Sabtu, April 20, 2024

Jika Temanku Melakukan Kekerasan Seksual

N.M Dian N Luthfi
N.M Dian N Luthfi
Mahasiswi Fakultas Hukum UII, bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas. Tertarik mempelajari berbagai disiplin ilmu terutama studi filsafat, budaya, pendidikan, gender dan HAM.

Penindasan berbasis gender bukan saja masalah individu antara korban dan pelaku, namun permasalahan struktural yang memiliki sejarah panjang. Di Indonesia sendiri, kita bisa berbicara mengenai kolonialisasi yang dengan jelas memperlihatkan praktik-praktik perbudakan, kekerasan, human trafficking, dan bentuk-bentuk penindasan lainnya yang bukan saja diwarisi dalam peraturan perundang-undangan kita, namun juga sikap dan perilaku para aparat penegak hukum yang masih diskriminatif terhadap korban kekerasan seksual. Oleh sebab itu maka kasus kekerasan seksual akan selalu menjadi momok terbesar yang mengintai setiap orang.

Dalam kekerasan seksual, mengadili pelaku adalah opsi jangka pendek yang harus dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap pemulihan korban, rehabilitasi pelaku juga sebagai upaya untuk menciptakan ruang aman bagi orang lain. Untuk opsi jangka panjang, yang menjadi penting dalam konteks kekerasan seksual adalah bukan saja perihal bagaimana mengadili pelaku, tetapi bagaimana upaya agar kekerasan seksual itu sama sekali hilang dari kehidupan kita.

Pelaku kejahatan seksual bukan saja hadir dari orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal. Laporan terbaru dialami oleh tiga anak perempuan di Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang diperkosa oleh ayah kandungnya sendiri. Hal tersebut membuktikan bahwa siapa saja dapat menjadi korban dan pelaku. Tidak peduli sedekat dan seakrab apapun ikatan dalam hubungan yang terjalin.Tak jarang kasus-kasus kekerasan seksual hanya ditanggapi atau “diselesaikan” dengan pemberian hukuman terhadap para pelaku. Dikeluarkan dari kelompok, lingkar kerja atau pertemanan. Namun pertanyaan besarnya adalah, apakah dengan mengeluarkan pelaku dari kelompok maka sudah pasti pelaku tidak melakukan hal yang sama di luar sana?

Lalu apa sih yang harus kita lakukan ketika seorang kawan dalam kelompok kita menjadi pelaku? Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengadili kasus pelecehan seksual.

Mengutamakan Korban

Dalam banyak kasus, selain mendapat perlakuan yang tidak baik, korban juga mendapatkan luka yang berlipat ganda melalui respon orang-orang terdekat atau aparat penegak hukum. Victim blaming yang cenderung menyalahkan korban, menginterogasi korban berkali-kali sehingga menyebabkan munculnya trauma baru pada korban.

Lalu apa sih yang dimaksud dengan mengutamakan korban? Mengutamakan korban berarti mendahulukan segala kebutuhan yang diperlukan korban. Akses pemulihan, tempat bercerita, dukungan dan lain sebagainya.

Ketika ada korban yang berusaha memberanikan diri untuk berbicara kepada orang-orang yang dipercayainya, maka jangan diacuhkan atau bahkan dihakimi. Dukungan dari orang-orang terdekat adalah salah satu upaya untuk memulihkan kembali mental korban. Maka sebagai orang-orang terdekat atau orang yang dipercayai oleh korban, usahakan untuk memberikan pendampingan dengan baik.

Dalam pendampingan korban kekerasan seksual tidak melulu kita harus memberikan motivasi, saran atau nasihat yang bisa jadi justru malah membuat korban merasa tertekan. Kadang korban hanya butuh untuk didengarkan saja. Jika ingin memberi saran, maka tanyakan apakah dia membutuhkan atau tidak.

Terakhir, menularkan keberanian dan perlawanan kepada korban. Bukan hanya untuk mendorong korban menjalani akses pemulihan atau menyikapi tindakan pelaku. Katakan pada korban bahwa, kasus pelecehan seksual bukan hanya permasalahan satu atau dua orang. Tetapi sekali lagi, selama masih hidup di lingkungan yang diskriminatif, semua orang dapat menjadi pelaku atau korban. Maka keberanian korban akan memberikan kontribusi besar terhadap masa depan diri sendiri dan umat manusia lainnya.

Mengadili Pelaku

Setiap orang berhak atas rasa aman dan nyaman, kaitannya dengan kekerasan seksual, sudah seharusnya setiap lingkar pertemanan memiliki prinsip-prinsip yang disepakai sebagai upaya membangun sebuah afiliasi pertemanan yang aman dari segala bentuk kekerasan melalui konsep kesadaran kolektif.

Melalui konsep kesadaran kolektif, jika salah satu anggota kelompok menjadi pelaku maka tidak hanya akan ditendang begitu saja dari kelompok tersebut, tetapi juga mengupayakan akses pemulihan atau rehabilitasi agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya.

Sebuah ide menarik dari salah seorang kawan, Syafiatudina, saat berdiskusi untuk merumuskan penanganan seperti apa yang akan kami lakukan untuk menyikapi salah seorang kawan yang menjadi pelaku kekerasan seksual seksual.

Pertama, menetapkan prinsip bersama. Setidaknya ada tiga poin penting yang patut digarisbawahi dalam menetapkan prinsip bersama, yakni, setiap orang berhak hidup bebas dari segala bentuk kekerasan, baik kekerasan negara maupun kekerasan interpersonal (antar pribadi), pembebasan bersama (antar individu dan kelompok) dari segala bentuk kekerasan adalah perjuangan politik, komitmen terhadap nilai-nilai perjuangan terwujud dalam tindakan maupun perkataan, dalam kerja maupun kehidupan, dalam organisasi maupun relasi personal.

Kedua, menumbuhkan keadilan restoratif dan keadilan transformatif. Keadilan restoratif dan keadilan transformatif muncul sebagai kritik sekaligus alternatif dari keadilan “koersif” ala sistem hukum formal beserta aparat keamanan.Keadilan restoratif berfokus pada bagaimana pemulihan dan perbaikan dapat tercipta dalam hubungan antara pelaku, penyintas, dan komunitas mereka. Sedangkan keadilan transformatif mirip dengan keadilan restoratif tapi dengan posisi penolakan terhadap sistem hukum formal yang melanggengkan ketimpangan. Keadilan transformatif melibatkan kerja pembangunan afinitas, jaringan solidaritas yang jangka panjang.1

Penanganan Kasus Kekerasan Seksual berbasis Keadilan Restoratif

Ada laporan kasus Kekerasan Seksual dan pelakunya adalah seseorang dalam organisasimu/lingkar solidaritasmu. Kelompokmu ingin membangun keadilan yang memulihkan, bukan mereproduksi hukuman koersif. Apa yang perlu dipertimbangkan?

1. Mekanisme penanganan. Cek apa organisasimu memiliki mekanisme penanganan laporan kekerasan seksual. Jika tidak, maka ini waktunya untuk membangun mekanisme sebagai agenda kerja jangka panjang.

2. Pendampingan bagi penyintas. Apakah ada orang yang mendampingi penyintas? Apa ada pendamping ahli yang mendampingi para pendamping ini? Keamanan penyintas harus menjadi prioritas.

3. Lingkar Akuntabilitas bagi pelaku. Jika pelaku bersedia bertanggung jawab kepada nilai-nilai yang dianut bersama, maka proses ini perlu didampingi oleh beberapa orang untuk memastikan komitmen pelaku untuk berubah. Proses ini dibangun dengan kepercayaan antara pelaku dengan pendamping.

Keberpihakan bukanlah soal siapa yang benar dan salah di hadapan kelompok. Tapi bagaimana kelompok dapat  mendukung proses yang baik, yaitu pemulihan penyintas dan pertanggungjawaban pelaku. Kelompok dapat menciptakan mekanisme dan kesepakatan bersama untuk mendukung proses keduanya, baik penyintas  maupun pelaku.

Sumber:

1The Feminist and The Sex Offender: Confronting Harm, Ending StateViolence, oleh Judith Levine dan Erica R. Meiners, Verso, 2020, hal. 302

Second Sex, oleh Simon De Beauvoir, 1949Destroy Gender: Kumpulan Esai Nihilisme Gender, oleh Alyson Escalante dkk

N.M Dian N Luthfi
N.M Dian N Luthfi
Mahasiswi Fakultas Hukum UII, bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas. Tertarik mempelajari berbagai disiplin ilmu terutama studi filsafat, budaya, pendidikan, gender dan HAM.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.