LB Moerdani, Ali Moertopo dan Sudomo adalah 3 sekawan yang menjadi operator politik Soeharto yang paling ganas. Mereka sering dikelompokan dalam “jenderal-jenderal merah”. Di awal-awal kekuasaan Soeharto, mereka bersama-sama Soeharto menumpas musuh bersama.
Ekstrem kanan yaitu kelompok fundamentalis Islam dan ekstrem kiri komunisme. Tahun 1965 sampai 1970 mereka menumpas komunisme. Tahun 1970 sampai akhir 1980 mereka menumpas ekstrem kanan, yaitu kelompok Islam.
Hebatnya, di saat menumpas komunisme mereka menggunakan kekuatan kelompok Islam, terutama NU. Setelah komunisme wafat, Soeharto dan jendralnya ini mulai menggilas kelompok Islam. Tokoh-tokoh Islam dan tentara yang “bandel”, dikelompokkan di dalam Petisi 50. Partai Islam dijadikan satu di dalam PPP.
Tokoh-tokoh Islam Masyumi dll, dilarang berpolitik. Lambat laun LB Moerdani menjadi kuat dengan menguasai ABRI. Loyalitas perwira ABRI terhadap LB Moerdani tak dipungkiri lagi. LB Moerdani mulai “berani’ dengan Soeharto.
Dia berani mengutarakan kekesalannya atas bisnis keluarga anak-anak Soeharto. Soeharto melihat ini bukan sebagai kritik tapi sebagai ancaman. Soeharto mulai memecah kekuatan LB Moerdani dengan mendekati kelompok Islam, baik di tubuh ABRI atau Sipil.
Sebagai hukuman, Soeharto mulai merangkul Habibie dan membentuk organisasi cendekiawan muslim, ICMI. Banyak proyek yang tadinya dikuasai militer diserahkan ke Habibie. Walhasil, Habibie dan ICMI tidak disenangi tentara saat itu. Di militer, Soeharto mulai membersihkan siapa saja pengikut Moerdani.
Awal Th 1993 Soeharto mengganti Edi Sudrajat yang baru 3 bulan menjabat, digantikan Faesal Tanjung. Hartono menjadi KSAD. Pengangkatan keduanya dipandang sebagai perubahan sikap Soeharto terhadap Islam.
Faesal Tanjung dan Hartono adalah dua jenderal dari latar belakang santri, yang selama ini disingkirkan di masa Moerdani. Mereka disebut “jendral-jendral hijau”. Ironisnya yang disingkirkan inilah yang dipakai Soeharto memimpin ABRI. Dengan kata lain, kelompok yang dipakai memukul Moerdani adalah kelompok “ciptaan” Moerdani sendiri.
Sudah menjadi politik Soeharto, tidak ada yang bisa tumbuh sendiri tanpa penyeimbang. Saat mempromosikan jendral hijau, Soeharto juga mempromosikan “jendral-jendral merah putih”, seperti AM, Hendropriyono, Wiranto dan SBY menduduki posisi strategis di militer.
Puncak dari politik Soeharto terhadap tentara adalah pergantian Pangab dari Moerdani ke Try Soetrisno, th 1988. Walau dituduh berkali-kali LB. Moerdani akan melakukan Kudeta, tapi sampai masa jabatannya tidak terbukti.
Jenderal-jenderal merah, hijau dan merah putih adalah bentuk politik Soeharto di dalam tubuh tentara. Soeharto sudah tahu ada intrik di tubuh tentara, tapi membiarkannya. Sekarang, Soeharto sudah memiliki kendaraan baru untuk melanggengkan kekuasaannya, yaitu ICMI.
Di tubuh tentara dia sudah berhasil menyingkirkan hegemoni LB Moerdani. Sayangnya, Soeharto tidak memperhitungkan Gus Dur. Gus Dur jeli melihat politik Soeharto. Untuk menyeimbangi ICMI, th 1991 Gus Dur membentuk Forum Demokrasi, organisasi pluralisme dan demokrasi.
Ketenaran dan pengaruh Gus Dur membuat organisasi ini mendapat kepercayaan publik. Gus Dur susah dibungkam karena mempunyai basis masa NU. Soeharto tidak senang dengan organisasi ini.
Menjelang pemilu 1992, banyak pertemuan Forum Demokrasi yang dibubarkan. Soeharto pernah mengirim Prabowo untuk membawa pesan kepada Gus Dur. Prabowo mengingatkan Gus Dur agar tidak turut campur urusan politik, dan menyetujui dipilihnya Soeharto kembali. Tapi, Gus Dur mbalelo.
Forum Demokrasi adalah salah satu cikal bakal reformasi 98 tumbangnya kekuasaan Soeharto. Jendral hijau inilah yang digunakan Seoharto untuk menculik aktivis 98. Dewan Kehormatan Perwira (isinya rata-rata jendral merah putih) memvonis Prabowo bersalah dan memecatnya.
Prabowo sendiri merasa dikhianati keluarga Cendana. Sedangkan keluarga Cendana beranggapan Prabowo yang mengkhianati mereka. Jenderal merah, hijau dan merah putih hanya intrik politik Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya. Beruntunglah sekarang TNI kita sangat sukses mereformasi dirinya, menuju TNI yang profesional, menuju cita-cita Jendral Besar Soedirman.