“Habis bikin kopi, sachet nya jangan dibuang sembarangan, pilah ke tempat sampah plastik!” begitu kata istri. Alhasil, saya harus memungut ulang sachet plastik kopi dari tempat sampah. Lain waktu, saya membuang sisa makanan ke tempat sampah seperti biasa, “Sudah dibilangin, sampah sisa makanan taruh di kotak sampah organik!” teriak istri waktu tahu kebiasaanku, “Duh! Gitu aja kok repot”, kilahku.
Belum lagi kami harus berantem gegara kesibukan baru istri: mengompos sampah. Dia dengan semangatnya memilah dan mengolah sampah-sampah rumahan kami. Sampah organik diolah jadi kompos, sampah plastik di pilah dan dikirim ke depo pengolahan sampah plastik. Jadilah kehebohan baru di rumah kami, mulai dari berburu daun kering untuk bahan kompos, bikin eco-enzim, “berternak” maggot untuk pengurai sampah. Semua itu pada awalnya menurut saya : merepotkan!.
“Percuma kamu sibuk mengolah sampah organik dan sampah plastik, sementara 99 persen orang lainnya gak peduli” begitu kataku dalam perdebatan kecil di rumah kami. Kenapa tidak mendorong inisiatif pengolahan sampah organik dan plastik ini menjadi kebijakan publik. Audiensi dengan DPRD misalnya, kalau perlu sampaikan ke Gubernur, begitu kataku sebagai scholar ilmu politik. Tapi ia bergeming, “kalau nunggu inisiatif Pemerintah, entah kapan dimulainya, mending sekarang lakukan yang kita bisa”.
Istriku adalah sebagian kecil perempuan yang terinspirasi dengan gerakan lingkungan. Ia terinspirasi dari komunitas ibu-ibu muda yang peduli dengan sampah. Ia memberiku list usia sampah plastik, plastik kotak minuman 10 tahun, plastik tas kresek 20 tahun, plastik sabun cuci dan biskuit 100 tahun, plasti soft drink 200 tahun, plastik botol 450 tahun! dan sterefoam : tidak terurai. Rupanya itulah yang membuatnya semangat mengolah sampah.
Ternyata ia tak sendirian. Ada banyak perempuan-perempuan yang bergerak di isu lingkungan. Dari yang paling sederhana mengolah sampah sendiri, bikin bank sampah, buat start-up pengolahan sampah plastik, hingga advokasi kasus-kasus lingkungan hidup. Ya, kartini 4.0 tepat bila di definisikan sebagai perempuan-perempuan yang peduli dengan lingkungannya.
Mengapa perempuan memiliki peran penting dalam isu lingkungan ini? Pertama, meskipun tak melulu urusan domestik adalah urusan perempuan, tak dipungkiri perempuan lebih peduli dengan urusan rumah tangga. Urusan rumah tangga ini memiliki limbah produksi yang besar yang harus dikelola yakni sampah. Ada 7500 ton sampah warga DKI Jakarta setiap harinya, didominasi sisa makanan 53 %, kemudian plastik 9 %, residu 8%, kertas 7% dan lain-lain.
Menuntaskan permasalahan sampah tidak bisa hanya dilakukan pemerintah saja. Dibutuhkan upaya bersama masyarakat, dimulai dari pemilahan dan pengurangan sampah rumah tangga. Sampah rumah tangga bisa didaur ulang dengan kompos. Nantinya bisa mengurangi volume sampah yang dihasilkan di Jakarta
Kedua, urusan belanja keperluan sehari ini – meskipun juga tak selalu hanya menjadi tugas perempuan, tapi faktanya keperluan belanja ini banyak melibatkan kaum perempuan. Kita tahu bahwa limbah dari urusan perbelanjaan ini tentu saja sampah plastik. Perempuan harus menjadi sasaran kampanye isu lingkungan yang utama dan pertama. Dengan mengendalikan sumber dari sampah plastik utamanya dari aktivitas belanja, perempuan telah berperan besar menjaga lingkungan.
Ketiga, perempuan bisa menjadi role model atau brand ambassador isu lingkungan. Perempuan di rumah memainkan peran sebagai istri, ibu, ataupun kakak. Sebagai istri, perempuan dapat mempengaruhi suaminya untuk meminimalisir, memilah dan mengolah sampah kopi, rokok, dan sampah rumah tangganya. Sebagai ibu apalagi, perempuan leluasa mengelola sampah di rumahnya dan mendidik anak-anaknya sejak dini untuk peduli dengan lingkungannya.
Karena kesadaran istri untuk mengurangi penggunaan plastik yang meningkat, saya yang biasanya membantu belanja lauk seperti penyetan, soto ayam, nasi padang yang biasanya tinggal bawa uang dan pulang dengan kertas bungkus dan plastik. Sekarang jadi repot bawa tupperware dan goodie bag ramah lingkungan. Awalnya merepotkan, tak hanya saya sebagai pembeli, penjualnya pun mengeluh. Tapi lama-lama jadi terbiasa – meskipun kadang masih suka males, ya daripada kena omelan istri yang lebih tajam dari nyinyiran netizen Indonesia.
Merayakan hari Kartini 21 April bukanlah merayakan sosok yang imajinatif dan perfeksionis idealis bagi kaum perempuan. Merayakan kartini dapat dilakukan dengan mewujudkan ide-ide sederhana terkait lingkungan dan di implementasikan dengan konsisten. Gagasan-gagasan Kartini adalah hal-hal yang kongkrit yang ia alami dan rasakan, pada zamannya Kartini mengangat isu kesetaraan kaum perempuan.
Di era 4.0 ini, menjadi Kartini dapat dilakukan dengan dengan menjadi perempuan yang peduli dengan lingkungannya. Mereka adalah perempuan-perempuan yang mau ambil bagian dari upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan mengaplikasikannya mulai dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar.