Senin, Desember 9, 2024

Karena Teknologi (Juga) Hadir untuk Perempuan

Nibros Hassani
Nibros Hassani
Re-telling HERstory
- Advertisement -

Coding Like A Girl. Bila selama ini coding selalu identik dengan laki-laki, bagaimana upaya coders perempuan di seluruh dunia melawan narasi yang terlanjur mendominasi tersebut?

Pada kolom in-depth Al-Jazeera.com (3/9), muncul tautan dengan judul Coding Like A Girl beserta grafis pendukungnya yang mengilustrasikan tiga perempuan sedang berdiri dibawah kalimat: “Welcome Our Coders”.

Setelah mengklik tautan berikutnya, pembaca akan diminta untuk membantu tiga perempuan bernama Angie, Hyasinta, dan Eva yang sedang berusaha keras menjadi coder. Tautan dengan format arcade-video game ini menampilkan Angie, Hyasinta, dan Eva yang membawa kisah perjuangannya dari medan masing-masing : Angie yang berasal dari Peru, Hyasinta dari Tanzania, dan Eva yang merupakan orang Jerman.

Dalam kisah tersebut, Angie adalah seorang single-mother yang ingin anak lelakinya memiliki kehidupan lebih baik hingga akhirnya ia memutuskan untuk belajar coding. Dunia barunya bermula disana.

Dengan pembelajaran intensif selama 6 bulan, banyak masalah yang harus diselesaikan Angie bersama timnya di sebuah perusahaan non-profit bernama Laboratoria. Pada bagian Angie, kisah berakhir ketika ia akhirnya berhasil tuntas dalam pelatihannya bersama 75% peserta lain dan semuanya mampu mendapat kehidupan tiga kali lebih baik dari coding.

Sedangkan perempuan kedua yakni Hyasinta, ingin mendirikan perusahaan startup untuk lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu, ia bergabung dengan komunitas yang mendukung dan mengembangkan ide-ide yang ia miliki.

Singkat cerita, Hyasinta mendapat banyak inspirasi disana : ia menyadari, dengan kemampuan digital yang dipunyai perempuan, pilihan untuk menjadi seseorang yang mandiri adalah mungkin. Lalu, Hyasinta dan tim mengikuti sebuah kontes untuk menampilkan ide-idenya. Meski belum beruntung, dari belajar coding, ia yakin akan mampu membuat kehidupan orang disekitarnya menjadi lebih baik.

Kisah terakhir adalah dari Eva. Karena tuntutan pekerjaan mengharuskan ia berpindah bidang, Eva mulai menggeluti sesuatu yang bukan menjadi passionnya dan belajar mengembangkan perangkat lunak.

Beberapa waktu berkecimpung, ia jadi menyadari betul, bahwa terlalu banyak laki-laki yang memegang kendali dan hanya sedikit perempuan yang memiliki kapasitas untuk berada pada posisi tersebut. Rasionya adalah 60/40. Eva kini mendukung perempuan disekitarnya untuk belajar dan mengembangkan kemampuan dalam bidang terkhusus IT.

Menutup Jurang Penguasaan, Mendukung yang Sudah Ada 

Angie, Hyasinta, dan Eva adalah representasi dari ratusan perempuan di seluruh belahan dunia yang berkecimpung dalam dunia teknologi. Perubahan dunia yang menuntut kecakapan dalam bidang tersebut, mau tidak mau mengharuskan perempuan di belahan dunia manapun untuk bisa menguasai bidang yang—terlanjur—didominasi  oleh laki-laki itu.

- Advertisement -

Di Asia sendiri, perempuan yang memiliki kapasitas untuk hal tersebut terlalu sedikit. Jurnal Perempuan (2015) melaporkan hanya ada 18% perempuan di Asia, dan 30% perempuan secara global yang menguasai bidang STEM (Sains, Teknologi, Engineering, dan Matematika). Pada penghargaan Nobel bidang STEM, kita pun mengenal Marie Currie sebagai ilmuwan kimia dan Maryam Mirzakhani sebagai matematikawan yang keduanya juga bukan dari Asia.

Salah satu tujuan dari Agenda 2030 adalah mendorong partisipasi perempuan dalam bidang STEM, yang juga masuk dalam lingkup peningkatan kualitas pendidikan. Indonesia sendiri bisa memulainya dari keadaan SMK yang menjuruskan bidang terkait. Pasalnya memang, stigma kuat muncul ketika mereka yang mengambil jurusan teknik, baik permesinan, komputer atau informatika adalah mayoritas laki-laki, sedangkan perempuan begitu jarang dan terlalu sedikit. Begitu juga pada jenjang pendidikan tinggi.

Perempuan yang mengambil bidang matematika, sains, teknik harus mengalah dengan berbagai kondisi yang tidak menguntungkan jenjang karir mereka akibat stigma yang melekat dan lingkungan serta budaya yang kurang mendukung.

Tentu disamping kapasitas yang harus dimiliki, adanya komitmen untuk mendukung perempuan yang memilih berkarir atau menjadi pakar pada bidang terkait harus menjadi kepedulian kita bersama. Gap yang ada harus tereduksi. Perluasan akses bagi mereka yang memang memiliki kualitas untuk bidang tersebut harus terus diupayakan. Karena apa yang terjadi hari ini adalah cermin bagaimana kita merencanakan kebutuhan di masa depan.

Di Indonesia sendiri, banyak contoh perempuan yang sudah meniti jalan pada bidang seperti STEM. Tidak banyak kita tahu diantaranya, karena sedikitnya pemberitaan juga atensi publik. Di Indonesia, Angie, Hyasinta, dan Eva hadir menjelma sebagai Crystal Widaja, Anbita Nadine Siregar, dan Vania Alfitri yang menginisiaisi computer programming workshops untuk perempuan dan akan terlaksana pada Desember nanti. Pada disiplin ilmu lain, ada juga beberapa perempuan ahli kimia, biologi, yang hasil risetnya bermanfaat bagi kesehatan global. Nama dan pemikiran mereka diakui oleh para pakar sains di dunia.

Ginni Rometty, perempuan yang sekaligus memimpin IBM—perusahaan teknologi multinasional ternama di Amerika—pernah berpesan untuk “keep moving towards the future” atas upaya yang telah kita capai selama ini. Masa depan yang tidak pernah kita ketahui jelasnya, harus kita upayakan yang terbaik.

Bila bukan kita yang mejadi pelopor terdepan dalam bidang STEM, hal tersebut menjadi semangat kita untuk menutup gap yang ada selama ini, dan mendukung para perempuan yang sudah meniti bidang terkait. Boleh jadi lima, tujuh, sepuluh, atau dua puluh tahun lagi, Indonesia mampu memimpin Asia pada bidang STEM dengan penemuannya yang sedemikian luar biasa dan bermanfaat untuk dunia global. Bagaimanapun, hal ini tetap mungkin untuk diwujudkan.

Teknologi, dengan istilah dan definisi yang canggih—bahkan mencakup konsep sains atau matematika sekaligus—tidak hanya diperuntukkan bagi sebagian golongan saja. Teknologi sejatinya hadir sebagai tools untuk memudahkan manusia menyelesaikan permasalahan di bumi. Tapi keajaiban dari Teknologi tersebut tidak datang dengan sendirinya. Ia perlu dijemput oleh mereka yang peduli, serta dikembangkan dengan gagasan dan tangan-tangan emas yang mampu menyelesaikan masalah. Mereka yang kompeten. Mereka yang penuh dedikasi. Mereka yang cinta pada kebenaran. Merekalah para perempuan.

Nibros Hassani
Nibros Hassani
Re-telling HERstory
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.