari spiritnya.